BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ekonomi Politik Islam hanyalah
satu bidang ilmu yang akan dibangun berdasarkan paradigma tauhid. Semua ilmu pengetahuan yang ada perlu dibangun pula dalam kerangka
paradigma Tauhid. Pemisahan ilmu dan
keyakinan
(sekularisme) pada
dasarnya merupakan
hal yang historis di dunia Barat, dan bukan bersifat
universal. Kondisi yang ada di Barat tidak dapat dengan serta merta
diaplikasikan di dunia Muslim yang mempunyai sistem keyakinan yang berbeda dan
sejarah hubungan agamawan dan ilmuwan yang juga berbeda.
Terdapat dua alasan yang melatarbelakangi
diperlukannya pengembangan teori, pemikiran, atau konsep-konsep Ekonomi Politik
Islam dewasa ini. Pertama, adalah dasar “keyakinan” (belief system). Kedua, adalah dasar kebutuhan umat manusia (humanity’s needs). Alasan yang
pertama, hal ini kembali kepada logical
consequence dari keyakinan kita sebagai Muslim. Sedangkan
alasan yang kedua, saat ini dunia tengah mencari perspektif yang benar dan
seimbang tentang ekonomi politik, dan itu hanya tersedia pada ekonomi politik
Islam. Untuk hal ini, telah banyak pengakuan dari pemikir-pemikir ekonomi dari
luar Muslim sendiri.
Pengembangan
ekonomi politik Islam diperlukan untuk menjawab persoalan ekonomi dan
pembangunan, khususnya di dunia Muslim, antara lain dalam rangka membebaskan dunia
Muslim dari kelemahan dan keterbelakangan dalam peraturan peradaban dunia saat
ini. Ekonomi
Politik Islam diharapkan akan dapat menyatukan kembali antara “body” and “spirit” dari dunia Muslim, yang selama ini terpisahkan oleh
paradigma sekuler yang dominan.
B. Rumusan Masalah
1.
Bagaimana Sejarah tentang
Ekonomi Politik Islam di zaman Rasulullah SAW dan sahabatnya serta pada masa
klasik dan kontemporer?
2.
Apa dan Bagaimana Konsep
Ekonomi Politik Islam?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui sejarah
tantang ekonomi politik Islam di zaman Rasulullah SAW dan
sahabatnya.
2. Untuk memahami
Konsep Ekonomi Politik Islam.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sekilas Sejarah tentang Ekonomi Politik
di Zaman Rasulullah SAW dan sahabatnya
1. Masa nabi Muhammad SAW[1]
Pada
masa nabi Muhammad SAW, nabi diutus sebagai kepala negara dan kepala kenegaraan
secara aklamasi karena sosok beliau dan perjuangan beliau dalam menyebarkan
Islam. Pada masa Nabi Muhammad ia hadir sebagai tokoh sentral di negara Madinah dan ia juga dikenal
karena keteguhan prinsip dan
kesabarannya dalam memerintah. Pada masa pemerintahannya ia membentuk pembagian
tugas kenegaraan, dengan cara mengangkat orang-orang yang memenuhi syarat yang
nantinya akan diutus sebagai wazir (menteri),
katib (sekertaris), wali (gubernur), amil (pengelola zakat), dan qadi
(hakim). Pada masa ini pula madinah terbagi menjadi beberapa provinsi
diantaranya adalah : Madinah, Tayma, al_Janad, daerah Banu Kindah, Mekkah,
Najran, Yaman, Hadarmaut, Uman dan Bahrain. Pada setiap provinsi tersebut Nabi
menugaskan seorang wali, qadi dan amil.
Selain telah adanya pembagian kekuasaan madinah,
namun tetap semuanya tetap dibawah
pimpinan Nabi Muhammad, prinsip keadilan sosial selalu diterapkan dalam pemerintahan Nabi Muhammad sesuai dengan
ketentuan-ketentuan dalam hukum Islam ditandai dengan tidak membeda-bedakan
umat Islam dan dzimmi semuanya berhak
atas perlindungan hukum dari negara. Namun semua hal tersebut tidak
terlepas getolnya seruan Nabi kepada
umat non-islam untuk masuk Islam namun tidak pernah memaksa.
Pada masa nabi Muhammad, dengan diberikannya kekuasaan
kepada amil maka kaum muslim diwajibkan
membayar zakat dan infaq sedangkan kaum dzimmi diwajibkan membayar jiyazah hal tersebut bertujuan untuk kepentingan umatnya. Selain
itu, sumber pendapatan negara juga didapatkan melalui ghanimah yaitu harta rampasan perang, yang telah ditentukan dalam
Al-quran 4/5 untuk tentara Madinah yang turut dalam peperangan dan 1/5 untuk
Rasulullah pribadi yang tidak bersifat
pribadi tapi juga untuk kepentingan umat.
Nabi
Muhammad sebagai tokoh panutan (uswatun
hasanah) secara pribadi senantiasa memberikan contoh atau teladan kepada
para pengikutnya tentang setiap hal yang ia ajarkan. Beliau tidak hanya sekedar
berbicara atau menyampaikan suatu gagasan secara lisan, akan tetapi juga semua ajaran
Islam beliau terapkan dalam kenyataan. Prinsip–prinsip demokrasi Islam bukanlah
sekedar Idealisme, akan tetapi prinsip-prinsip demokrasi Islam itu
dikristaliasasi kan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Prinsip-prinsip itu telah menjadi basis dalam mekanisme pemerintahan
Madinah dibawah pimpinan Nabi Muhammad
SAW. Pemeritahan madinah diselenggarakan sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi
islam yang telah digariskan dalam Al-Quran.
