Saturday, December 28, 2019

Ekonomi Politik Islam


BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ekonomi Politik Islam hanyalah satu bidang ilmu yang akan dibangun berdasarkan paradigma tauhid. Semua ilmu pengetahuan yang ada perlu dibangun pula dalam kerangka paradigma Tauhid. Pemisahan ilmu dan keyakinan (sekularisme) pada dasarnya merupakan hal yang historis di dunia Barat, dan bukan bersifat universal. Kondisi yang ada di Barat tidak dapat dengan serta merta diaplikasikan di dunia Muslim yang mempunyai sistem keyakinan yang berbeda dan sejarah hubungan agamawan dan ilmuwan yang juga berbeda.
Terdapat dua alasan yang melatarbelakangi diperlukannya pengembangan teori, pemikiran, atau konsep-konsep Ekonomi Politik Islam dewasa ini. Pertama, adalah dasar “keyakinan” (belief system). Kedua, adalah dasar kebutuhan umat manusia (humanity’s needs). Alasan yang pertama, hal ini kembali kepada logical consequence dari keyakinan kita sebagai Muslim.  Sedangkan alasan yang kedua, saat ini dunia tengah mencari perspektif yang benar dan seimbang tentang ekonomi politik, dan itu hanya tersedia pada ekonomi politik Islam. Untuk hal ini, telah banyak pengakuan dari pemikir-pemikir ekonomi dari luar Muslim sendiri.
Pengembangan ekonomi politik Islam diperlukan untuk menjawab persoalan ekonomi dan pembangunan, khususnya di dunia Muslim, antara lain dalam rangka membebaskan dunia Muslim dari kelemahan dan keterbelakangan dalam peraturan peradaban dunia saat ini. Ekonomi Politik Islam diharapkan akan dapat menyatukan kembali antara “body” and “spirit” dari dunia Muslim, yang selama ini terpisahkan oleh paradigma sekuler yang dominan.

B. Rumusan Masalah
1.      Bagaimana Sejarah tentang Ekonomi Politik Islam di zaman Rasulullah SAW dan sahabatnya serta pada masa klasik dan kontemporer?
2.      Apa dan Bagaimana Konsep Ekonomi Politik Islam?
C. Tujuan Penulisan
1.      Untuk mengetahui sejarah tantang ekonomi politik Islam di zaman Rasulullah SAW dan sahabatnya.
2.      Untuk memahami Konsep Ekonomi Politik Islam.

BAB II
PEMBAHASAN
A. Sekilas Sejarah tentang Ekonomi Politik di Zaman Rasulullah SAW dan sahabatnya
1. Masa nabi Muhammad SAW[1]
Pada masa nabi Muhammad SAW, nabi diutus sebagai kepala negara dan kepala kenegaraan secara aklamasi karena sosok beliau dan perjuangan beliau dalam menyebarkan Islam. Pada masa Nabi Muhammad ia hadir sebagai tokoh sentral  di negara Madinah dan ia juga dikenal karena  keteguhan prinsip dan kesabarannya dalam memerintah. Pada masa pemerintahannya ia membentuk pembagian tugas kenegaraan, dengan cara mengangkat orang-orang yang memenuhi syarat yang nantinya akan diutus sebagai wazir (menteri), katib (sekertaris), wali (gubernur), amil (pengelola zakat), dan qadi (hakim). Pada masa ini pula madinah terbagi menjadi beberapa provinsi diantaranya adalah : Madinah, Tayma, al_Janad, daerah Banu Kindah, Mekkah, Najran, Yaman, Hadarmaut, Uman dan Bahrain. Pada setiap provinsi tersebut Nabi menugaskan seorang wali, qadi dan amil.
Selain telah adanya pembagian kekuasaan madinah, namun  tetap semuanya tetap dibawah pimpinan Nabi Muhammad, prinsip keadilan sosial selalu diterapkan dalam pemerintahan Nabi Muhammad sesuai dengan ketentuan-ketentuan dalam hukum Islam ditandai dengan tidak membeda-bedakan umat Islam dan dzimmi semuanya berhak atas perlindungan hukum dari negara. Namun semua hal tersebut tidak terlepas getolnya seruan Nabi  kepada umat non-islam untuk masuk Islam namun tidak pernah memaksa.
Pada masa nabi Muhammad, dengan diberikannya kekuasaan kepada amil  maka kaum muslim diwajibkan membayar zakat dan infaq sedangkan kaum dzimmi  diwajibkan membayar jiyazah hal tersebut bertujuan untuk kepentingan umatnya. Selain itu, sumber pendapatan negara juga didapatkan melalui ghanimah yaitu harta rampasan perang, yang telah ditentukan dalam Al-quran 4/5 untuk tentara Madinah yang turut dalam peperangan dan 1/5 untuk Rasulullah pribadi  yang tidak bersifat pribadi tapi juga untuk kepentingan umat.
