BAB I
PENDAHULUAN
Islam hadir dengan membawa rahmat bagi alam semesta
dalam sejarah, keberhasilan Islam untuk membangun dunia sekaligus untuk
mensejahterahkan manusia masih dapat diakui namun dalam sejarah pula dapat
ditemukannya kegagalan untuk mensejahterahkan manusia. Pada dasarnya ilmu
tentang Islam sudah sangat berkembang, bahkan sudah dimulai sejak masa sahabat
dan tabi’in. studi untuk menjelaskan tentang ajaran Islam memang merupakan
konotasi yang sangat membutuhkan pemahaman.
Studi tentang Islam dapat dimulai dengan telaah analitis
mengenai tahiat atau karakternya. Studi jenis ini bermaksud mengurai,
menerangkan, menjabarkan dan mungkin pula menjelaskan kata atau proposisi yang
tidak jelas. Penulis akan menguraikan topic-topik tentang ilmu Keislaman dan
kajian ilmu sosial yang berisi tulisan-tulisan yang dimaksudkan untuk
mengembangkan pemikiran dalam upaya mengaktualkan berbagai masalah kehidupan
yang akan penulis bahas dalam pembahasan selanjutnya.
BAB II
PEMBAHASAN
1.
Sejarah Pertumbuhan Ilmu-Ilmu Keislaman
Sejarah awal kelahiran, Islam telah
memberikan penghargaan begitu besar terhadap ilmu. Pandangan Islam tentang
pentingnya ilmu tumbuh bersamaan dengan kelahirannya Islam itu sendiri. Ketika
Rarulullah SAW menerima wahyu pertama yang mula-mula diperintahkan kepadanya
‘membaca’. Pada masa kejayaan umat Islam, khususnya pada masa pemerintahan
dinasti Umayah dan dinasti Abasyiah, ilmu Keislaman tumbuh dengan sangat pesat
dan maju. Kemajuan ilmu Keislaman telah membawa Islam pada masa keemasannya.
Dalam sejarah ilmu Keislaman, kita mengenal nama-nama tokoh ilmu diantaranya
Al-Mansur, Harun Al-Rosyid, Ibnu Kholdun, dan lain sebagainya yang telah
memberikan perhatian besar terhadap ilmu Islam. Pada masa itu proses
penterjemahan karya-karya filosof Yunani ke dalam bahasa arab berjalan dengan
pesat. Sejarah juga mencatat kemajuan ilmu-ilmu Keislaman, baik dalam bidang
tafsir, hadits, fiqih dan disiplin ilmu ke-Islam yang lain. Tokoh-tokoh dalam
bidang tafsir, antara lain Al-Thabary dengan karyanya Jami’ al-Bayan fi Tafsir
Al-Qur’an al-Bukhary, dengan karya yang diciptakan yaitu Al-Jami’ al-Shahih,
Muslim, Ibnu Majah, dan lain sebagainya
2.
Islamic Studies Model Barat Dan Orientalis
Masa Islamic studies model barat dan
orientalis dimulai bersamaan dengan munculnya Negara-negara barat kepentas
dunia, setelah mengalami masa gelap (dark ages) yang cukup lama. Masa ini pula
merupakan permulaan Negara-negara barat, yaitu Eropa mempunyai keinginan
bertemu dengan masyarakat Islam di Negara-negara lain, yang berujung dengan
penjajahan mereka terhadap Negara-negara di timur (meliputi Indian, Cina, Birma
yang masyarakatnya pemeluk agama-agama Hindu, Budha atau lainnya dengan cara
mengirimkan para sarjana yang mendapat sebutan dengan orientalis.
Setelah tujuan penjajahan berkurang
atau bahkan sudah tidak ada, Islamic studies di barat ditempatkan pada kajian
akademik, dimana pelakunya lebih merasa adanya tuntutan akademik, bukan lagi
tuntutan politis dan kalau kita amati secara seksama dan menyeluruh, Islamic
studies di Barat dilakukan dengan melalui salah satu dari empat pendekatan
yaitu :
Pertama, menggunakan metode ilmu-ilmu
yang masuk di dalam kelompok humanities, seperti filsafat, filologi ilmu
bahasa, dan sejarah terkadang dimasukkan ke dalam bagian social sciences.
