KEBIJAKAN
TENTANG PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS: Peran Pemerintah Dan Masyarakat
POLICY ON HIV AND AIDS: Role Of Government And
Society
HAFIKO
ANDRESNI
ABSTRAK
HIV/AIDS
adalah penyakit yang sampai sekarang ini belum ada obatnya dan mematikan,
selain karena mengganggu kesehatan fisik, HIV/AIDS juga mengganggu stabilitas
psikis dan kehidupan sosial penderita, sehingga perlu dilakukan penanganan yang
komprehensif.Indonesia
sudah menjadi negara urutan ke 5 di Asia paling berisiko HIV AIDS. Wilayah
yang memasuki level menyeluruh dalam penyebaran HIV/AIDS adalah di Provinsi
Papua yaitu provinsi
yang berada paling timur di Indonesia, tingkat penyebaran HIV/AIDS
terus meningkat setiap tahunnya, pada tahun 2012 tercatat 13.476 orang
terinfeksi HIV/AIDS di Papua.
Sehingga Peran pemerintah sangat diperlukan. Maraknya penyebaran HIV/AIDS
menjadi permasalahan publik yang ditanggapi serius oleh Pemerintah Kabupaten
Jayapura, Papua. Pemerintah Kabupaten Jayapura mengeluarkan Perda Nomor 20
Tahun 2003 Tentang Pencegahan dan Penanggulangan HIV/AIDS
dan IMS. Peraturan
Daerah yang dibuat tersebut telah dirumuskan dan diimplementasikan. Akan tetapi
pada praktiknya masih terdapat beberapa kendala dalam proses implementasi
kebijakannya.
Sehingga Pemerintahperlu
mengembangkan kebijakan dengan pendekatan lain dalam menanggulangi
HIV/AIDS, seperti pendekatan ekonomi, pendidikan, dan religi
serta keikutsertaan LSM/Organisasi Masyarakat dan Masyarakat dalam
penanggulangan HIV AIDS.
Kata kunci : HIV dan AIDS kebijakan, peran pemerintah
dan masyarakat.
ABSTRACT
HIV / AIDS is a disease that
until now there is no cure and off, as well as interfere with physical health,
HIV / AIDS is also destabilizing psychic and social life of the patient, so we
need a comprehensive treatment. Indonesia has become the order of 5 in Asia are
most at risk of HIV AIDS. Who entered the region in the overall level of the
spread of HIV / AIDS in Papua is the most eastern province located in
Indonesia, the spread of HIV / AIDS continues to increase every year, in 2012
recorded 13 476 people are infected with HIV / AIDS in Papua. So the role of
government is essential. Rampant spread of HIV / AIDS became a public issue
taken seriously by the Government of Jayapura regency, Papua. Jayapura Regency
Government issued Regulation No. 20 of 2003 on the Prevention and Control of
HIV / AIDS and STIs. Regional regulations that made it has been formulated and
implemented. But in practice there are still some obstacles in the process of
policy implementation. So the government needs to develop a policy with another
approach in tackling HIV / AIDS, such as the approach to the economy,
education, and religion as well as the participation of NGOs / Civil Society
Organizations and Communities in HIV AIDS.
Keywords :
HIV and AIDS policy, the role of government and society
PENDAHULUAN
1.
Latar
Belakang
Kesehatan adalah salah satu bentuk HAM
yang diwujudkan melalui perlindungan hukum dan kebijakan pemerintah dengan
upaya pemberian fasilitas pelayanan kesehatan kepada seluruh lapisan
masyarakat. Negara Indonesia hingga saat
ini masih menghadapi problematika kesehatan yang memberikan dampak sosial yang
kompleks dan menjadi kendala pembangunan yang harus segera diselesaikan.
Masalah kesehatan yang masih mengkhawatirkan yang ada di Indonesia bahkan
negara-negara lain di dunia adalah fakta berkembangnya epidemi yang disebabkan
HIV/AIDS. AIDS (Acquired ImmunodeficiencySyndrome) merupakan kumpulan
gejala dan penyakit yang diakibatkan oleh menurunnya kekebalan tubuh yang
disebabkan terinfeksi virus HIV (Human Immunodeficiency Virus).
Epidemi HIV merupakan masalah dan tantangan serius
terhadap kesehatan masyarakat di dunia. Pada tahun 2007 jumlah ODHA di seluruh
dunia diperkirakan sudah mencapai 33.2 juta (30.6–36.1 juta). Setiap hari,
lebih 6800 orang terinfeksi HIV dan lebih dari 5700 meninggal karena AIDS, yang
disebabkan terutama kurangnya akses terhadap pelayanan pengobatan dan
pencegahan HIV.Dari
seluruh infeksi HIV, 90% akan terjadi di negara berkembang, terutama di Asia.
Negara yang paling parah terkena antara lain Thailand, India, Myanmar dan Cina
bagian selatan. Sementara itu negara-negara industri yang lebih maju telah
menekan laju infeksi HIV di negaranya.
Indonesia adalah salah satu dari negara di Asia yang
memiliki kerentanan HIV akibat dampak perubahan ekonomi dan perubahan kehidupan
sosial. Saat ini epidemi AIDS dunia sudah memasuki dekade ketiga, namun
penyebaran infeksi terus berlangsung yang menyebabkan negara kehilangan sumber
daya dikarenakan masalah tersebut.