Nabi Muhammad sebagai tokoh panutan (uswatun hasanah) secara pribadi senantiasa memberikan contoh atau teladan kepada para pengikutnya tentang setiap hal yang ia ajarkan. Beliau tidak hanya sekedar berbicara atau menyampaikan suatu gagasan secara lisan, akan tetapi juga semua ajaran Islam beliau terapkan dalam kenyataan. Prinsip–prinsip demokrasi Islam bukanlah sekedar Idealisme, akan tetapi prinsip-prinsip demokrasi Islam itu dikristaliasasi kan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Prinsip-prinsip itu telah menjadi basis dalam mekanisme pemerintahan Madinah  dibawah pimpinan Nabi Muhammad SAW. Pemeritahan madinah diselenggarakan sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi islam yang telah digariskan dalam Al-Quran.
2. Masa Umar bin Khattab[2]
Tidak banyak mengungkap bahwa Umar bin Khattab merupakan salah satu pemuka Arab Quraisy yang sejak muda sudah terdidik. Citra yang diperoleh selama ini terhadap sosok Umar ialah pribadi yang kuat, keras, bukan kasar. Jauh dari citra seorang yang terdidik (educated). Padahal nyatanya menurut Baladzuri, bahwa saat Muhammad Saw diutus menjadi Nabi, hanya 17 orang dari seluruh suku Quraisy yang bisa membaca dan menulis, dan Umar anak Khattab merupakan salah satu di antaranya. Berarti pada saat itu Umar masih pemuda.
Selain itu, Umar juga dipilih oleh suku Qurais sebagai duta besar bagi mereka karena mempertimbangkan kecakapan dan pengalaman luasnya berdagang ke Persia dan Suriah. Umar juga berbakat dalam seni puisi di samping dirinya juga merupakan pegulat terkenal. Dalam satu riwayat disebutkan, Umar juga mengetahui dan kemungkinan besar sudah membaca Kitab Taurat. Dengan informasi semacam itu, pantaslah jika Umar dalam periode khilafahnya sarat dengan keputusan-keputusan yang cerdas dan berjangkau panjang.
Dikatakan, Umar lahir 40 tahun sebelum hijrah. Saat hijrah, periode Islam yang sangat monumental itu, Umar sudah berumur 40 tahun. Pada saat Nabi mengabarkan misi kenabiannya, Umar berusia 27 tahun, sedangkan Nabi genap berumur 40 tahun.  Sejak memeluk Islam, praktis seluruh hidupnya bersama-sama dengan Nabi. Pada tahun 1 Hijriah, Umar menjadi tangan kanan Rasulullah dalam perang Badr. Perang ini merupakan perang menentukan dalam masa depan Islam selanjutnya. Dengan jumlah yang tidak seimbang, perang ini dimenangkan kaum Muslimin. Karena Umar menghadapi situasi dan kondisi yang jauh lebih kompleks dari sebelumnya akibat perluasan wilayah, maka implikasinya masalah-masalah sosial, hukum, politik, ekonomi dan budaya pun makin rumit. Umar saat itu tampil menyelesaikan masalah dengan cemerlang dan menjadi mujtahid yang produktif dan mengesankan karena kedudukannya sebagai amirul mukminin, tempat umat untuk merujuk dan meminta keputusan.
Dalam konteks kebutuhan suatu dasar-dasar ekonomi politik Islam, jejak-jejak (atsar) pemikiran Umar bin Khattab terkait pengaturan negara, politik, dan ekonomi, dapat dikembangkan untuk keperluan dewasa ini, mengingat dinamis dan progresifnya keputusan-keputusan yang dihasilkan oleh pemikiran Umar bin Khattab. Beberapa asas yang menjadi dasar pemikirannya dalam setiap kali mengambil keputusan, dapat disebutkan antara lain: keberpihakan kepada kepentingan luas umat Muslimin; keberpihakan kepada masa depan umat Muslimin; keberpihakan kepada pihak-pihak yang dekat kepada Nabi; keberpihakan kepada pihak-pihak yang mendesak memerlukan; dan keberpihakan kepada kedaulatan dan kewibawaan daulah Islam. Di luar dugaan Umar kembali mengutip ayat yang menjadi dalil mereka dengan menekankan kalimat “dan mereka yang akan datang kemudian”. Kemudian Umar berkata, “Oleh karena itu, semuanya ini adalah kepunyaan generasi-generasi yang akan datang dan semua negeri (tanah) ini adalah milik umat. Lalu bagaimana aku dapat membagi-bagikannya kepada yang sekarang hadir dan merenggutnya dari mereka yang akan datang sesudah itu.”