Kedua, menggunakan pendekatan yang
biasa dipakai dalam disiplin atau kajian teologi agama-agama, studi Bible dan
sejarah gereja, yang berarti trainingnya Dr. Divinity schools. Oleh Karen aitu
tidak aneh kalau banyak orientalis adalah juga pastur, pendeta, uskup atau
setidaknya missionaries.
Ketiga, menggunakan metode ilmu-ilmu
social, seperti sosiologi, antropologi, ilmu politik dan psikologi (ada yang
mengelompokkan psikologi ke dalam humanities). Oleh karena itu mereka bisa
disebut dengan orientalis atau ahli di dalam ke-Islaman setelah mendapatkan
pendidikan di dalam jurusan atau fakultas disiplin-disiplin tersebut dengan mengadakan
kajian / penelitian, khususnya untuk penulisan disertasinya, tentang Islam atau
masyarakat Islam.
Keempat, menggunakan pendekatan yang
dilakukan di dalam department-department, pusat-pusat atau hanya committee,
untuk area studies seperti Midate Eastern Studies / near, Eastern Languages and
Civilizations dan South Asian Studies atau suatu committes seperti UCLA.
Keunggulan studies Islam dibarat
adalah pada aspek metodologi dan juga strategi, yang dimaksud strategi disini
adalah tentang bagaimana cara untuk menguasai materi yang begitu banyak dapat
dipergunakan seefisien mungkin.
3.
Islam sebagai Kajian Akademik (Islamologi)
Kajian akademik yakni untuk ilmu-ilmu
Keislaman disini dimaksudkan dengan “studi kritis” (critical studies) yang
menurut ukuran tradisi barat bercirikan “tidak percaya” atau mempertanyakan
terhadap kasus atau hasil pemikiran yang dikajinya. Bisa juga untuk menolak
atau mengembangkan teori yang dikajinya, atau bisa juga untuk membuat
interpretasi ulang. Jadi seseorang yang melakukan kajian tidak hanya sekedar
untuk menghafal dan kemudian mengikuti kerja orang lain. Keragu-raguan terhadap
hal-hal yang dikaji itu merupakan dasar utama kajian akademik. Maka seseorang
yang sedang melakukan kajian harus paham secara diskriptif terlebih dahulu
terhadap apa yang akan dikaji.
Selama ini yang terjadi bahwa kalau
kita berbicara mengenai studi Islam, hampir selalu merujuk pada sosok ajaran Islam.
Persoalannya sekarang adalah bagaimana umat manusia, dan khususnya umat Islam masa
kini, memperoleh ilmu ini. Jika kita lihat dengan kritis sosok ajaran Islam sebenarnya
juga terlingkupi permasalahan secara akademik. Istilah kajian akademik terhadap
ajaran Islam masih dianggap sensitive, apa yang sering dianggap sebagai
“doktrin” agama yang berserakan di berbagai jenis ilmu-ilmu Keislaman pada
hakikatnya sarat dengan hasil pemikiran (ijtihad) pada pemikir pada waktu yang
telah lampau. Oleh Karena itu perlu adanya pemikiran yang dilakukan secara
sistematis.
Dalam mempelajari Islam, tujuan
utamanya adalah untuk memahami Islam. Suatu contoh di tingkat perguruan tinggi,
satu pertanyaan timbul : “Belajar Islam tersebut lewat siapa ?” yakni, lewat
guru / ulama’ atau tulisan siapa ? benarkah si guru / ulama’ atau penulis itu
tepat di dalam memahami Islam? nah, disinilah letak kajian akademik terhadap Islam
yang dilakukan oleh sarjana muslim sendiri : yaitu, kajian akademik terhadap
pemikiran ulama’ terdahulu di dalam memahami Islam (ini lebih banyak berupa
normative)
4.
Kajian Islam dengan Pendekatan Ilmu Sosial
Ketika pemikiran Islam dikaji dengan
meletakkannya pada posisi hasil pemikiran ulama dan dilihatnya secara
interdisipliner, maka kajian seperti ini akan memerlukan disiplin lain dari
luar (social sciences / humanities). Kajian seperti ini masih dikategorikan
pada kajian “ajaran Islam” itu sendiri, bukan kajian disiplin lain. Sekarang
bagaimana dengan kajian Islam dengan menggunakan disiplin ilmu-ilmu social ?
