Saturday, December 28, 2019

Kebijakan Tentang Penanggulangan HIV dan AIDS


KEBIJAKAN TENTANG PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS: Peran Pemerintah Dan Masyarakat
POLICY ON HIV AND AIDS: Role Of Government And Society
HAFIKO ANDRESNI
Program Studi Pasca Sarjana IKM STIKes Hang Tuah Pekanbaru
ABSTRAK
HIV/AIDS adalah penyakit yang sampai sekarang ini belum ada obatnya dan mematikan, selain karena mengganggu kesehatan fisik, HIV/AIDS juga mengganggu stabilitas psikis dan kehidupan sosial penderita, sehingga perlu dilakukan penanganan yang komprehensif.Indonesia sudah menjadi negara urutan ke 5 di Asia paling berisiko HIV AIDS. Wilayah yang memasuki level menyeluruh dalam penyebaran HIV/AIDS adalah di Provinsi Papua yaitu provinsi yang berada paling timur di Indonesia, tingkat penyebaran HIV/AIDS terus meningkat setiap tahunnya, pada tahun 2012 tercatat 13.476 orang terinfeksi HIV/AIDS di Papua. Sehingga Peran pemerintah sangat diperlukan. Maraknya penyebaran HIV/AIDS menjadi permasalahan publik yang ditanggapi serius oleh Pemerintah Kabupaten Jayapura, Papua. Pemerintah Kabupaten Jayapura mengeluarkan Perda Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Pencegahan dan Penanggulangan HIV/AIDS dan IMS. Peraturan Daerah yang dibuat tersebut telah dirumuskan dan diimplementasikan. Akan tetapi pada praktiknya masih terdapat beberapa kendala dalam proses implementasi kebijakannya. Sehingga Pemerintahperlu mengembangkan kebijakan dengan pendekatan lain dalam menanggulangi HIV/AIDS, seperti pendekatan ekonomi, pendidikan, dan religi serta keikutsertaan LSM/Organisasi Masyarakat dan Masyarakat dalam penanggulangan HIV AIDS.
Kata kunci : HIV dan AIDS kebijakan, peran pemerintah dan masyarakat.
ABSTRACT
HIV / AIDS is a disease that until now there is no cure and off, as well as interfere with physical health, HIV / AIDS is also destabilizing psychic and social life of the patient, so we need a comprehensive treatment. Indonesia has become the order of 5 in Asia are most at risk of HIV AIDS. Who entered the region in the overall level of the spread of HIV / AIDS in Papua is the most eastern province located in Indonesia, the spread of HIV / AIDS continues to increase every year, in 2012 recorded 13 476 people are infected with HIV / AIDS in Papua. So the role of government is essential. Rampant spread of HIV / AIDS became a public issue taken seriously by the Government of Jayapura regency, Papua. Jayapura Regency Government issued Regulation No. 20 of 2003 on the Prevention and Control of HIV / AIDS and STIs. Regional regulations that made it has been formulated and implemented. But in practice there are still some obstacles in the process of policy implementation. So the government needs to develop a policy with another approach in tackling HIV / AIDS, such as the approach to the economy, education, and religion as well as the participation of NGOs / Civil Society Organizations and Communities in HIV AIDS.
Keywords : HIV and AIDS policy, the role of government and society
PENDAHULUAN
1.    Latar Belakang
Kesehatan adalah salah satu bentuk HAM yang diwujudkan melalui perlindungan hukum dan kebijakan pemerintah dengan upaya pemberian fasilitas pelayanan kesehatan kepada seluruh lapisan masyarakat.  Negara Indonesia hingga saat ini masih menghadapi problematika kesehatan yang memberikan dampak sosial yang kompleks dan menjadi kendala pembangunan yang harus segera diselesaikan. Masalah kesehatan yang masih mengkhawatirkan yang ada di Indonesia bahkan negara-negara lain di dunia adalah fakta berkembangnya epidemi yang disebabkan HIV/AIDS. AIDS (Acquired ImmunodeficiencySyndrome) merupakan kumpulan gejala dan penyakit yang diakibatkan oleh menurunnya kekebalan tubuh yang disebabkan terinfeksi virus HIV (Human Immunodeficiency Virus).
Epidemi HIV merupakan masalah dan tantangan serius terhadap kesehatan masyarakat di dunia. Pada tahun 2007 jumlah ODHA di seluruh dunia diperkirakan sudah mencapai 33.2 juta (30.6–36.1 juta). Setiap hari, lebih 6800 orang terinfeksi HIV dan lebih dari 5700 meninggal karena AIDS, yang disebabkan terutama kurangnya akses terhadap pelayanan pengobatan dan pencegahan HIV.Dari seluruh infeksi HIV, 90% akan terjadi di negara berkembang, terutama di Asia. Negara yang paling parah terkena antara lain Thailand, India, Myanmar dan Cina bagian selatan. Sementara itu negara-negara industri yang lebih maju telah menekan laju infeksi HIV di negaranya.
Indonesia adalah salah satu dari negara di Asia yang memiliki kerentanan HIV akibat dampak perubahan ekonomi dan perubahan kehidupan sosial. Saat ini epidemi AIDS dunia sudah memasuki dekade ketiga, namun penyebaran infeksi terus berlangsung yang menyebabkan negara kehilangan sumber daya dikarenakan masalah tersebut.
Indonesia secara kumulatif berdasarkan laporan dari seluruh provinsi yang dikeluarkan secara triwulan oleh Kementerian Kesehatan RI sampai bulan Maret tahun 2010, tercatat 20.564 kasus AIDS dengan persentase, laki-laki sebanyak 62%, perempuan 30% dan tidak diketahui 8 %. Estimasi yang dilakukan pada tahun 2006 diperkirakan di Indonesia terdapat sekitar 193.000 orang terinfeksi HIV dan sekitar 186.000 orang tahun 2009, sedangkan kasus AIDS yang tercatat oleh Kementerian Kesehatan RI sampai dengan September 2010 tercatat 22.726 orang hidup dengan HIV AIDS. AIDS pada pengguna Napza Suntik (penasun) di Indonesia sampai tahun 2010 sebanyak 2.224 kasus dan jika dilihat dari kelompok umur dari kelompok tersebut ada 70% berada di kelompok usia produktif  (20-39 tahun). 
Indonesia sudah menjadi negara urutan ke 5 di Asia paling berisiko HIV AIDS. Wilayah yang memasuki level menyeluruh dalam penyebaran HIV/AIDS adalah di Provinsi Papua. Kasus HIV/AIDS di Papua pertama kali ditemukan pada tahun 1992.Menurut catatan Departemen Kesehatan pada tahun 2010 Papua menempati posisi tertinggi ketiga setelah Jawa Barat dan Jawa Timur dengan jumlah kasus penderita HIV/AIDS. Akan tetapi tingkat penyebaran HIV/AIDS terus meningkat setiap tahunnya di Papua, pada tahun 2012 tercatat 13.476 orang terinfeksi HIV/AIDS di Papua.
Para pakar memperkirakan  “jumlah kasus HIV AIDS sudah mencapai 130.000 orang, sehingga tidak bisa dihindari lagi  bagi Indonesia untuk menerapkan kesepakatan tingkat Internasional yang diikuti kebijakan nasional”. Sebagian besar infeksi baru diperkirakan terjadi pada beberapa sub-populasi berisiko tinggi (dengan prevalensi > 5%), yaitu pada pengguna Napza suntik (penasun), wanita pekerja seks (WPS), dan waria.
Program HIV AIDS dikelola pemerintah dan masyarakat merupakan kebijakan yang terpadu untuk mencegah penularan HIV dan memperbaiki kualitas hidup orang dengan HIV. Berdasarkan Undang-Undang No.36 tahun 2009 tentang kesehatan bahwa setiap kegiatan dalam upaya untuk memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya dilaksanakan berdasarkan prinsip non diskriminatif, partisipatif dan berkelanjutan. Peraturan Presiden No. 75 Tahun 2006 mengamanatkan perlunya peningkatan upaya penanggulangan HIV dan AIDS di seluruh Indonesia. Kemudian juga diidentifikasi bahwa permasalahan HIV-AIDS merupakan masalah multi sektor, sehingga tanggung jawab harus diambil bersama dengan sektor/departemen lain.