Demikian juga mengenai asas keberpihakan kepada golongan yang dekat kepada Nabi, dapat kita sebutkan pernyatan Umar tatkala menjelang kematiannya. Kepada orang-orang yang mengelilinginya ia menyatakan, “Siapa pun yang terpilih sebagai khalifah, kuperintahkan untuk menghormati sebaik-baiknya hak-hak istimewa (privilege) dari lima golongan rakyat ini: Muhajirin, Anshar, Badui, orang-orang Arab yang beremigrasi ke kota-kota di luar negeri, dan dzhimmi, yaitu orang-orang Kristen, Yahudi dan Majusi yang berada di bawah Islam.” Kemudian Umar melanjutkan perkataannya terkait dzimmi, “Ini adalah perintah perpisahanku kepada Khalifah yang akan datang bahwa ia hendaknya menaruh perhatian yang setepat-tepatnya terhadap pertanggungjawaban kepada Allah dan Nabi-Nya, yaitu bahwa perjanjian yang dicapai dengan dzimmi supaya dihormati, musuh-musuh mereka supaya dielakkan dan agar mereka tidak dikenakan kewajiban-kewajiban yang berada di luar kekuatan kemampuannya. Jika pemikiran Umar tersebut diperas, maka diperolehlah satu prinsip bahwa hal itu didorong oleh ketundukan dan kecintaannya yang total terhadap Allah, Islam, umat dan junjungannya yang tercinta, Muhammad Saw. Dengan merujuk asas-asas pemikiran Umar dalam menerjemahkan kebijakan ekonomi dan politiknya pada beragam kasus yang dihadapinya, maka asas-asas tersebut prospektif untuk dapat dijadikan sebagai dasar-dasar teoritik ekonomi politik Islam di masa sekarang.

3. Pemikiran Politik Islam Klasik dan Pertengahan[3]
       Teori tentang asal mula timbulnya negara dari enam pemikir islam itu mirip satu sama lain, yaitu adanya pengaruh pemikiran alam Yunani, dengan diwarnai oleh pengaruh Aqidah Islam. Agak berbeda dengan pemikir-pemikir Yunani, para pemikir islam itu baik secara eksplisit maupun implisit menyatakan bahwa tujuan bernegara tidak semata-mata untuk memenuhi kebutuhan lahiriah manusia saja, namun juga merupakan kebutuhan rohaniah. Tetapi diantara mereka berenam tidak selalu mendapat kesepakatan tentang jabatan kepala pemerintahan, darimana sumber kekuasaan kepala negara, cara pengangkatan kepala negara, dan hubungan antara kepala negara dan rakyat.
a.       Ibnu Abi Rabi, Ghazali dengan Ibnu Taimiyah dengan tegas menyatakan bahwa kekuasaan kepala negara merupakan mandat dari Allah kepada hamba-hamba pilihan. Ketiga pemikir itu berpedapat bahwa kekhalifahan adalah khalifah atau bayangan Allah di bumi. Bahkan menurut Ghazali kekuasaan khalifah itu dikatakan muqaddas atau suci dengan pengertian tidak dapat diganggu gugat. Sedangkan menurut Mawardi, kekuasaan kepala negara itu didasarkan atas kontrak sosial yang melahirkan hak dan kewajiban atas dasar timbal balik bagi raja dan rakyat. Mawardi adalah satu-satunya dari enam orang tersebut yang menguraikan tentang banyaknya cara pengisian jabatan kepala negara, dalam ragam pemilu dan penunjukan wasiat. Tetapi Mawardi tidak mengemukakan cara mana yang paling baik menurut dia. Mawardi juga merupakan satu-satunya dari enam orang pemikir yang berpendapat bahwa pemimpin atau kepala negara bisa diturunkan dari tahta atau jabatannya apabila ia tidak mampu lagi memerintah, baik itu karena alasan jasmani, rohani, mental ataupun akhlaq.  Namun ia tidak mengemukakan bagaimana cara penurunannya. Berbeda dengan keenam pemikir lainnya, mereka beranggapan bahwa sekali seorang pemimpin memipin negara maka kekuasaannya seumur hidup. Bahkan Ibnu Taimiyah mengemukakan bahwa kepala negara yang zalim itu lebih baik daripada rakyat yang hidup tanpa kepala Negara.
b.      Ibnu khaldun mengemukakan pada waktu itu lebih baik menggunakan dasar hukum agama dalam penentuan setiap keputusan daripada harus menggunakan otak manusia, namun ia juga mengakui banyak negara yang tidak mendasarkan hukum agama dalam pemerintahannya namun dapat mewujudkan ketertiban, keserasian hubungan antara para warga negaranya, bahkan dapat berkembang baik dan jaya.
4. Pemikiran Politik Islam Kontemporer[4]
a.       Afghani, Abduh, Ridha
                  Berbeda dengan para tokoh islam sebelumnya, pembahasan tentang pemikir-pemikir islam ini dikaji secara bersama sehingga mendapat kesimpulan bahwa pemikiran mereka mewakili satu aliran pemikiran yang berpengaruh luas pada waktu itu, yakni salafiah (baru), dan hubungan mereka satu sama lain merupakan hubungan antara guru dan murid. Abduh berguru kepada Afghani, dan Ridha kepada Abduh. Dari ketiga tokoh ini munculah aliran salafiyah, yaitu suatu aliran yang dipelopori oleh Afghani. Aliran salafiyah terdiri dari tiga komponen utama, yakni :
                  Keyakinan bahwa keagungan dan kejayaan kembali islam hanya mungkin terwujud jika umat islam kembali kepada ajaran islam yang masih murni, dan meneladani pola hidup para sahabat nabi, khususunya khulafaurasyidin. Perlawanan terhadap kolonilasime dan dominasi barat, baik politik, ekonomi, dan kebudayaan. Pengakuan terhadap Barat dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, dan karenanya umat islam harus belajar dari Barat dalam dua bidang tersebut yang pada hakikatnya hanya mengambil kembali apa yang dulu telah disumbangkan oleh umat islam kepada Barat, dan kemudian secara kritis dan selektif memanfaatkan ilmu dan teknologi barat itu untuk kemajuan dunia islam.