2.
Masa Umar bin Khattab[2]
Tidak banyak mengungkap bahwa Umar bin Khattab merupakan
salah satu pemuka Arab Quraisy yang sejak muda sudah terdidik. Citra yang
diperoleh selama ini terhadap sosok Umar ialah pribadi yang kuat, keras, bukan
kasar. Jauh dari citra seorang yang terdidik (educated). Padahal nyatanya menurut Baladzuri, bahwa saat Muhammad
Saw diutus menjadi Nabi, hanya 17 orang dari seluruh suku Quraisy yang bisa
membaca dan menulis, dan Umar anak Khattab merupakan salah satu di antaranya.
Berarti pada saat itu Umar masih pemuda.
Selain itu, Umar juga dipilih oleh suku Qurais sebagai duta besar bagi
mereka karena mempertimbangkan kecakapan dan pengalaman luasnya berdagang ke
Persia dan Suriah. Umar juga berbakat dalam seni puisi di samping dirinya juga
merupakan pegulat terkenal. Dalam satu riwayat disebutkan, Umar juga mengetahui
dan kemungkinan besar sudah membaca Kitab Taurat. Dengan informasi semacam itu,
pantaslah jika Umar dalam periode khilafahnya sarat dengan keputusan-keputusan
yang cerdas dan berjangkau panjang.
Dikatakan, Umar lahir 40 tahun sebelum hijrah. Saat
hijrah, periode Islam yang sangat monumental itu, Umar sudah berumur 40 tahun.
Pada saat Nabi mengabarkan misi kenabiannya, Umar berusia 27 tahun, sedangkan
Nabi genap berumur 40 tahun. Sejak memeluk Islam, praktis seluruh hidupnya
bersama-sama dengan Nabi. Pada tahun 1 Hijriah, Umar menjadi tangan kanan
Rasulullah dalam perang Badr. Perang ini merupakan perang menentukan dalam masa
depan Islam selanjutnya. Dengan jumlah yang tidak seimbang, perang ini dimenangkan
kaum Muslimin. Karena Umar
menghadapi situasi dan kondisi yang jauh lebih kompleks dari sebelumnya akibat
perluasan wilayah, maka implikasinya masalah-masalah sosial, hukum, politik,
ekonomi dan budaya pun makin rumit. Umar saat itu tampil menyelesaikan masalah
dengan cemerlang dan menjadi mujtahid yang produktif dan mengesankan karena
kedudukannya sebagai amirul mukminin,
tempat umat untuk merujuk dan meminta keputusan.
Dalam konteks kebutuhan suatu dasar-dasar ekonomi politik
Islam, jejak-jejak (atsar) pemikiran
Umar bin Khattab terkait pengaturan negara, politik, dan ekonomi, dapat
dikembangkan untuk keperluan dewasa ini, mengingat dinamis dan progresifnya
keputusan-keputusan yang dihasilkan oleh pemikiran Umar bin Khattab. Beberapa
asas yang menjadi dasar pemikirannya dalam setiap kali mengambil keputusan,
dapat disebutkan antara lain: keberpihakan kepada kepentingan luas umat
Muslimin; keberpihakan kepada masa depan umat Muslimin; keberpihakan kepada
pihak-pihak yang dekat kepada Nabi; keberpihakan kepada pihak-pihak yang
mendesak memerlukan; dan keberpihakan kepada kedaulatan dan kewibawaan daulah
Islam. Di luar dugaan Umar kembali mengutip ayat yang menjadi dalil mereka
dengan menekankan kalimat “dan mereka yang akan datang kemudian”. Kemudian Umar
berkata, “Oleh karena itu, semuanya ini adalah kepunyaan generasi-generasi yang
akan datang dan semua negeri (tanah) ini adalah milik umat. Lalu bagaimana aku
dapat membagi-bagikannya kepada yang sekarang hadir dan merenggutnya dari
mereka yang akan datang sesudah itu.”
Demikian juga mengenai asas keberpihakan kepada golongan
yang dekat kepada Nabi, dapat kita sebutkan pernyatan Umar tatkala menjelang
kematiannya. Kepada orang-orang yang mengelilinginya ia menyatakan, “Siapa pun
yang terpilih sebagai khalifah, kuperintahkan untuk menghormati sebaik-baiknya
hak-hak istimewa (privilege) dari
lima golongan rakyat ini: Muhajirin, Anshar, Badui, orang-orang Arab yang
beremigrasi ke kota-kota di luar negeri, dan dzhimmi, yaitu orang-orang Kristen, Yahudi dan Majusi yang berada
di bawah Islam.” Kemudian Umar melanjutkan perkataannya terkait dzimmi, “Ini adalah perintah
perpisahanku kepada Khalifah yang akan datang bahwa ia hendaknya menaruh
perhatian yang setepat-tepatnya terhadap pertanggungjawaban kepada Allah dan
Nabi-Nya, yaitu bahwa perjanjian yang dicapai dengan dzimmi supaya dihormati, musuh-musuh mereka supaya dielakkan dan
agar mereka tidak dikenakan kewajiban-kewajiban yang berada di luar kekuatan
kemampuannya. Jika pemikiran Umar tersebut diperas, maka diperolehlah satu
prinsip bahwa hal itu didorong oleh ketundukan dan kecintaannya yang total
terhadap Allah, Islam, umat dan junjungannya yang tercinta, Muhammad Saw.