Indonesia secara kumulatif berdasarkan laporan dari
seluruh provinsi yang dikeluarkan secara triwulan oleh Kementerian Kesehatan RI
sampai bulan Maret tahun 2010, tercatat 20.564 kasus AIDS dengan persentase,
laki-laki sebanyak 62%, perempuan 30% dan tidak diketahui 8 %. Estimasi yang
dilakukan pada tahun 2006 diperkirakan di Indonesia terdapat sekitar 193.000
orang terinfeksi HIV dan sekitar 186.000 orang tahun 2009, sedangkan kasus AIDS
yang tercatat oleh Kementerian Kesehatan RI sampai dengan September 2010
tercatat 22.726 orang hidup dengan HIV AIDS. AIDS pada pengguna Napza Suntik
(penasun) di Indonesia sampai tahun 2010 sebanyak 2.224 kasus dan jika dilihat
dari kelompok umur dari kelompok tersebut ada 70% berada di kelompok usia
produktif (20-39 tahun).
Indonesia sudah menjadi negara urutan ke 5 di Asia
paling berisiko HIV AIDS. Wilayah
yang memasuki level menyeluruh dalam penyebaran HIV/AIDS adalah di Provinsi
Papua. Kasus HIV/AIDS di Papua pertama kali ditemukan pada tahun 1992.Menurut
catatan Departemen Kesehatan pada tahun 2010 Papua menempati posisi tertinggi
ketiga setelah Jawa Barat dan Jawa Timur dengan jumlah kasus penderita
HIV/AIDS. Akan tetapi tingkat penyebaran HIV/AIDS terus meningkat setiap
tahunnya di Papua, pada tahun 2012 tercatat 13.476 orang terinfeksi HIV/AIDS di
Papua.
Para pakar memperkirakan “jumlah kasus HIV AIDS
sudah mencapai 130.000 orang, sehingga tidak bisa dihindari lagi bagi
Indonesia untuk menerapkan kesepakatan tingkat Internasional yang diikuti
kebijakan nasional”. Sebagian besar infeksi baru diperkirakan terjadi pada
beberapa sub-populasi berisiko tinggi (dengan prevalensi > 5%), yaitu pada
pengguna Napza suntik (penasun), wanita pekerja seks (WPS), dan waria.
Program HIV AIDS dikelola pemerintah dan masyarakat
merupakan kebijakan yang terpadu untuk mencegah penularan HIV dan memperbaiki
kualitas hidup orang dengan HIV. Berdasarkan Undang-Undang No.36 tahun 2009 tentang kesehatan bahwa setiap
kegiatan dalam upaya untuk memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan
masyarakat yang setinggi-tingginya dilaksanakan berdasarkan prinsip non
diskriminatif, partisipatif dan berkelanjutan. Peraturan Presiden No. 75 Tahun
2006 mengamanatkan perlunya peningkatan upaya penanggulangan HIV dan AIDS di
seluruh Indonesia. Kemudian juga diidentifikasi bahwa permasalahan HIV-AIDS
merupakan masalah multi sektor, sehingga tanggung jawab harus diambil bersama
dengan sektor/departemen lain.
2.
Tujuan
a.
Tujuan Umum : Meningkatkan advokasi,
sosialisasi dan pengembangan kapasitas, meningkatkan kemampuan manajemen dan
profesionalisme, meningkatkan aksesibilitas dan kualitas, meningkatkan
jangkauan pelayanan untuk pelayanan HIV/AIDS.
b.
Tujuan
Khusus:
1)
Mencegah
dan mengurangi penularan HIV, meningkatkan kualitas hidup ODHA serta mengurangi
dampak sosial dan ekonomi akibat HIV dan AIDS pada individu, keluarga dan
masyarakat.
2)
Menyediakan
dan menyebarluaskan informasi dan menciptakan suasana kondusif untuk mendukung
upaya pengendalian HIV dan AIDS, dengan menitik beratkan pencegahan pada
sub-populasi berperilaku risiko tinggi dan lingkungannya dengan tetap
memperhatikan sub-populasi lainnya.
3)
Mengembangkan
dan meningkatkan kemitraan antara lembaga pemerintah, LSM, sektor swasta dan
dunia usaha, organisasi profesi, dan mitra internasional di pusat dan di daerah
untuk meningkatkan respon nasional terhadap HIV dan AIDS.
4)
Meningkatkan
koordinasi kebijakan nasional dan daerah serta inisiatif dalam pengendalian HIV
dan AIDS.
KAJIAN AKADEMIK
1.
Kebijakan Publik
Kebijakan Publik
(Public Policy) diartikan sebagai keputusan-keputusan yang mengikat bagi orang
banyak pada tataran strategis atau bersifat garis besar yang dibuat oleh
pemegang otoritas publik.
William N. Dunn
(2000) mengemukakan bahwa analisis kebijakan adalah suatu disiplin ilmu sosial
terapan yang menggunakan berbagai macam metode penelitian dan argumen untuk
menghasilkan dan memindahkan informasi yang relevan dengan kebijakan, sehingga
dapat dimanfaatkan di tingkat politik dalam rangka memecahkan masalah-masalah
kebijakan.
2.