       b. Mohammad Husain Haikal
                  Menolak pendapat bahwa islam itu lengkap dengan seperangkat pengaturan bagi semua aspek kehidupan bemasyarakat, termasuk sistem politik, tetapi sebaliknya tidak beranggapan bahwa islam tidak berbeda dari agama-agama lain dalam arti tidak mempunyai sangkut paut dengan kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Kelompok ini berpendapat bahwa islam tidak memberikan preferensi kepada suatu sistem politik tertentu, telah meletakkan seperangkat prinsip atau tata nilai etika dan moral politik untuk dianut oleh umat islam dalam membina kehidupan bernegara (seperti yang telah diterangkan dalam al-Quran). Muhammad Abduh meskipun tidak mempunyai konsepsi politik yang utuh, dari pokok-pokok pikiran berpendirian bahwa tidak ada orang yang memegang kekuasaan keagamaan dan mempunyai kewenangan sebagai wakil Tuhan di bumi. Baginya kepala negara adalah kepala negara yang diangkat dan bisa dihentikan oleh rakyat dan kepada mereka dia bertanggungjawab. Quthb juga mengemukakan bahwa seorang penguasa islam tidak memiliki kekuasaan keagamaan yang diterima dari Allah dan dia dipilih semata-mata karena pilihan kaum muslimin.
                  Dalam hubungan ini Haikal meskipun tidak sependapat dengan Maududi dan hanya sepintas, masih memperlihatkan kecenderungan untuk memberikan status dzimmi kepada para warga negara yang tidak beragama islam. Abduh sebagaimana Haikal, juga tidak segan untuk berguru ke Barat dengan mempelajari sistem mereka secara kritis dan selektif untuk kemudian menirunya apabila perlu dan sesuai.
B. Konsep Ekonomi Politik Islam[5]
Dalam ekonomi politik Islam ini terdapat beberapa karya yang telah dihasilkan. Salah satu karya berjudul ‘Islamic Political Economy in Capitalist-Globalization’. Karya ini dihasilkan melalui pengumpulan dan suntingan terhadap beberapa jurnal. Jurnal tersebut dihasilkan melalui penelitian terhadap sesuatu isu yang dihubungkan dengan ekonomi politik Islam. Jurnal ini dihasilkan oleh Ghosh (1997:41-56) yang menulis tentang ontologi dalam ekonomi politik Islam; Radiah Abdul Kader dan Mohamed Ariff (1997:261-278) tentang pengalaman ekonomi politik keuangan Islam di Malaysia;
Selain itu, Masudul Alam Choudhury (1997) pula meneliti ciri-ciri ekonomi politik Islam. Menurut Masudul Alam Choudhury (1997:20), pengaplikasian ekonomi politik Islam ini diukur melalui ilmu berkaitan musyawarah (syura) dan sub sistem Holistik. Usaha ini adalah perbincangan permulaan untuk mengembangkan pemahaman masyarakat mengenai institusi sosial dan hubungannya dengan institusi syariat dalam perilaku kehidupan. Dalam karya tersebut juga, Muhammad Syukri Salleh (1997) menulis tentang ekonomi politik Islam, tetapi tumpuannya lebih ke arah politik pembangunan berteraskan Islam. Selain itu, menumpukan pembaharuan yang ingin dilakukan dalam sebuah negara Islam.

1. Politik Islam[6]
            Pada bidang politik Islam (siasah), perbincangan banyak diuraikan dari aspek perubahan politik sebuah negara. Menurut Ishak Saat (2007), kekuatan dan kelemahan sesuatu partai politik diukur sebagai suatu perkembangan politik. Dari sini, politik secara umumnya bermaksud mengurus kekuasaan dan menyelesaikan sesuatu masalah secara kolektif. Kekuasaan itu boleh berlaku dalam berbagai perangkat. Satu perangkat individual seumpama seorang ayah memimpin sebuah keluarga, bagaimana beliau menggunakan kuasanya untuk menyelesaikan masalah keluarganya. Begitu juga di masyarakat, negara dan seterusnya pada perangkat  antarbangsa.
            Menurut Yusuf al-Qaradhawi (2002), beliau mengatakan bahwa sistem politik Islam ialah semua peraturan yang dilaksanakan oleh pemerintah dengan keputusan untuk menjaga kepentingan manusia. Peraturan ini boleh dilakukan selagi mana peraturan tersebut tidak bertentangan dengan undang-undang Islam. Berdasarkan pernyataan tersebut, dapat dipahami bahwa politik bukan saja memberi rangsangan ingatan ke arah partai politik semata-mata tetapi meliputi semua aspek dalam kehidupan.