Dengan merujuk asas-asas pemikiran Umar dalam menerjemahkan kebijakan ekonomi
dan politiknya pada beragam kasus yang dihadapinya, maka asas-asas tersebut
prospektif untuk dapat dijadikan sebagai dasar-dasar teoritik ekonomi politik
Islam di masa sekarang.
3. Pemikiran Politik Islam Klasik dan Pertengahan[3]
Teori tentang asal mula timbulnya negara dari
enam pemikir islam itu mirip satu sama lain, yaitu adanya pengaruh pemikiran alam Yunani, dengan
diwarnai oleh pengaruh Aqidah Islam. Agak berbeda dengan pemikir-pemikir
Yunani, para pemikir islam itu baik secara eksplisit maupun implisit menyatakan
bahwa tujuan bernegara tidak semata-mata untuk memenuhi kebutuhan lahiriah manusia
saja, namun juga merupakan kebutuhan rohaniah. Tetapi diantara mereka berenam tidak selalu mendapat kesepakatan
tentang jabatan kepala pemerintahan, darimana sumber kekuasaan kepala negara,
cara pengangkatan kepala negara, dan hubungan antara kepala negara dan rakyat.
a. Ibnu
Abi Rabi, Ghazali dengan Ibnu Taimiyah dengan tegas menyatakan bahwa kekuasaan
kepala negara merupakan mandat dari Allah kepada hamba-hamba pilihan. Ketiga
pemikir itu berpedapat bahwa kekhalifahan adalah khalifah atau bayangan Allah
di bumi. Bahkan menurut Ghazali kekuasaan khalifah itu dikatakan muqaddas atau suci dengan pengertian
tidak dapat diganggu gugat. Sedangkan menurut Mawardi, kekuasaan kepala negara
itu didasarkan atas kontrak sosial yang melahirkan hak dan kewajiban atas dasar
timbal balik bagi raja dan rakyat. Mawardi adalah satu-satunya dari enam orang
tersebut yang menguraikan tentang banyaknya cara pengisian jabatan kepala
negara, dalam ragam pemilu dan penunjukan wasiat. Tetapi Mawardi tidak
mengemukakan cara mana yang paling baik menurut dia. Mawardi juga merupakan
satu-satunya dari enam orang pemikir yang berpendapat bahwa pemimpin atau
kepala negara bisa diturunkan dari tahta atau jabatannya apabila ia tidak mampu
lagi memerintah, baik itu karena alasan jasmani, rohani, mental ataupun
akhlaq. Namun ia tidak mengemukakan
bagaimana cara penurunannya. Berbeda dengan keenam pemikir lainnya, mereka
beranggapan bahwa sekali seorang pemimpin memipin negara maka kekuasaannya
seumur hidup. Bahkan Ibnu Taimiyah mengemukakan bahwa kepala negara yang zalim
itu lebih baik daripada rakyat yang hidup tanpa kepala Negara.
b. Ibnu khaldun mengemukakan pada waktu itu lebih baik menggunakan dasar hukum
agama dalam penentuan setiap keputusan daripada harus menggunakan otak manusia,
namun ia juga mengakui banyak negara yang tidak mendasarkan hukum agama dalam
pemerintahannya namun dapat mewujudkan ketertiban, keserasian hubungan antara
para warga negaranya, bahkan dapat berkembang baik dan jaya.
4. Pemikiran Politik Islam Kontemporer[4]
a. Afghani, Abduh, Ridha
Berbeda dengan para tokoh islam sebelumnya,
pembahasan tentang pemikir-pemikir islam ini dikaji secara bersama sehingga
mendapat kesimpulan bahwa pemikiran mereka mewakili satu aliran pemikiran yang
berpengaruh luas pada waktu itu, yakni salafiah (baru), dan hubungan mereka
satu sama lain merupakan hubungan antara guru dan murid. Abduh berguru kepada
Afghani, dan Ridha kepada Abduh. Dari ketiga tokoh ini munculah aliran
salafiyah, yaitu suatu aliran yang dipelopori oleh Afghani. Aliran salafiyah
terdiri dari tiga komponen utama, yakni :
Keyakinan
bahwa keagungan dan kejayaan kembali islam hanya mungkin terwujud jika umat
islam kembali kepada ajaran islam yang masih murni, dan meneladani pola hidup
para sahabat nabi, khususunya khulafaurasyidin. Perlawanan terhadap
kolonilasime dan dominasi barat, baik politik, ekonomi, dan kebudayaan. Pengakuan terhadap Barat dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, dan
karenanya umat islam harus belajar dari Barat dalam dua bidang tersebut yang
pada hakikatnya hanya mengambil kembali apa yang dulu telah disumbangkan oleh
umat islam kepada Barat, dan kemudian secara kritis dan selektif memanfaatkan
ilmu dan teknologi barat itu untuk kemajuan dunia islam.