Kebijakan
HIV/AIDS
Kebijakan
merupakan serangkaian keputusan yang dibuat oleh pemegang tanggung jawab pada
bidang tertentu . Kebijakan tentang HIV/AIDS mencakup serangkaian keputusan dan
aksi yang mempengaruhi lembaga, organisasi, dan system penyedia layanan dan
pendanaan terkait dengan HIV/AIDS. Konteks kebijakan AIDS akan melingkupi
kondisi politik,ekonomi dan sosial budaya ditingkat internasional, regional,
nasional dan lokal. Sedangkan proses kebijakan akan dilihat bagaimana kebijakan
itu diinisiasi, diformulasikan atau dikembangkan, dikomunikasikan, implmentasi
dan dievaluasi. Aktor dalam pembuatan kebijakan ini juga akan dilihat mulai
dari individu, organisasi masyarakat, lembaga pemerintah, dan juga Mitra
Pembangunan Internasional. Dimulai dari dukungan berbagai pihak dari kelompok
peduli, LSM, Populalasi Kunci, birokrat, organisasi masyarakat dan partai
politik.
a. Kebijakan Umum Penanggulangan HIV dan AIDS Sektor Kesehatan
1) Upaya
pencegahan yang efektif termasuk penggunaan kondom 100% pada setiap hubungan
seks berisiko, semata-mata hanya untuk memutus rantai penularan HIV.
2) Upaya
pengendalian HIV dan AIDS merupakan upaya-upaya terpadu dari peningkatan
perilaku hidup sehat, pencegahan penyakit, pengobatan dan perawatan berdasarkan
data dan fakta ilmiah serta dukungan terhadap ODHA.
3) Upaya
pengendalian HIV dan AIDS diselenggarakan oleh masyarakat, pemerintah, dan LSM
berdasarkan prinsip kemitraan. Masyarakat dan LSM menjadi pelaku utama
sedangkan pemerintah berkewajiban mengarahkan, membimbing dan menciptakan
suasana yang mendukung terselenggaranya upaya pengendalian HIV dan AIDS.
4) Upaya
pengendalian HIV dan AIDS diutamakan pada kelompok masyarakat berperilaku
risiko tinggi tetapi harus pula memperhatikan kelompok masyarakat yang rentan,
termasuk yang berkaitan dengan pekerjaannya dan kelompok marjinal terhadap
penularan HIV and AIDS.
b. Kebijakan Operasional Penanggulangan HIV dan AIDS Sektor Kesehatan
1)
Pemerintah pusat bertugas melakukan regulasi
dan standarisasi secara nasional kegiatan program AIDS dan pelayanan bagi ODHA.
2)
Penyelenggaran dan pelaksanaan program
dilakukan sesuai azas desentralisasi dengan Kabupaten/kota sebagai titik berat
manajemen program.
3)
Pengembangan layanan bagi ODHA dilakukan
melalui pengkajian menyeluruh dari berbagai aspek yang meliputi: situasi
epidemi daerah, beban masalah dan kemampuan, komitmen, strategi dan
perencanaan, kesinambungan, fasilitas, Sumber Daya Manusia (SDM) dan pembiayaan.
4)
Setiap pemeriksaan untuk mendiagnosa HIV
dan AIDS harus didahului dengan penjelasan yang benar dan mendapat persetujuan
yang bersangkutan (informed consent). Konseling yang memadai harus diberikan
sebelum dan sesudah pemeriksaan dan hasil pemeriksaan diberitahukan kepada yang
bersangkutan tetapi wajib dirahasiakan kepada pihak lain.
5)
Setiap pemberi pelayanan berkewajiban
memberikan layanan tanpa diskriminasi kepada ODHA
3.
Peran dan Tanggung Jawab Pemerintah
Dan Masyarakat
Efektivitas upaya nasional untuk menanggulangi ancaman
HIV/AIDS di Indonesia tergantung pada kerjasama semua pihak. Rencana yang rinci
dan tanggung jawab operasional akan dikembangkan untuk masing-masing kegiatan
namun secara garis besar pembagian tugas dan tanggung jawab adalah sebagai
berikut :
1) Tingkat Pusat: Menteri Koordinator Bidang
Kesejahteraan Rakyat sebagai Ketua Komisi dibantu oleh beberapa Menteri sebagai
Wakil Ketua dan Anggota, mengkoordinasikan penyusunan rencana kebijakan
nasional tentang pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia dengan titik
berat pada ketahanan keluarga. Tugas dan tanggung jawab Komisi Nasional
Penanggulangan HIV/AIDS adalah :
a) Membina dan menyediakan layanan
teknis dan layanan sosial yang dibutuhkan program penanggulangan HIV/AIDS
berada di luar jangkauan/kemampuan masyarakat;
b) Bekerjasama dengan para mitra dalam
upaya penanggulangan HIV/AIDS,
c) Mengembangkan dan memelihara
lingkungan dan tata cara kerja yang mendorong, memudahkan dan mendukung
kegiatan penanggulangan HIV/AIDS yang kreatif dan bertanggung jawab dilakukan
oleh berbagai kelompok masyarakat dan lembaga non pemerintah.