Daripada pandangan-pandangan yang dijelaskan sebelum ini didapati bahwa secara realitanya politik telah diteliti oleh para sarjana Muslim. Politik juga telah digunakan sebagai salah satu bidang penyelidikan oleh para sarjana Barat. Misalnya, kata-kata oleh Aristotle yaitu ‘man is by nature a political animal’ telah dijadikan bahan kajian oleh penyelidik sains politik. Tajuk ini diolah menjadi tajuk sebuah karya yaitu ‘Man Is by Nature a Political Animal: Evolution, Biology, and Politics’. Tajuk ini diambil dari kata-kata Aristotle tersebut. Dalam karya ini, Aristotle dikatakan seperti menggambarkan politik tercipta oleh perjuangan untuk mendapatkan kehidupan sempurna oleh sesuatu pertubuhan atau komuniti. Politik dianggap sebagai suatu yang kotor. Kekotoran ini kerana beliau menganggap seolah-olah ahli politik itu seperti bermain catur. Mereka ada kuasa menentukan setiap sesuatu. Hal ini berlaku disebabkan politik hanya dijadikan sebagai suatu alat yang digunakan untuk mencapai kepentingan dan ‘line of action’ yang halus serta licin.
Tanggapan yang mengatakan bahwa politik itu kotor tidak lain hanyalah berdasarkan pengalaman mereka berhadapan dengan suasana politik yang kotor sebegitu rupa. Sebaliknya, pengalaman politik yang kotor ini boleh digunakan oleh pihak Barat sebagai bahan manipulasi dan bahan eksploitasi. Pihak barat telah melakukan serangan psikologi untuk membiasakan umat Islam dengan pendekatan pemisahan politik dengan agama. (Yusuf al-Qaradhawy, 2009). Pemisahan politik dengan agama ini turut dibincangkan oleh para ulama. Seorang ulama bermazhab Syafi’i pernah berkata seperti berikut:  Tidak boleh ada politik, kecuali yang sesuai dengan syariat”. Ibnu Aqil membantah dengan mengatakan seperti berikut:  Tindakan politik yang memang menghasilkan maslahat dan tidak menimbulkan bahaya kerusakan boleh diserahkan kepada manusia, walaupun tidak ada aturan daripada Rasulullah SAW maupun wahyu Allah SWT. Jika Anda maksudkan dengan perkataan yang sesuai dengan syariat adalah tidak bertentangan dengan bunyi teks syariat, berarti Anda betul. Tetapi jika yang Anda maksudkan adalah tidak boleh ada politik, kecuali mesti sesuai dengan bunyi teks syariat, maka Anda salah dan bertentangan dengan apa yang dilakukan sahabat-sahabat Nabi SAW” (Dikutip dari Yusuf al-Qaradhawy, 2009:31).
Dapat dipahami bahwa tidak semua politik itu kotor malah Nabi SAW dan juga para sahabatnya pernah berpolitik. Politik cara Nabi SAW adalah mengikut konsep Islam dan mengikut dasar-dasar yang sesuai dengan prinsip yang ditetapkan oleh syariah. Oleh karena itu, politik dan agama tidak boleh dipisahkan. Perbincangan para ulama ini memperlihatkan bahwa Islam sangat mementingkan pembangunan dari aspek politik dalam menggalakkan perkembangan masyarakat yang lebih sempurna. Disebabkan itulah pengkajian mengenai pelaksanaan ekonomi politik Islam ini penting dilaksanakan untuk memastikan ide dan strategi pelaksanaannya selaras dengan kehendak syariat Islam. “Islam menyiapkan cara-cara yang sempurna bagi mengatur manusia. Cara-cara itulah yang dipakai bagi mengatur kehidupan politik. Tanpa kuasa politik, negara kita tidak dapat melaksanakan kewajiban mengajak orang supaya melakukan kebaikan dan mencegah kejahatan, berjihad, menegakkan keadilan, mendirikan shalat, menolong orang yang teraniaya dan lain-lain” (Yusuf al-Qaradhawi, 2002:23).
2. Ciri-Ciri Ekonomi Politik Islam[7]
Dari sudut persamaan ciri-cirinya, menurut Shamsulbahriah Ku Ahmad (1990), ekonomi politik bukan saja merangkumi bidang ekonomi, tetapi juga termasuklah diantaranya sosiologi, sains politik dan sejarah. Terdapat pembangunan sosiopolitik, sosioekonomi, keseimbangan pembangunan masyarakat. Persamaan tersebut berlaku apabila di dalam konteks pembangunan sumber manusia dari segi tanggungjawab pemerintah menguruskannya sama ada di negara. Deliarnov (2006:10) pula mencirikan ekonomi politik ini sebagai pengarahan kepada isu berkaitan teori sosial yang timbul hasil pengkajian hubungan antara ilmu ekonomi dan ilmu politik. Begitu juga, mengatakan bahwa ciri-ciri ekonomi politik boleh dikaji dibalik hubungan antara sains dan undang-undang ekonomi secara umum.
Ekonomi Politik Islam memiliki empat sumber utama yaitu al-Quran, Hadits, Ijma’ dan Qiyas Ulama. Keempat-empat sumber ini membentuk tasawuf Islam. Tasawuf Islam di sini bermaksud gambaran bentuk Islam yang hakiki, yang menjelaskan secara keseluruhan prinsip-prinsip asas Islam secara benar dan lengkap, sehingga berada di dalam diri orang yang memahaminya.