b. Mohammad Husain Haikal
Menolak
pendapat bahwa islam itu lengkap dengan seperangkat pengaturan bagi semua aspek
kehidupan bemasyarakat, termasuk sistem politik, tetapi
sebaliknya tidak beranggapan bahwa islam tidak berbeda dari agama-agama lain
dalam arti tidak mempunyai sangkut paut dengan kehidupan bermasyarakat dan
bernegara. Kelompok ini berpendapat bahwa islam tidak memberikan preferensi
kepada suatu sistem politik tertentu, telah meletakkan seperangkat prinsip atau
tata nilai etika dan moral politik untuk dianut oleh umat islam dalam membina
kehidupan bernegara (seperti yang telah diterangkan dalam al-Quran). Muhammad Abduh
meskipun tidak mempunyai konsepsi politik yang utuh, dari pokok-pokok pikiran
berpendirian bahwa tidak ada orang yang memegang kekuasaan keagamaan dan
mempunyai kewenangan sebagai wakil Tuhan di bumi. Baginya kepala negara adalah
kepala negara yang diangkat dan bisa dihentikan oleh rakyat dan kepada mereka
dia bertanggungjawab. Quthb juga mengemukakan bahwa seorang penguasa islam
tidak memiliki kekuasaan keagamaan yang diterima dari Allah dan dia dipilih
semata-mata karena pilihan kaum muslimin.
Dalam hubungan ini Haikal
meskipun tidak sependapat dengan Maududi dan hanya sepintas, masih memperlihatkan
kecenderungan untuk memberikan status dzimmi
kepada para warga negara yang tidak beragama islam. Abduh sebagaimana Haikal,
juga tidak segan untuk berguru ke Barat dengan mempelajari sistem mereka secara
kritis dan selektif untuk kemudian menirunya apabila perlu dan sesuai.
B. Konsep
Ekonomi Politik Islam[5]
Dalam ekonomi
politik Islam ini terdapat
beberapa karya yang telah dihasilkan. Salah satu karya berjudul ‘Islamic Political Economy in
Capitalist-Globalization’. Karya ini dihasilkan melalui pengumpulan dan
suntingan terhadap beberapa jurnal. Jurnal tersebut dihasilkan melalui
penelitian terhadap sesuatu isu yang dihubungkan dengan ekonomi politik Islam. Jurnal
ini dihasilkan oleh Ghosh (1997:41-56) yang menulis tentang ontologi dalam
ekonomi politik Islam; Radiah Abdul Kader dan Mohamed Ariff (1997:261-278)
tentang pengalaman ekonomi politik keuangan Islam di Malaysia;
Selain itu,
Masudul Alam Choudhury (1997) pula meneliti ciri-ciri ekonomi politik Islam.
Menurut Masudul Alam Choudhury (1997:20), pengaplikasian ekonomi politik Islam
ini diukur melalui ilmu berkaitan musyawarah (syura) dan sub sistem Holistik.
Usaha ini adalah perbincangan permulaan untuk mengembangkan pemahaman
masyarakat mengenai institusi sosial dan hubungannya dengan institusi syariat
dalam perilaku kehidupan. Dalam karya tersebut juga, Muhammad Syukri Salleh
(1997) menulis tentang ekonomi politik Islam, tetapi tumpuannya lebih ke arah
politik pembangunan berteraskan Islam. Selain itu, menumpukan pembaharuan yang
ingin dilakukan dalam sebuah negara Islam.
1. Politik Islam[6]
Pada
bidang politik Islam (siasah),
perbincangan banyak diuraikan dari aspek perubahan politik sebuah negara.
Menurut Ishak Saat (2007), kekuatan dan kelemahan sesuatu partai politik diukur
sebagai suatu perkembangan politik. Dari sini, politik secara umumnya bermaksud mengurus kekuasaan dan
menyelesaikan sesuatu masalah secara kolektif. Kekuasaan itu boleh berlaku
dalam berbagai perangkat. Satu perangkat individual seumpama seorang ayah
memimpin sebuah keluarga, bagaimana beliau menggunakan kuasanya untuk
menyelesaikan masalah keluarganya. Begitu juga di masyarakat, negara dan
seterusnya pada perangkat antarbangsa.
Menurut Yusuf al-Qaradhawi (2002), beliau
mengatakan bahwa sistem politik Islam ialah semua peraturan yang dilaksanakan
oleh pemerintah dengan keputusan untuk menjaga kepentingan manusia. Peraturan
ini boleh dilakukan selagi mana peraturan tersebut tidak bertentangan dengan
undang-undang Islam. Berdasarkan pernyataan tersebut, dapat dipahami bahwa
politik bukan saja memberi rangsangan ingatan ke arah partai politik
semata-mata tetapi meliputi semua aspek dalam kehidupan.