Penggunaan disiplin ilmu social untuk
mengkaji masyarakat muslim mau tidak mau harus tidak lepas dari kajian Islam itu
sendiri dalam konteks sosialnya. Artinya, ajaran dan keyakinan Islam tidak bisa
dilepaskan sama sekali dari proses analisisnya. Jika hal seperti ini yang
dituntut, maka sering terjadi gap dalam praktek kajian ilmu social pada umumnya
yang tidak pernah memperhitungkan ajaran Islam. Gap itu terjadi antara wujud
perilaku yang dianalisis yang sedikit atau banyak ada bekas dari ajaran Islam,
di satu pihak, dengan analisis sekuler yang sama sekali tidak memperhitungkan
pengaruh ajaran tersebut, dilain pihak. Dan dalam kenyataan pula terjadi gap
antara pemeluk Islam (terutama sekali yang dilihatnya secara formalitas) dengan
sosok ajaran Islam normative yang sering tidak dipraktekkan oleh pemeluknya.
Berbicara mengenai gap antara praktek
social dan normative tersebut diatas, sering terjadi anggapan bahwa Islam termasuk
secara normative dilihat dari perilaku pemeluknya jadi meraka mendefinisikan Islam
dari hasil analisisnya mengkaji masyarakat Islam di timur tengah, yang akan
menghasilkan bukan saja Islam identik dengan timur tengah, namun juga akan
menghasilkan bahwa Islam itu hanyalah apa yang terwujud dalam permukaan
pemeluknya. Dalam keadaan ini berarti tidak ada pemisahan antara ajaran
normative yang tidak terdeteksi dengan perilaku masyarakat yang menjadi incaran
sasaran analisis mereka.
5.
Islam VS Ilmu Keislaman
Karena Islam bersifat kognitif
sedangkan ilmu Keislaman bersifat psikomotorik. Ada orang yang memiliki wawasan luas tentang
ilmu Keislaman tetapi tidak menjalankannya. Baginya ilmu Keislaman hanyalah
merupakan ilmu yang perlu dikaji bukan sesuatu yang harus diamalkan. Termasuk
dalam kelompok ini adalah para Islamisist atau orang-orang orientalis yang
terus-menerus mengkaji tentang ilmu Keislaman, tetapi tidak ada komitmen untuk
mempraktikkannya. Sedangkan Islam bukanlah objek kajian melainkan norma,
doktrin, disiplin, dan nilai-nilai yang harus diamalkan. Islam itu harus
dipelajari dan dikaji terus-menerus. Islam itu tidak perlu dikaji dan
didiskusikan secara mendalam. Nah, pandangan inilah yang perlu diluruskan.
Mengapa ? Ya, karena “Al-ilmu qab
al-‘amal”, bahwa ilmu itu penting untuk kepentingan praktik. Dengan
demikian bahwa Islam itu mengandung dua dimensi yang sinergis : Ilmu dan amal. Islam
adalah agama yang sempurna, dan perlu untuk di amalkan dan itu disebut dengan
ilmu Keislaman. Karena ilmu Keislaman adalah mempelajari segala tentang Islam.
6.
Konsep Ilmu dan Tradisi Islam
Seorang ilmuan muslim yang tergolong
awal, yaitu al-syafi’i, mengelompokkan ilmu menjadi dua, pertama ia sebut
dengan ilm’ amah (ilmu yang diterima
secara umum) dan keuda ilm’ khassah
(ilmu yang diteirma secara umum) dan kedua ilm’
amah (ilmu yang menjadi wilayah orang-orang tertentu, yakni ulama). Yang
pertama (Ilmu ‘ammah) mempelajari nass dengan tegas dalam Al-Qur’an dan jelas
diterima oleh umat Islam yang tergolong kelompok ini adalah kewajiban shalat
lima waktu, puasa ramadhan, menunaikan ibadah haji jika mampu, membayar zakat,
keharaman berzina, membunuh, mencuri dan minum khamr, dan ini semua tidak ada
perbedaan pendapat diantara muslim. Kalau dalam kelompok pertama tidak terjadi
perbedaan pendapat, maka untuk yang kedua terbuka ruang untuk terjadinya
perbedaan pendapat. Perbedaan pendapat itu bisa terjadi disebabkan perbedaan
analisis atau perbedaan kesimpulan penelitiannya, yang berarti ada kebebasan
studi.