3. Pelaksanaan Ekonomi Politik Islam
Seterusnya, persamaan dari sudut pelaksanaan perlu dilakukan untuk menjamin kesejahteraan masyarakat supaya membuka mata sarjana Islam agar bangkit mengkaji permasalahan ini. Oleh demikian, proses pengislahan penting bagi menjamin pembangunan yang harmoni. Kenyataan tersebut diperkuatkan lagi dengan ungkapan bahwa pengislahan ini bukan saja kepada masyarakat Barat, tetapi juga kepada umat Islam yang berfikiran Barat.
Selain itu, ilmu ekonomi politik Islam ini berasal daripada dua bidang Islam yang utama yaitu bidang politik Islam dan bidang ekonomi Islam. Oleh demikian, pelaksanaan ekonomi politik Islam ini, permulaannya  dahulu berkenaan politik Islam yang disebut juga sebagai siasah Islam, kemudian menjadi ekonomi Islam. Untuk bidang politik Islam, pelaksanaan sistem politik Islam berlaku apabila semua peraturan yang dilaksanakan oleh pemerintah adalah bermanfaat menjaga kepentingan manusia. Peraturan tersebut dilihat masih di dalam sistem politik Islam selagi mana peraturan itu tidak bertentangan dengan undang-undang Islam.
Politik Islam banyak dibincangkan daripada aspek perubahan politik sebuah negara. Kekuatan dan kelemahan sesuatu partai politik diukur sebagai suatu perkembangan politik seperti yang dikatakan Siasah bukan hanya sekadar berkisar daripada aspek politik kenegaraan, malah pelaksanaan semua perkara yang berkaitan dengan perilaku seseorang manusia itu disebut sebagai politik. Ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan pelaksanaan kenegaraan, melaksanakan urusan rakyat, memelihara hewan dan melatihnya dan memberi petunjuk.
Hal ini menunjukkan bahwa Islam sangat mementingkan pelaksanaan pembangunan daripada aspek sosiopolitik dan sosioekonomi dalam menggalakkan perkembangan masyarakat yang lebih sempurna. Disebabkan itulah pengkajian mengenai pelaksanaan ekonomi politik Islam ini penting dalam memastikan ide dan strategi pelaksanaannya selaras dengan kehendak syariat Islam. Yusuf al-Qaradhawi (2002) menegaskan:
“Islam menyiapkan cara-cara yang sempurna untuk mengatur manusia. Cara-cara itulah yang dipakai untuk mengatur kehidupan politik. Tanpa kuasa politik, negara kita tidak dapat melaksanakan kewajiban mengajak orang supaya melakukan kebaikan dan mencegah kejahatan, berjihad, menegakkan keadilan, mendirikan shalat, menolong orang yang teraniaya dan lain-lain.”
Hasilnya, kemajuan masyarakat dapat berkembang apabila timbulnya pelaksanaan ke arah kesejahteraan politik dan kestabilan ekonomi mengikut garis panduan yang ditetapkan oleh Islam. Oleh sebab itulah, pelaksanaan ekonomi politik Islam ini penting untuk membina masyarakat di bawah pelaksanaan syariat Islam. Berdasarkan pandangan Abdul Qadir Djaelani (2001), pelaksanaan kehidupan masyarakat yang hidup di Barat adalah berbeda adabnya. Beliau mengatakan bahwa sering di kalangan masyarakat Islam yang tinggal di bawah pemerintahan non-Muslim seperti di Amerika Serikat, Eropa dan seumpamanya mudah terpengaruh dengan budaya dan ideologinya sehingga sanggup mengikuti kelakuan dan sikap mereka.
Oleh karena itu, pelaksanaan ekonomi ke arah keseimbangan pembangunan masyarakat dari segi materi dan rohani juga penting untuk mengelakkan timbulnya masalah sosial. Antara jalan penyelesaian yang diutarakan dalam ekonomi Islam ialah zakat. Zakat menjadi sumber penting masyarakat Islam dalam meningkatkan taraf sosioekonomi umat. Peningkatan taraf sosioekonomi umat ini diharapkan dapat menyeimbangkan antara pembangunan materi dan pembangunan kerohanian. Pembangunan rohani ini adalah antara langkah untuk mengurangi kerusakan akhlak remaja. Selain itu, peningkatan kemudahan seperti kesehatan, pendidikan, pengurangan kekerasan dan mengurangi masalah sosial. Untuk mencapai keseimbangan tersebut, pelakasanaan ekonomi politik harus semata-mata mencari keridhaan Allah SWT, jauh dari mengutamakan keuntungan dan kepentingan pribadi.
4. Prinsip-Prinsip Ekonomi Politik Islam[8]
Bahwa prinsip ekonomi Islam adalah melibatkan soal keadilan, pemilikan harta kekayaan, dan nilai-nilai etika. Prinsip-prinsip ini perlu dilaksanakan seperti yang terkandung dalam ekonomi Islam. Prinsip ini berbeda dengan prinsip ekonomi kapitalis, prinsip kapitalis lebih mementingkan diri sendiri, seperti di zaman kolonialisme. Berbeda dengan pandangan Adam Smith (1776) yang mengatakan bahwa prinsip kapitalisme atau disebut ‘lassiez-faire’ lebih adil dan baik berbanding prinsip komunisme yang diperkenalkan oleh Karl Marx.