Daripada
pandangan-pandangan yang dijelaskan sebelum ini didapati bahwa secara realitanya
politik telah diteliti oleh para sarjana Muslim. Politik juga telah digunakan
sebagai salah satu bidang penyelidikan oleh para sarjana Barat. Misalnya,
kata-kata oleh Aristotle yaitu ‘man is by nature a political animal’
telah dijadikan bahan kajian oleh penyelidik sains politik. Tajuk ini diolah
menjadi tajuk sebuah karya yaitu ‘Man Is by Nature a Political Animal:
Evolution, Biology, and Politics’. Tajuk ini diambil dari kata-kata
Aristotle tersebut. Dalam karya ini, Aristotle dikatakan seperti menggambarkan
politik tercipta oleh perjuangan untuk mendapatkan kehidupan sempurna oleh
sesuatu pertubuhan atau komuniti. Politik dianggap sebagai suatu yang kotor.
Kekotoran ini kerana beliau menganggap seolah-olah ahli politik itu seperti
bermain catur. Mereka ada kuasa menentukan setiap sesuatu. Hal ini berlaku
disebabkan politik hanya dijadikan sebagai suatu alat yang digunakan untuk
mencapai kepentingan dan ‘line of action’ yang halus serta licin.
Tanggapan yang
mengatakan bahwa politik itu kotor tidak lain hanyalah berdasarkan pengalaman
mereka berhadapan dengan suasana politik yang kotor sebegitu rupa. Sebaliknya,
pengalaman politik yang kotor ini boleh digunakan oleh pihak Barat sebagai
bahan manipulasi dan bahan eksploitasi. Pihak barat telah melakukan serangan
psikologi untuk membiasakan umat Islam dengan pendekatan pemisahan politik
dengan agama. (Yusuf al-Qaradhawy, 2009). Pemisahan politik dengan agama ini
turut dibincangkan oleh para ulama. Seorang ulama bermazhab Syafi’i pernah
berkata seperti berikut: “Tidak boleh ada politik, kecuali yang sesuai
dengan syariat”. Ibnu Aqil membantah dengan mengatakan seperti berikut: “Tindakan
politik yang memang menghasilkan maslahat dan tidak menimbulkan bahaya kerusakan
boleh diserahkan kepada manusia, walaupun tidak ada aturan daripada Rasulullah
SAW maupun wahyu Allah SWT. Jika Anda maksudkan dengan perkataan yang sesuai
dengan syariat adalah tidak bertentangan dengan bunyi teks syariat, berarti Anda
betul. Tetapi jika yang Anda maksudkan adalah tidak boleh ada politik, kecuali
mesti sesuai dengan bunyi teks syariat, maka Anda salah dan bertentangan dengan
apa yang dilakukan sahabat-sahabat Nabi SAW” (Dikutip dari Yusuf
al-Qaradhawy, 2009:31).
Dapat dipahami
bahwa tidak semua politik itu kotor malah Nabi SAW dan juga para sahabatnya
pernah berpolitik. Politik cara Nabi SAW adalah mengikut konsep Islam dan
mengikut dasar-dasar yang sesuai dengan prinsip yang ditetapkan oleh syariah.
Oleh karena itu, politik dan agama tidak boleh dipisahkan. Perbincangan para ulama ini memperlihatkan
bahwa Islam sangat mementingkan pembangunan dari aspek politik dalam
menggalakkan perkembangan masyarakat yang lebih sempurna. Disebabkan itulah
pengkajian mengenai pelaksanaan ekonomi politik Islam ini penting dilaksanakan
untuk memastikan ide dan strategi pelaksanaannya selaras dengan kehendak
syariat Islam. “Islam menyiapkan
cara-cara yang sempurna bagi mengatur manusia. Cara-cara itulah yang dipakai
bagi mengatur kehidupan politik. Tanpa kuasa politik, negara kita tidak dapat
melaksanakan kewajiban mengajak orang supaya melakukan kebaikan dan mencegah
kejahatan, berjihad, menegakkan keadilan, mendirikan shalat, menolong orang
yang teraniaya dan lain-lain” (Yusuf al-Qaradhawi, 2002:23).
2. Ciri-Ciri
Ekonomi Politik Islam[7]
Dari sudut
persamaan ciri-cirinya, menurut Shamsulbahriah Ku Ahmad (1990), ekonomi politik
bukan saja merangkumi bidang ekonomi, tetapi juga termasuklah diantaranya
sosiologi, sains politik dan sejarah. Terdapat pembangunan sosiopolitik,
sosioekonomi, keseimbangan pembangunan masyarakat. Persamaan tersebut berlaku
apabila di dalam konteks pembangunan sumber manusia dari segi tanggungjawab
pemerintah menguruskannya sama ada di negara. Deliarnov (2006:10) pula
mencirikan ekonomi politik ini sebagai pengarahan kepada isu berkaitan teori
sosial yang timbul hasil pengkajian hubungan antara ilmu ekonomi dan ilmu
politik. Begitu juga, mengatakan bahwa ciri-ciri ekonomi politik boleh dikaji
dibalik hubungan antara sains dan undang-undang ekonomi secara umum.
Ekonomi Politik Islam memiliki
empat sumber utama yaitu al-Quran, Hadits, Ijma’ dan Qiyas Ulama. Keempat-empat
sumber ini membentuk tasawuf Islam. Tasawuf Islam di sini bermaksud gambaran
bentuk Islam yang hakiki, yang menjelaskan secara keseluruhan prinsip-prinsip
asas Islam secara benar dan lengkap, sehingga berada di dalam diri orang yang
memahaminya.