Kalau kita cermati, dalam Islam kita
mempunyai wahyu Allah berupa Al-Qur’an yang Al-Qur’an ini disebut sebagai Qat’iy al wurud yang artinya bahwa
keberadaan Al-Qur’an termasuk teks-nya sudah difinal dengan kata lain teks
Al-Qur’an ini tidak ada campur tangan pemikiran dan penelitian manusia. Untuk
memahami Al-Qur’an dan Sunnah itu telah terjadi pemikiran bebas oleh ulama.
Sebagai akibatnya telah muncul beberapa jenis ilmu yang kemudian disebut
sebagai ilmu Keislaman atau ilmu agama Islam. Hal ini meliputi ajaran Islam itu
sendiri, yang sering kita terjebak dengan menggunakan istilah doktrin yang
sebenarnya itu merupakan sejarah pemikiran ulama untuk memahami wahyu tadi dan
jenis-jenis ilmu itulah yang menjadi objek penelitian ilmu-ilmu ke-Islaman.
7.
Rekontruksi
Ketika Nabi Muhammad SAW. Masih
hidup, para sahabatnya selalu mendapatkan bimbingan langsung dari Nabi. Wahyu
Allah juga turun kebumi sebagai petunjuk yang kita kenal dengan nama Al-Qur’an.
Setelah nabi SAW. wafat, sudah menjadi consensus umat Islam bahwa sumber utama
Islam adalah Al-Qur’an dan Hadist Nabi. Untuk yang pertama tidak satupun orang
yang membantah sedangkan untuk yang kedua ada sedikit orang yang tidak
mengakuinya. Dengan alas an bahwa hadist itu hanyalah penjelasan terhadap
Al-Qur’an bukan sebagai sumber utama yang berdiri sendiri.
Dalam perjalanan sejarahnya, para
pemikir atau ulama telah banyak menghabiskan waktunya untuk memahami nashsh itu
dalam waktu yang bersamaan, mereka juga mempelajari sejarah dan keadaan
masyarakat yang melingkupi turunnya nashsh tersebut. Di satu sisi, hal ini
berkaitan erat dengan nash dan disisi lain, mereka juga menemukan beberapa
kasus yang tidak dapat secara langsung dipahami dan dipelajari dari pemahaman
nashsh tersebut, namun, kita juga perlu ingat bahwa nash itu sendiri juga
mengajarkan penggunaan akal pikiran (kauniyah). Sedangkan penggunaan akal
sebagai proses untuk dapat menghasilkan argumentasi dan proses deduktif dan
induktif,
Jika dilihat semata-mata dari wujud
nashsh, adanya nashs itu terbatas. Sementara itu kehidupan manusia selalu
berkembang dan berubah. Maka dari sisi ini terkadang terjadi kesenjangan kasus.
Dalam kebebasan dan kemampuan mengembangkan pemikiran Islam atau ilmu-ilmu ke
Islaman dari berbagai perbedaan pendapat maka muncullah pemahaman dan pemikiran
menjadi disiplin ilmu dalam Islam, seperti ilmu kalam, ilmu fiqh, ilmu tafsir,
ilmu hadist dll.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan :
Pengantar Studi Islam (PAI) yang mengkaji Keislaman
dengan wilayah telaah materi ajaran agama dan fenomena kehidupan beragama.
Dalam dunia ilmu pengetahuan, kita telah tahu bahwa suatu teori yang kemarin
dianggap paling “benar” bisa akan diubah atau ditolak oleh teori baru yang
muncul hari ini. Artinya, teori yang didapatkan hari ini dan mungkin akan
dianggap paling kuat, tidak mustahil akan ditolak dan diubah hari esok.
Disamping kenyataan seperti ini, kita juga menyaksikan
terjadinya perbedaan pendapat di kalangan ilmuan, baik untuk sains, pengetahuan
social, humanities, termasuk agama. Dan ketika mereka para ilmuan menggunakan
argumentasi, bisa terjadi argumentasi yang saling berpolemik. Karena itu dari
disiplin ini kemudian bermunculan berbagai cabang keilmuan seperti ilmu fiqih,
ilmi aqidah, ilmu tafsir, sejarah islam, psikologi islam, antropologi islam,
sosiologi islam dan lain-lain.
DAFTAR PUSTAKA
Azizy, Qodri, 2003, Pengembangan Ilmu-Ilmu Keislaman, Surabaya ; Direktorat Perguruan Tinggi Agama
Islam.
Studi Islam IAIN Sunan Ampel Surabaya , 2002 Pengantar Studi Islam. Surabaya ;
IAIN Sunan Ampel Press, Surabaya
No comments:
Post a Comment