Daripada keseluruhan pandangan mengenai sistem kapitalisme dan sosialisme yang dibicarakan sebelum ini, bahwa sistem-sistem tersebut telah memberi kesan negatif terhadap pandangan masyarakat. Menurut M. Umer Chapra (1997), kapitalisme dan sosialisme telah menimbulkan kebencian masyarakat terutama umat Islam karena tidak selaras dengan sistem individualisme yang menonjolkan diri dalam persaingan tidak sehat. Kemudian, sistem riba yang digunakan oleh mereka banyak membebankan masyarakat. Begitu juga, doktrin komunisme cukup membebankan apabila pihak komunisme menyarankan menyeluruh terhadap harta benda perseorangan. Ia membawa kepada peraturan politik yang ketat, kecenderungan untuk menekan kebebasan. Kesimpulannya, Ibn Khaldun mengatakan bahwa pemerintahan berdasarkan
peraturan-peraturan yang diterima lebih baik untuk mendapat kesejahteraan dunia dan akhirat.
Di sini, bisa membedakan antara ekonomi politik umum dan ekonomi politik Islam.
            Begitu juga, terdapat beberapa pelaksanaan yang perlu dipatuhi untuk memastikan ekonomi politik Islam itu tidak bertentangan daripada garis panduannya yang sebenarnya.
Perkara tersebut seperti menjaga keamanan dan melaksanakan undang-undang, menyelenggarakan pendidikan, mempersiapkan kekuatan ketentaraan, memelihara kesehatan, memelihara kepentingan umum, mengembangkan kekayaan di samping memelihara baitul mal, mengukuhkan akhlak dan menyebarkan dakwah.
            Musyawarah, keadilan, kebebasan, persamaan, Akhirnya, maqasid syar’iah pula perlu dijadikan tempat rujukan agar batasan hukum syariat itu tetap dipelihara. Kesemua perkara tersebut apabila dilaksanakan oleh kepimpinan Islam yang berkualitas selaras dengan syariat Islam, maka maslahat mardhatillah yaitu mencapai keridaan Allah SWT akan tercapai.
            Dalam kondisi bangsa yang sangat memprihatinkan sekarang, sudah waktunya umat Islam untuk terjun dalam perjuangan politik yang lebih serius. Umat Islam tidak boleh lagi bermain di wilayah pinggiran sejarah. Umat Islam harus menyiapkan diri untuk memunculkan pemimpin-pemimpin yang handal, cerdas, berahklak mulia, profesional, dan punya integritas diri yang tangguh. Umat Islam di Indonesia diharapkan tidak lagi termarginalisasi dalam panggung politik. Politik Islam harus mampu merepresentasikan idealismenya sebagai rahmatan lil alamin dan dapat memberikan kontribusi yang besar bagi bangsa ini.
Dalam hal ini politik ekonomi Islam tidak hanya berupaya untuk meningkatkan taraf kehidupan masyarakat saja dalam suatu negara dengan mengabaikan kemungkinan terjamin tidaknya kebutuhan hidup tiap-tiap individu. Politik ekonomi Islam juga tidak hanya bertujuan untuk mengupayakan kemakmuran individu semata tanpa kendali tanpa memperhatikan terjamin tidaknya kehidupan tiap individu lainnya.
5. Bentuk Aplikasi Ekonomi Politik Islam di Indonesia[9]
Dalam konteks Indonesia, politik ekonomi Islam diaplikasikan dalam bentuk “intervensi” pemerintah dalam berbagai bentuknya (termasuk meregulasi, masuk ke industri, menginisiatif suatu gerakan, dan lain-lain). Intervensi ini bermakna positif karena bukan kooptasi terhadap ekonomi Islam tetapi justru mendorong perkembangan ekonomi Islam. Secara politik ekonomi Islam, ada beberapa rasional yang mengharuskan pemerintah melakukan intervensi terhadap pengembangan ekonomi Islam, yaitu: (1) Industri keuangan syariah memiliki dampak yang positif bagi stabilitas perekonomian makro Indonesia, (2) Industri keuangan syariah memiliki ketahanan atau resistensi yang cukup tinggi terhadap goncangan krisis keuangan, (3) Diperlukannya peran aktif pemerintah sebagai regulator dan supervisor  sehingga tercipta efisiensi, transparansi dan berkeadilan, (4) Ekonomi Islam dapat berperan sebagai penyelamat bila terjadi ketidakpastian usaha atau perekonomian (5) Dalam teori maupun realitasnya, industri keuangan syariah membutuhkan infrastruktur yang mendukung perkembangannya. Dalam koridor itulah, politik ekonomi Islam pemerintah RI pada era reformasi dapat dipaparkan sebagai berikut: Pandangan dunia islam memiliki tiga prisip fundamental yaitu tauhid, khilafah dan ‘adalah. Pandangan ini tidak hanya membentuk pandangan islam tapi juga membentuk ujung tombak maqashid dan strategi. Pandangan dunia islam, maqashid dan strategi diracik secara bersama-sama dalam suatu keseluruhan yang konsisten sehingga memungkinkan sistem ekonomi Islam merealisasikan sasaran-sasarannya.