2)
Tingkat
Propinsi dan Kabupaten/Kotamadya : Upaya penanggulangan HIV/AIDS di daerah dipimpin oleh
Gubernur Kepala Daerah Tingkat I, Bupati/Walikota KDH TK II, dengan peran aktif
para pejabat Pemerintah dari sektor terkait, wakil-wakil dari lembaga dan
Organisasi Non Pemerintah serta universitas/lembaga pendidikan tinggi di
daerah. Tugas dan tanggung jawab Komisi Penanggulangan HIV/AIDS Daerah adalah :
a) Memimpin, mengelola dan
mengkoordinasikan kegiatan penanggulangan HIV/AIDS di daerah;
b) Mengindentifikasi lokasi/wilayah
yang potensial untuk penyebaran HIV/AIDS yang lebih cepat;
c) Menghimpun, menggerakkan dan
memanfaatkan sumber-sumber daya secara efektif;
d) Menjamin alokasi anggaran/dana untuk
penanggulangan HIV/AIDS dari sumber-sumber lokal;
e) Secara efektif dan efisien memanfaatkan
sumber daya dan dana baik yang berasal dari tingkat pusat, daerah, masyarakat
maupun luar negeri;
f) Membantu dan memudahkan upaya
masyarakat, lembaga dan Organisasi Non Pemerintah dalam memobilisasi sumber
daya dan dana untuk kegiatan penanggulangan HIV/AIDS.
3) Tingkat Kecamatan.
Upaya pananggulangan HIV/AIDS di
Tingkat Kecamatan dipimpin oleh Camat,dengan kerjasama para pelaksana sektor
terkait, wakil-wakil dari masyarakat lembaga dan Organisasi Non Pemerintah
setempat. Tugas dan tanggung jawab Camat di Kecamatan adalah :
a) Memimpin, mengelola dan
mengkoordinasikan kegiatan penanggulangan HIV/AIDS di kecamatannya:
b) Mengindentifikasi lokasi/wilayah
yang potensial untuk penyebaran HIV/AIDS yang lebih cepat:
c) Menghimpun menggerakan dan
memanfaatkan sumber daya dan dana setempat secara efektif dan membantu
kelancaran upaya masyaraka.
4)
Tingkat
Kelurahan dan desa.
Lurah/Kepala Desa memegang peran
kunci dalam memimpin pelaksanaan pencegahan/penanggulangan HIV/AIDS dalam
wilayahnya masing-masing. Tugas dan fungsinya adalah :
a) Mendorong upaya masyarakat dan
memberikan kemudahan untuk kegiatan kelompok-kelompok masyarakat sesuai jiwa
dan semangat Strategi Nasional;
b) Bekerjasama dengan perangkat
pemerintah untuk menjamin pelakasanaan kegiatan yang efektif dan efisien
program penanggulangan HIV/AIDS ditingkat Kelurahan dan Desa.
a. Rumah tangga dan keluarga
Keluarga sebagai unit terkecil masyarakat perlu ditingkatkan
ketahanannya dengan meningkatkan dan memantapkan peran serta fungsi-fungsi
keluarga agar ikut bertanggung jawab membina anggotanya untuk mencegah
penularan HIV/AIDS serta tidak bersikap diskriminatif terhadap pengidap
HIV/serta penderita AIDS.
b.
Lembaga
swadaya masyarakat (LSM) dan Organisasi/Lembaga Non Pemerintah.
LSM dan Organisasi/lembaga Non
Pemerintah memainkan peranan yang penting dan diakui sebagai mitra setara dalam
usaha nasional untuk penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia. Untuk menjangkau
orang-orang dan kelompoknya, dengan kebutuhan khusus antara lain kelompok
remaja, agama, wanita, profesi yang biasanya tidak atau sulit-terjangkau oleh
petugas pemerintah.
Untuk mendukung kegiatan LSM,
Organisasi/Lembaga Non Pemerintah secara optimal dapat dikembangkan pusat data
dan informasi serta jaringan kerjasama yang efektif.
PEMBAHASAN
1. Isu Kebijakan Publik
HIV/AIDS
merupakan isu kebijakan publik paling global.HIV/AIDS telah menyebar ke seluruh
dunia, sementara obat yang manjur untuk mencegah dan menyembuhkan HIV/AIDS
belum ditemukan. Saat ini HIV/AIDS bukan semata-mata masalah kesehatan, akan
tetapi telah memiliki implikasi politik, ekonomi, sosial, etika, agama, dan
hukum (Haryanto,dkk. 2010).
Papua
sebagai Provinsi yang berada paling timur di Indonesia merupakan Provinsi
dengan jumlah kasus HIV/AIDS tertinggi kedua di Indonesia. Tercatat hingga Juni
2012 jumlah penduduk yang terinfeksi HIV/AIDS mencapai 13.476 orang (sumber: Ditjen PP
& PL Kemenkes RI), akan tetapi menurut Ketua Komisi Penanggulangan
AIDS Dearah (KPAD) Provinsi Papua dr. Constant Karma (2009) menyebutkan
diperkirakan 29.000 orang Papua hidup dengan HIV/AIDS dan diperkirakan sebagian
besar merupakan bagian dari komunitas yang tinggal di wilayah yang sulit
diakses dan daerah pedalaman (Haryanto,dkk. 2010).