3. Pelaksanaan Ekonomi Politik Islam
Seterusnya, persamaan dari sudut pelaksanaan perlu dilakukan untuk menjamin
kesejahteraan masyarakat supaya membuka mata sarjana Islam agar bangkit
mengkaji permasalahan ini. Oleh
demikian, proses pengislahan penting bagi menjamin pembangunan yang harmoni.
Kenyataan tersebut diperkuatkan lagi dengan ungkapan bahwa pengislahan ini
bukan saja kepada masyarakat Barat, tetapi juga kepada umat Islam yang
berfikiran Barat.
Selain itu,
ilmu ekonomi politik Islam ini berasal daripada dua bidang Islam yang utama yaitu
bidang politik Islam dan bidang ekonomi Islam. Oleh demikian, pelaksanaan ekonomi politik Islam ini,
permulaannya dahulu berkenaan politik
Islam yang disebut juga sebagai siasah
Islam, kemudian menjadi ekonomi Islam. Untuk bidang politik Islam, pelaksanaan
sistem politik Islam berlaku apabila semua peraturan yang dilaksanakan oleh
pemerintah adalah bermanfaat menjaga kepentingan manusia. Peraturan tersebut
dilihat masih di dalam sistem politik Islam selagi mana peraturan itu tidak
bertentangan dengan undang-undang Islam.
Politik Islam banyak dibincangkan daripada aspek perubahan politik sebuah
negara. Kekuatan dan kelemahan sesuatu partai politik diukur sebagai suatu
perkembangan politik seperti yang dikatakan Siasah bukan hanya sekadar
berkisar daripada aspek politik kenegaraan, malah pelaksanaan semua perkara
yang berkaitan dengan perilaku seseorang manusia itu disebut sebagai politik. Ilmu
pengetahuan yang berkaitan dengan pelaksanaan kenegaraan, melaksanakan urusan
rakyat, memelihara hewan dan melatihnya dan memberi petunjuk.
Hal ini menunjukkan bahwa Islam sangat mementingkan pelaksanaan
pembangunan daripada aspek sosiopolitik dan sosioekonomi dalam menggalakkan
perkembangan masyarakat yang lebih sempurna. Disebabkan itulah pengkajian
mengenai pelaksanaan ekonomi politik Islam ini penting dalam memastikan ide dan
strategi pelaksanaannya selaras dengan kehendak syariat Islam. Yusuf
al-Qaradhawi (2002) menegaskan:
“Islam menyiapkan cara-cara yang sempurna untuk
mengatur manusia. Cara-cara itulah yang dipakai untuk mengatur kehidupan
politik. Tanpa kuasa politik, negara kita tidak dapat melaksanakan kewajiban
mengajak orang supaya melakukan kebaikan dan mencegah kejahatan, berjihad,
menegakkan keadilan, mendirikan shalat, menolong orang yang teraniaya dan
lain-lain.”
Hasilnya, kemajuan masyarakat dapat berkembang apabila timbulnya
pelaksanaan ke arah kesejahteraan politik dan kestabilan ekonomi mengikut garis
panduan yang ditetapkan oleh Islam. Oleh sebab itulah, pelaksanaan ekonomi
politik Islam ini penting untuk membina masyarakat di bawah pelaksanaan syariat
Islam. Berdasarkan
pandangan Abdul Qadir Djaelani (2001), pelaksanaan kehidupan masyarakat yang
hidup di Barat adalah berbeda adabnya. Beliau mengatakan bahwa sering di
kalangan masyarakat Islam yang tinggal di bawah pemerintahan non-Muslim seperti
di Amerika Serikat, Eropa dan seumpamanya mudah terpengaruh dengan budaya dan
ideologinya sehingga sanggup mengikuti kelakuan dan sikap mereka.
Oleh karena itu,
pelaksanaan ekonomi ke arah keseimbangan pembangunan masyarakat dari segi
materi dan rohani juga penting untuk mengelakkan timbulnya masalah sosial.
Antara jalan penyelesaian yang diutarakan dalam ekonomi Islam ialah zakat.
Zakat menjadi sumber penting masyarakat Islam dalam meningkatkan taraf
sosioekonomi umat. Peningkatan taraf sosioekonomi umat ini diharapkan dapat
menyeimbangkan antara pembangunan materi dan pembangunan kerohanian.
Pembangunan rohani ini adalah antara langkah untuk mengurangi kerusakan akhlak
remaja. Selain itu, peningkatan kemudahan seperti kesehatan, pendidikan,
pengurangan kekerasan dan mengurangi masalah sosial. Untuk mencapai
keseimbangan tersebut, pelakasanaan ekonomi politik harus semata-mata mencari
keridhaan Allah SWT, jauh dari mengutamakan keuntungan dan kepentingan pribadi.
4. Prinsip-Prinsip
Ekonomi Politik Islam[8]
Bahwa prinsip
ekonomi Islam adalah melibatkan soal keadilan, pemilikan harta kekayaan, dan
nilai-nilai etika. Prinsip-prinsip ini perlu dilaksanakan seperti yang
terkandung dalam ekonomi Islam. Prinsip ini berbeda dengan prinsip ekonomi
kapitalis, prinsip kapitalis lebih mementingkan diri sendiri, seperti di zaman
kolonialisme. Berbeda dengan pandangan Adam Smith (1776) yang mengatakan bahwa
prinsip kapitalisme atau disebut ‘lassiez-faire’ lebih adil dan baik
berbanding prinsip komunisme yang diperkenalkan oleh Karl Marx.