Indonesia terdiri dari berbagai suku, bahasa dan agama yang berbeda. Indonesia bersama dengan negara-negara Asia Tenggara lainnya merupakan salah satu negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam terbesar di dunia. Indonesia diprediksi oleh banyak kalangan ekonomi internasional sebagai kekuatan ekonomi baru yang akan memainkan peran penting dalam peraturan ekonomi global. Bersama dengan Turki, Vietnam dan Mesir, Indonesia juga dianggap layak untuk masuk dalam jajaran CIVIETS. Dalam jajaran negara-negara Islam, Indonesia termasuk salah satu negara dari 8 negara yang mempunyai tingkat pertumbuhan PDB yang tertinggi selain Turki, Saudi Arabia, Iran, Mesir, Malaysia dan Pakistan. Indonesia mempunyai keunggulan luas wilayah yang sangat besar dangan sumber daya alam yang potensial untuk dikembangkan baik di darat maupun laut. Kekuatan lain dari Indonesia adalah jumlah populasi penduduk yang besar dan menyamai Cina dan India. Jumlah penduduk yang besar ini menjadi pasar potensial bagi Indonesia untuk memperdagangkan hasil-hasil alamnya.

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Bahwa terdapat satu perbedaan utama di antara ekonomi politik umum dan ekonomi politik Islam. Perbedaan utama tersebut ialah dari sudut matlamat pelaksanaan. Ekonomi politik umum dilakasanakan untuk melihat perkembangan yang bersifat materi. Berbeda dengan ekonomi politik Islam yang dilaksanakan bukan saja melihat dari sudut perkembangan materi, tetapi jauh dari itu melihat kepada perkembangan dari sudut rohani.
            Sekarang, sudah waktunya umat Islam untuk terjun dalam perjuangan politik yang lebih serius. Umat Islam tidak boleh lagi bermain di wilayah pinggiran sejarah. Umat Islam harus menyiapkan diri untuk memunculkan pemimpin-pemimpin yang handal, cerdas, berahklak mulia, profesional, dan punya integritas diri yang tangguh. Umat Islam di Indonesia diharapkan tidak lagi termarginalisasi dalam panggung politik. Politik Islam harus mampu merepresentasikan idealismenya sebagai rahmatan lil alamin dan dapat memberikan kontribusi yang besar bagi bangsa ini.
B. Saran
Dalam penulisan makalah ini penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangannya atau masih jauh dari kesempurnaannya. Maka penulis mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun untuk kedepan, dan penulis berharap agar dalam pembuatan makalah tidak lagi mengulangi kesalahan yang sama dan bisa menjadikan pengalaman di masa yang akan datang, Amin.

DAFTAR PUSTAKA
S. Damanhuri Didin. 2014. Ekonomi-Politik Indonesia dan Antarbangsa. Yogyakarta: Pustaka
            Pelajar.
Deliarnov. 2006. Ekonomi Politik. Jakarta: Erlangga.
Efendi, Syahrul. Tanpa Tahun. Umar bin Khatab dan Ekonomi Politik Islam. Dalam Jurnal
            Ekonomika di Academia.edu. Diakses pada tanggal 10 Maret 2017, pukul 14:22.
Syakir Mohd, Mohd Rosdi. 2012. Makna Ekonomi Politik Islam. Dalam Artikel Academia.edu.
            Diakses pada tanggal 12 Maret 2017, pukul 13:06.


[1] http://dtkisland.blogspot.co.id/2013/12/makalah-politik-islam_27.html. Diakses pada tanggal 10 Maret 2017, pukul 03.50.
[2] Efendi, Syahrul. Tanpa Tahun. ‘’Umar bin Khatab dan Ekonomi Politik Islam’’ dalam Jurnal Ekonomika Academia.edu.
[3]Syakir Mohd, Mohd Rosdi. 2012. ‘’Makna Ekonomi Politik Islam’’ dalam Artikel Academia.edu.
Mohd Syakir Bin Mohd Rosdi merupakan calon Ijazah Kedoktoran di Pusat Kajian Pengurusan Pembangunan Islam (ISDEV), Pusat Pengajian Sains Kemasyarakatan, Universiti Sains Malaysia. Beliau juga merupakan Felo RLKA (Rancangan Latihan Kakitangan Akademik) di Bahagian Pengurusan Pembangunan Islam (PPI), Pusat Pengajian Sains Kemasyarakatan, Universiti Sains Malaysia.

[4] Ibid, ‘’Makna Ekonomi Politik Islam’’.
[5] Ibid, ‘’Makna Ekonomi Politik Islam’’.
[6] Ibid, ‘’Makna Ekonomi Politik Islam’’.
[7] Ibid, ‘’Makna Ekonomi Politik Islam’’.
[8] Ibid, ‘’Makna Ekonomi Politik Islam’’.
[9] S.Damanhuri Didin, Ekonomi-Politik Indonesia dan Antarbangsa, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2014). Hal 178-179.

No comments:

Post a Comment

Metode Pelaksanaan Bangunan

 LINGKUP PEKERJAAN Lingkup pekerjaan yang akan dilaksanakan yakni : I                PEKERJAAN PERSIAPAN II               PEKERJAAN TANAH DA...