Menanggapi
semakin parahnya kasus HIV/AIDS di Papua, pemerintah Kabupaten Jayapura
merespon dengan cepat melalui Peraturan Daerah Nomor 20 Tahun 2003 tentang
Pencagahan dan Penanggulangan HIV/AIDS dan IMS. Langkah yang diambil Pemkab
Jayapura patut mendapat apresiasi, sebab Perda ini merupakan perda tentang
HIV/AIDS pertama di Indonesia. Walaupun pada awalnya ketersediaan dana sangat
minim, namun dana tersebut mampu menggerakkan implementasi Perda tersebut.
Secara
normatif, tujuan dari Perda Nomor 20 tahun 2003 adalah menekan laju HIV/AIDS di
wilayah Kabupaten Jayapura (Haryanto,dkk. 2010). Tujuan ini sangat jelas,
sehingga mampu menjadi pedoman bagi para implementor dalam melaksanakan Perda
tersebut.Jika ditelaah lebih jauh, Perda ini sebenarnya bertujuan untuk
melakukan pemberdayaan masyarakat dalam menanggulangi masalah HIV/AIDS di
Jayapura. Melalui pemberdayaan masyarakat diharapkan mampu menekan laju
penyebaran penyakit HIV/AIDS, diantaranya dengan mencegah terjadinya penularan
kepada orang sehat, melibatkan peran serta LSM yang concern pada masalah
HIV/AIDS, dan juga meminimalisir stigma di masyarakat mengenai HIV/AIDS,
sehingga pengidap HIV/AIDS juga dapat hidup normal di dalam masyarakat.
Adapun aktor
yang terlibat dalam implementasi Perda Nomor 20 tahun 2003 diantaranya Dinas
Kesehatan dan Komisi Penanggulangan AIDS Kabupaten Jayapura sebagai
representatif Pemerintah Kabupaten Jayapura, NGO/LSM, dan masyarakat. Selain
itu, pemerintah Kabupaten Jayapura memilih menerapkan instrumen penggunaan
kondom saat berhubungan seksual beresiko. Instrumen penggunaan kondom dipilih
berdasarkan data yang ada menunjukan bahwa 97% lebih kasus penyebaran HIV/AIDS
di Papua menular melalui hubungan seks bebas.
2. Analisis
Peran Internasional
Peran
internasional bertindak
sebagai lembaga donor dalam berbagai program pencegahan dan penanggulangan
HIV/AIDS. Tetapi perlu menjadi perhatian pemerintah adalah bantuan lembaga
donor asing biasanya hanya bersifat sementara, sedangkan kesuksesan
penanggulangan HIV/AIDS membutuhakn kesinambungan program-program.
3. Analisis
Keterlibatan Peran Politik
Aktor yang terlibat dalam pelaksanaan Peraturan Daerah Nomor 20 Tahun
2003 terdiri dari aktor pemerintah, aktor non pemerintah, aktor internasional,
dan masyarakat. Aktor pemerintah Kabupaten Jayapura sendiri terkendala baik
secara kuantitas maupun kualitas.Ketersediaan tenaga kesehatan di Kabupaten
Jayapura khususnya untuk penanganan penderita HIV/AIDS masih sangat kurang.
Penderita HIV/AIDS memerlukan tenaga profesional tidak saja untuk pengobatan
akan tetapi juga dukungan psikologi dan sosial. Hal tersebut menyebabkan
kesulitan pemberdayaan penderita HIV/AIDS.Adapun peran LSM dalam pencegahan dan penanggulangan
HIV/AIDS di Jayapura adalah sebagai mitra dari pemerintah.Sedangkan masyarakat
hanya ditempatkan sebagai objek kebijakan.
4. Analisis
Impementasi Kebijakan
Implementasi kebijakan merupakan studi penting dari kajian ilmu
administrasi publik, khususnya ilmu kebijakan publik. Sebuah kebijakan tidak
akan membawa manfaat bagi masyarakat luas tanpa adanya implementasi. Budi
Winarno (2008) menyatakan bahwa implementasi kebijakan merupakan tahap yang
krusial dalam proses kebijakan publik, dan suatu program kebijakan harus diimplementasikan
agar mempunyai dampak atau tujuan yang diinginkan.
Terkait dengan kasus HIV/AIDS di Jayapura, Pemerintah Kabupaten Jayapura
berupaya menanggulanginya dengan mengimplementasikan Peraturan Daerah Nomor 20
tahun 2003 tentang Pencegahan dan Penanggulangan HIV/AIDS dan IMS. Sejak Perda
ini diimplementasikan hingga saat ini, justru jumlah orang yang terinfeksi
HIV/AIDS semakin bertambah.Meskipun demikian, fenomena tingginya kasus HIV/AIDS
di Kabupaten Jayapura, tidak semata-mata dikarenakan kegagalan dalam
mengimplementasikan kebijakan. Sebab kasus HIV/AIDS di Kabupaten Jayapura
seperti ‘gunung es’, artinya dipermukaan tidak begitu nampak, akan tetapi di
dalamnya sangat pesat penyebarannya. Oleh karena itu dibutuhkan waktu yang
relatif lama dan juga kegiatan yang bersifat kontinu dalam menanggulangi kasus
HIV/AIDS di Kabupaten Jayapura.