Daripada
keseluruhan pandangan mengenai sistem kapitalisme dan sosialisme yang dibicarakan
sebelum ini, bahwa sistem-sistem tersebut telah memberi kesan negatif terhadap
pandangan masyarakat. Menurut M. Umer Chapra (1997), kapitalisme dan sosialisme
telah menimbulkan kebencian masyarakat terutama umat Islam karena tidak selaras
dengan sistem individualisme yang menonjolkan diri dalam persaingan tidak sehat.
Kemudian, sistem riba yang digunakan oleh mereka banyak membebankan masyarakat.
Begitu juga, doktrin komunisme cukup membebankan apabila pihak komunisme
menyarankan menyeluruh terhadap harta benda perseorangan. Ia membawa kepada
peraturan politik yang ketat, kecenderungan untuk menekan kebebasan.
Kesimpulannya, Ibn Khaldun mengatakan bahwa pemerintahan berdasarkan
peraturan-peraturan yang diterima lebih baik untuk mendapat kesejahteraan
dunia dan akhirat.
Di sini, bisa membedakan antara ekonomi politik umum dan ekonomi
politik Islam.
Begitu juga,
terdapat beberapa pelaksanaan yang perlu dipatuhi untuk memastikan ekonomi
politik Islam itu tidak bertentangan daripada garis panduannya yang sebenarnya.
Perkara tersebut seperti menjaga keamanan dan melaksanakan
undang-undang, menyelenggarakan pendidikan, mempersiapkan kekuatan ketentaraan,
memelihara kesehatan, memelihara kepentingan umum, mengembangkan kekayaan di
samping memelihara baitul mal, mengukuhkan akhlak dan menyebarkan dakwah.
Musyawarah,
keadilan, kebebasan, persamaan, Akhirnya, maqasid syar’iah pula perlu
dijadikan tempat rujukan agar batasan hukum syariat itu tetap dipelihara.
Kesemua perkara tersebut apabila dilaksanakan oleh kepimpinan Islam yang
berkualitas selaras dengan syariat Islam, maka maslahat mardhatillah yaitu
mencapai keridaan Allah SWT akan tercapai.
Dalam kondisi
bangsa yang sangat memprihatinkan sekarang, sudah waktunya umat Islam untuk
terjun dalam perjuangan politik yang lebih serius. Umat Islam tidak boleh lagi
bermain di wilayah pinggiran sejarah. Umat Islam harus menyiapkan diri untuk
memunculkan pemimpin-pemimpin yang handal, cerdas, berahklak mulia,
profesional, dan punya integritas diri yang tangguh. Umat Islam di Indonesia
diharapkan tidak lagi termarginalisasi dalam panggung politik. Politik Islam
harus mampu merepresentasikan idealismenya sebagai rahmatan lil alamin dan
dapat memberikan kontribusi yang besar bagi bangsa ini.
Dalam hal ini politik ekonomi Islam
tidak hanya berupaya untuk meningkatkan taraf kehidupan masyarakat saja dalam suatu
negara dengan mengabaikan kemungkinan terjamin tidaknya kebutuhan hidup
tiap-tiap individu. Politik ekonomi Islam juga tidak hanya bertujuan untuk
mengupayakan kemakmuran individu semata tanpa kendali tanpa memperhatikan
terjamin tidaknya kehidupan tiap individu lainnya.
5.
Bentuk Aplikasi Ekonomi Politik Islam di Indonesia[9]
Dalam konteks Indonesia, politik
ekonomi Islam diaplikasikan dalam bentuk “intervensi” pemerintah dalam berbagai
bentuknya (termasuk meregulasi, masuk ke industri, menginisiatif suatu gerakan,
dan lain-lain). Intervensi ini bermakna positif karena bukan kooptasi terhadap
ekonomi Islam tetapi justru mendorong perkembangan ekonomi Islam. Secara
politik ekonomi Islam, ada beberapa rasional yang mengharuskan pemerintah
melakukan intervensi terhadap pengembangan ekonomi Islam, yaitu: (1) Industri
keuangan syariah memiliki dampak yang positif bagi stabilitas perekonomian
makro Indonesia, (2) Industri keuangan syariah memiliki ketahanan atau
resistensi yang cukup tinggi terhadap goncangan krisis keuangan, (3)
Diperlukannya peran aktif pemerintah sebagai regulator dan supervisor
sehingga tercipta efisiensi, transparansi dan berkeadilan, (4) Ekonomi Islam
dapat berperan sebagai penyelamat bila terjadi ketidakpastian usaha atau perekonomian
(5) Dalam teori maupun realitasnya, industri keuangan syariah membutuhkan
infrastruktur yang mendukung perkembangannya. Dalam koridor itulah, politik
ekonomi Islam pemerintah RI pada era reformasi dapat dipaparkan sebagai
berikut: Pandangan dunia islam memiliki tiga prisip fundamental yaitu tauhid,
khilafah dan ‘adalah. Pandangan ini tidak hanya membentuk pandangan islam tapi
juga membentuk ujung tombak maqashid dan strategi. Pandangan dunia islam,
maqashid dan strategi diracik secara bersama-sama dalam suatu keseluruhan yang
konsisten sehingga memungkinkan sistem ekonomi Islam merealisasikan
sasaran-sasarannya.