Keberhasilan
implementasi kebijakan sangat dipengaruhi oleh banyak variabel atau faktor, dan
masing-masing varibel tersebut saling berkaitan satu dengan yang lainnya. Maka
untuk lebih memahami implementasi kebijakan (Peraturan Daerah Nomor 20 tahun
2003 tentang Pencagahan dan Penanggulangan HIV/AIDS dan IMS) di Kabupaten
Jayapura, harus terlebih dahulu dipahami berbagai variabel yang
mempengaruhinya. Dalam hal ini akan digunakan teori impelementasi dari George
C. Edwards III dan David C. Korten. Berikut ini pembahasannya:
a.
Teori Implementasi George C. Edwards
III
Model Implementasi kebijakan publik
yang dikemukakan oleh Edward menunjuk empat variabel yang berperan penting
dalam pencapaian keberhasilan implementasi, empat variabel tersebut adalah
komunikasi, sumber daya, disposisi dan struktur birokrasi (dalam Indiahono,
2009).Keempat variabel ini saling memiliki keterkaitan dan saling bersinergi
satu dengan yang lainnya.
1) Komunikasi
:Pada kasus implementasi kebijakan penanggulangan
HIV/AIDS di Kabupaten Jayapura, dapat terlihat dengan jelas bahwa komunikasi
tidak berjalan dengan baik antara pelaksana dan penerima program. Hal ini
terlihat dengan hanya menjadikan masyarakat, khusus pekerja seks komersil
sebagai objek kebijakan. Masyarakat tidak dilibatkan sebagai subjek kebijakan,
padahal dalam pasal 6 ayat 3 Peraturan Daerah Nomor 20 tahun 2003 tentang
Pencagahan dan Penanggulangan HIV/AIDS dan IMS, disebutkan bahwa ‘Masyarakat
dan LSM menjadi pelaku utama, sedangkan pemerintah berkewajiban
mengarahkan,membimbing dan menciptakan suasana yang mendukung.’ Apa yang
tertuang dalam pasal tersebut, mengarah pada terwujudnya partisipasi dan
pemberdayaan masyarakat.Padahal masyarakat, sangat membutuhkan informasi dan
pendidikan mengenai HIV/AIDS. Khusus untuk pekerja seks komersil, mereka
sebenarnya memegang peranan penting dalam penyebaran HIV/AIDS, oleh karena itu,
mereka seharusnya diberikan pengetahuan (komunikasi) yang baik mengenai
HIV/AIDS, hal ini penting guna menghambat penyebaran penyakit tersebut.
2) Sumber Daya
:Sumber daya yang dimaksud disini adalah sumber daya manusia
dan sumber daya finansial. Berdasarkan hasil penelitian Haryanto, dkk (2010)
disebutkan bahwa implementasi kebijakan pencagahan dan penanggulangan HIV/AIDS
di Kabupaten Jayapura masih terkendala masalah sumber daya manusia, baik secara
kuantitas maupun kualitas. Ketersediaan tenaga kesehatan di Kabupaten Jayapura
khususnya untuk penanganan penderita HIV/AIDS masih sangat kurang. Penderita
HIV/AIDS memerlukan tenaga profesional tidak saja untuk pengobatan akan tetapi
juga dukungan psikologi dan sosial. Hal tersebut menyebabkan kesulitan
pemberdayaan penderita HIV/AIDS.
3) Disposisi
:Disposisi menunjukan karakteristik implementor
kebijakan seperti komitmen, kejujuran, dan demokratis. Dalam hal komitmen,
pemerintah Kabupaten Jayapura seperti sangat serius dalam penanggulangan
HIV/AIDS. Terbukti dengan diterbitkannya Perda yang konsen dalam pencegahan dan
penanggulangan HIV/AIDS, sekaligus merupakan perda pertama di Indonesia yang
fokus pada masalah HIV/AIDS. Komitmen juga ditunjukan dengan sering terlibat langsungnya
kepada daerah dalam berbagai kegiatan pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS di
lapangan.Yang masih harus menjadi perhatian adalah faktor kejujuran dan
demokratis. Belum dilibatkannya masyarakat secara langsung dalam berbagai
program pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS membuktikan belum demokratisnya
pemerintah Kabupaten Jayapura dalam implementasi kebijakan.
4) Struktur Birokrasi :Struktur
birokrasi pemerintah Kabupaten Jayapura dalam mengimplementasikan kebijakan
pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS dikatakan cukup baik. Selama ini
pemerintah Kabupaten Jayapura cukup terbuka dalam membangun kerja sama dengan
pemerintah provisi dan pusat, membangun kemitraan bersama berbagai LSM yang ada
di daerah, dan juga menjalin kerja sama dengan lembaga donor asing.Akan tetapi
masih terdapat masalah dalam keterbatasan kapasitas birokrasi terkait sumber
daya manusia yang ada. Selain itu, berbagai bantuan dari lembaga donor
dan juga kerja LSM kurang terkoordinasi, sehingga yang terjadi seolah berjalan
‘sendiri-sendiri’, tanpa adanya sinergi.
b.
Teori Model Kelayakan Kebijakan
David C. Korten
Menurut Korten kebijakan dikatakan layak atau akan berjalan dengan baik
apabila terjadi sinergi antara kebijakan itu sendiri dengan pelaksanan
kebijakan dan penerima kebijakan. Ketiga variabel (kebijakan, pelaksana, dan
sasaran) harus berada dalam kondisi yang baik/layak.
1) Kebijakan
:Komitmen pimpinan politik merupakan salah satu
pendorong keberhasilan implementasi kebijakan. Peraturan Daerah Nomor 20 Tahun
2003 tentang Pencagahan dan Penanggulangan HIV/AIDS dan IMS merupakan salah
satu komitmen politik pemerintah Kabupaten Jayapura dalam menganggulangi kasus
HIV/AIDS di Jayapura. Selain itu, Bupati sering terlihat keikutsertaannya dalam
aktivitas-aktivitas penanggulangan HIV/AIDS di daerah (Haryanto,dkk.
2010).Tidak semua daerah memiliki perda tentang HIV/AIDS. Kabupaten Jayapura
merupakan dearah pertama di Indonesia yang memiliki Perda yang concern pada
pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS. Peraturan Daerah Nomor 20 Tahun 2003
tentang Pencagahan dan Penanggulangan HIV/AIDS dan IMS merupakan inisiatif
pemerintah (top-down), namun pada proses implementasinya melibatkan
multi aktor, baik dari pemerintah, non pemerintah, dan masyarakat. Kebijakan
pemerintah Kabupaten Jayapura, yakni Peraturan Daerah Nomor 20 Tahun 2003
tentang Pencagahan dan Penanggulangan HIV/AIDS dan IMS, bisa dikata sudah cukup
baik. Maka yang menjadi fokus selanjutnya adalah bagaimana Perda itu
diimplementasikan.
2) Pelaksanan KebijakanAktor yang
terlibat dalam pelaksanaan Peraturan Daerah Nomor 20 Tahun 2003 terdiri dari
aktor pemerintah, aktor non pemerintah, aktor internasional, dan masyarakat.
Hal ini menunjukan implementasi Perda tersebut telah melibatkan multi-aktor.
3) Sasaran Kebijakan
:Ditengah gencarnya pemerintah dalam pencegahan dan
penanggulangan HIV/AIDS di Jayapura, masyarakan sebagai sasaran kebijakan hanya
ditempatkan sebagai objek kebijakan. Padahal dalam pasal 6 ayat 3 Peraturan
Daerah Nomor 20 tahun 2003 tentang Pencagahan dan Penanggulangan HIV/AIDS dan
IMS, disebutkan bahwa ‘Masyarakat dan LSM menjadi pelaku
utama, sedangkan pemerintah berkewajiban mengarahkan,membimbing dan menciptakan
suasana yang mendukung.
c.
Penilaian
Berdasarkan teori dari Edward dan Korten,
terdapat tujuh variabel yang berpengaruh terhadap keberhasilan implementasi
kebijakan. Selanjutnya, kami mencoba untuk memberikan penilaian terhadap Peraturan
Daerah Nomor 20 Tahun 2003 tentang Pencagahan dan Penanggulangan HIV/AIDS dan
IMS di Jayapura terkait pemberdayaan masyarakat. Penilaian ini berdasarkan
pembahasan sebelumnya dengan menggunakan tujuh variabel. Penilaiannya sebagai
berikut :
Penilaian Kebijakan
Variabel
|
Penilaian
|
||
Baik
|
Cukup
|
Kurang
|
|
Kebijakan
|
ü
|
||
Pelaksana
|
ü
|
||
Sasaran
|
ü
|
||
Komunikasi
|
ü
|
||
Sumber Daya
|
ü
|
||
Disposisi
|
ü
|
||
Struktur Birokrasi
|
ü
|
Berdasarkan
penilaian di atas, terlihat bahwa implementasi Peraturan
Daerah Nomor 20 Tahun 2003 tentang Pencagahan dan Penanggulangan HIV/AIDS dan
IMS di Jayapura kurang berjalan dengan baik. Namun bukan berarti Perda tersebut
gagal begitu saja.Sebab secara kebijakan, perda tersebut dapat dikatakan layak,
yang perlu dilakukan pemerintah Kabupaten Jayapura saat ini adalah bagaimana
mengevaluasi dan membenahi berbagai kekurangan yang ada.Selain itu, pemerintah
juga harus lebih melakukan pemberdayaan masyarakat dalam menganggulangi masalah
HIV/AIDS, sebab masyarakat juga memegang peranan yang sangat penting.
Masyarakat jangan lagi hanya dijadikan objek kebijakan, akan tetapi mereka juga
harus dilibatkan sebagai subjek kebijakan.
Fenomena tingginya kasus HIV/AIDS di
Kab.Jayapura bukan semata-mata merupakan sebuah kegagalan implementasi
kebijakan. Sebab untuk menunjukan gejala seseorang terinfeksi memerlukan waktu
yang lama, yakni dengan masa full-blown AIDS berkisar 5-10 tahun.
Bertambahnya penderita HIV/AIDS tidak selamanya merupakan kegagalan program,
sebeb bisa juga merupakan keberhasilan pemerintah dalam melakukan pendataan
masyarakat yang terinfeksi HIV/AIDS, sehingga bisa dilakukan langkah-langkah
selanjutnya guna mencegah penyebaran yang lebih luas.