Indonesia terdiri
dari berbagai suku, bahasa dan agama yang berbeda. Indonesia bersama dengan
negara-negara Asia Tenggara lainnya merupakan salah satu negara yang mayoritas
penduduknya beragama Islam terbesar di dunia. Indonesia diprediksi oleh banyak
kalangan ekonomi internasional sebagai kekuatan ekonomi baru yang akan
memainkan peran penting dalam peraturan ekonomi global. Bersama dengan Turki,
Vietnam dan Mesir, Indonesia juga dianggap layak untuk masuk dalam jajaran
CIVIETS. Dalam jajaran negara-negara Islam, Indonesia termasuk salah satu
negara dari 8 negara yang mempunyai tingkat pertumbuhan PDB yang tertinggi
selain Turki, Saudi Arabia, Iran, Mesir, Malaysia dan Pakistan. Indonesia
mempunyai keunggulan luas wilayah yang sangat besar dangan sumber daya alam yang
potensial untuk dikembangkan baik di darat maupun laut. Kekuatan lain dari
Indonesia adalah jumlah populasi penduduk yang besar dan menyamai Cina dan
India. Jumlah penduduk yang besar ini menjadi pasar potensial bagi Indonesia
untuk memperdagangkan hasil-hasil alamnya.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Bahwa terdapat
satu perbedaan utama di antara ekonomi politik umum dan ekonomi politik Islam.
Perbedaan utama tersebut ialah dari sudut matlamat pelaksanaan. Ekonomi politik
umum dilakasanakan untuk melihat perkembangan yang bersifat materi. Berbeda
dengan ekonomi politik Islam yang dilaksanakan bukan saja melihat dari sudut
perkembangan materi, tetapi jauh dari itu melihat kepada perkembangan dari
sudut rohani.
Sekarang,
sudah waktunya umat Islam untuk terjun dalam perjuangan politik yang lebih
serius. Umat Islam tidak boleh lagi bermain di wilayah pinggiran sejarah. Umat
Islam harus menyiapkan diri untuk memunculkan pemimpin-pemimpin yang handal,
cerdas, berahklak mulia, profesional, dan punya integritas diri yang tangguh.
Umat Islam di Indonesia diharapkan tidak lagi termarginalisasi dalam panggung
politik. Politik Islam harus mampu merepresentasikan idealismenya sebagai rahmatan
lil alamin dan dapat memberikan kontribusi yang besar bagi bangsa ini.
B.
Saran
Dalam penulisan
makalah ini penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangannya atau masih jauh
dari kesempurnaannya. Maka penulis mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya
membangun untuk kedepan, dan penulis berharap agar dalam pembuatan makalah
tidak lagi mengulangi kesalahan yang sama dan bisa menjadikan pengalaman di
masa yang akan datang, Amin.
DAFTAR
PUSTAKA
S. Damanhuri Didin. 2014. Ekonomi-Politik Indonesia dan
Antarbangsa. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Deliarnov. 2006. Ekonomi Politik. Jakarta: Erlangga.
Efendi, Syahrul. Tanpa Tahun. Umar bin Khatab dan Ekonomi
Politik Islam. Dalam Jurnal
Ekonomika di
Academia.edu. Diakses pada tanggal 10 Maret 2017, pukul 14:22.
Syakir Mohd, Mohd Rosdi. 2012. Makna Ekonomi Politik Islam. Dalam
Artikel Academia.edu.
Diakses pada
tanggal 12 Maret 2017, pukul 13:06.
[1] http://dtkisland.blogspot.co.id/2013/12/makalah-politik-islam_27.html.
Diakses pada tanggal 10 Maret 2017, pukul 03.50.
[2] Efendi, Syahrul. Tanpa Tahun.
‘’Umar bin Khatab dan Ekonomi Politik Islam’’ dalam Jurnal Ekonomika
Academia.edu.
[3]Syakir Mohd, Mohd Rosdi. 2012.
‘’Makna Ekonomi Politik Islam’’ dalam Artikel Academia.edu.
Mohd
Syakir Bin Mohd Rosdi merupakan calon Ijazah Kedoktoran di Pusat Kajian
Pengurusan Pembangunan Islam (ISDEV), Pusat Pengajian Sains Kemasyarakatan,
Universiti Sains Malaysia. Beliau juga merupakan Felo RLKA (Rancangan Latihan
Kakitangan Akademik) di Bahagian Pengurusan Pembangunan Islam (PPI), Pusat
Pengajian Sains Kemasyarakatan, Universiti Sains Malaysia.
[4] Ibid,
‘’Makna
Ekonomi Politik Islam’’.
[5] Ibid, ‘’Makna Ekonomi
Politik Islam’’.
[6] Ibid, ‘’Makna Ekonomi
Politik Islam’’.
[7] Ibid, ‘’Makna Ekonomi
Politik Islam’’.
[8] Ibid, ‘’Makna Ekonomi
Politik Islam’’.
[9] S.Damanhuri Didin, Ekonomi-Politik
Indonesia dan Antarbangsa, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2014). Hal 178-179.
No comments:
Post a Comment