KESIMPULAN
Masalah
HIV/AIDS merupakan masalah yang sulit.Namun sudah menjadi tugas pemerintah
untuk melindungi masyarakatnya dari berbagai ancaman dalam berbagai bentuk,
termasuk HIV/AIDS.Peran
pemerintah sangat besar terhadap penanganan HIV/AIDS sebab pemerintah adalah
pemegang kendali terhadap stabilitas dalam kelompok masyarakat, selain itu
pemerintah memiliki kekuatan melalui Kebijakan yang dibuat sebagai upaya
pencapaian tatanan sosial yang sehat dan dinamis.
Melalui kebijakan yang telah di
buat, Peraturan Daerah Nomor 20 Tahun 2003, belum optimaltentang HIV dan AIDS
di Kabupaten Jayapura, penanganan masih sebatas pengawasan terhadap para pelaku
seks di tempat prostitusi resmi dan tak resmi. Agar pelaksanaan Perda lebih
maksimal Pemerintah bisa membuat suatu sanksi tegas dansanksi
tersebut harus diterapkan.Pemerintah
juga perlu
mengembangkan pendekatan lain dalam menanggulangi HIV/AIDS, seperti pendekatan
ekonomi, pendidikan, dan religi.
Implementasi Perda HIV-AIDS oleh
Pemda Jayapura, perlu melihat apakah dari masyarakat Jayapura sendiri
mengetahui apa itu HIV-AIDS, akibatnya apapun usaha yang dilakukan pemerintah
tanpa memahami keterbatasan yang ada ditengah-tengah masyarakat sama halnya
usaha ‘menjaring
angin’.
Sehingga komunikasi dan pendidikan mengenai HIV/AIDS perlu dilakukan
oleh pemerintah dengan membangun kerja sama dengan berbagai organisasi yang
perduli terhadap HIV/AIDS.LSM atau organisasi kemasyarakatan
selama ini diharap dapat menjadi pendamping dan memberikan dukungan untuk
implementasi kebijakan penanggulangan HIV/AIDS tetapi LSM/organiasi
kemasyarakat itu sendiri kurang
dilibatkan oleh sektor resmi dari pemerintah dalam perencanaan dan pelaksanaan
program sehingga perlu dilibatkan.
Masyarakat dapat berperan serta
dalam penanggulangan HIV AIDS dengan cara berperilaku hidup sehat, membentuk
dan mengembangkan warga peduli AIDS dan mendorong masyarakat yang berpotensi
melakukan perbuatan berisiko tertular HIV untuk memeriksakan diri kefasilitas
pelayanan.
REFERENSI
Agustino, Leo. 2006. Dasar-Dasar Kebijakan Publik. Bandung: Alfabeta.
Ditjen PP & PL Kemenkes RI. 2012. Statistik Kasus HIV/AIDS di
Indonesia.
Data. http://spiritia.or.id/Stats/StatCurr.pdf. diakses tanggal 20 Februari 2017.
Hanna Sagala, Sri Suwitri, R. Slamet
Santoso. 2013.Implementasi Kebijakan Penanggulangan HIV dan AIDS di Jawa Tengah (Kajian
Peraturan Daerah Provinsi Jawa Tengah Nomor 5 Tahun 2009. Jurnal Penelitian.http://www.fisip.undip.ac.id, diakses tanggal 20 Februari 2017.
Harahap, Syaiful W. 2012. Penanggulangan HIV/AIDS di Jayapura, Papua,
Tidak Konkret.Artikel.
http://regional.kompasiana.com/2012/01/28/penanggulangan-hivaids-di-kab-jayapura-papua-tidak-konkret/,diakses tanggal 20
Februari 2017
Junaidi. 2013. Implementasi Kebijakan Penanggulangan
Hiv/Aids OlehKomisi Penanggulangan Aids (Kpa) Di Kota Pontianak. Volume 2
Nomor 1. Jurnal Penelitian. http://jurnalmahasiswa.fisip.untan.ac.id, diakses tanggal 20 Februari 2017.
Kusuma, Aji. 2014. Analisis Implementasi Kebijakan Publik. Artikel. http://azizkusumaaji.blogspot.co.id/2014/10/analisis-implementasi-kebijakan-publik.html, diakses
tanggal 20 Februari 2017.
Mangimbo,
dkk. 2015. Analisis Implementasi
Kebijakan Program Pencegahan Dan Penanggulangan Hiv/Aids Di Komisi Penanggulangan Aids Provinsi Sulawesi Utara. Universitas
Sam Ratulangi, Manado.
Mufidah.
2012. Penanggulangan Hiv/Aids Melalui
Jejaring Antar Lembaga Berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Malang Jawa Timur
Nomor 14 Tahun 2008. Jurnal Pendidikan Islam. Vol. 2 Nomor 1 April 2012.
Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Syarifviddin Wonorejo – Lumajang.
Ni’mal
Baroya, Sulistiyani.
2008. The Implementation Of Hiv & Aids
Prevention And Tackling Policy In Jember. Jurnal. http://kesmas.unsoed.ac.id/sites/default/files/file-unggah/Ni'mal%20Baroya-23.pdfdiakses tanggal 20 Februari 2017.
Pusat Kebijakan dan Manajemen
Kesehatan. 2014. Ringkasan dokumen
kebijakan HIV dan AIDS dalam sistem kesehatan. Fakultas Kedokteran Gajah
Mada.
Winarno, Budi. 2008. Kebijakan
Publik: Teori dan Proses. Media Pressindo: Jakarta.
No comments:
Post a Comment