2.    Tujuan
a.      Tujuan Umum : Meningkatkan advokasi, sosialisasi dan pengembangan kapasitas, meningkatkan kemampuan manajemen dan profesionalisme, meningkatkan aksesibilitas dan kualitas, meningkatkan jangkauan pelayanan untuk pelayanan HIV/AIDS.

b.      Tujuan Khusus:
1)   Mencegah dan mengurangi penularan HIV, meningkatkan kualitas hidup ODHA serta mengurangi dampak sosial dan ekonomi akibat HIV dan AIDS pada individu, keluarga dan masyarakat.
2)   Menyediakan dan menyebarluaskan informasi dan menciptakan suasana kondusif untuk mendukung upaya pengendalian HIV dan AIDS, dengan menitik beratkan pencegahan pada sub-populasi berperilaku risiko tinggi dan lingkungannya dengan tetap memperhatikan sub-populasi lainnya.
3)   Mengembangkan dan meningkatkan kemitraan antara lembaga pemerintah, LSM, sektor swasta dan dunia usaha, organisasi profesi, dan mitra internasional di pusat dan di daerah untuk meningkatkan respon nasional terhadap HIV dan AIDS.
4)   Meningkatkan koordinasi kebijakan nasional dan daerah serta inisiatif dalam pengendalian HIV dan AIDS.






KAJIAN AKADEMIK
1.    Kebijakan Publik
Kebijakan Publik (Public Policy) diartikan sebagai keputusan-keputusan yang mengikat bagi orang banyak pada tataran strategis atau bersifat garis besar yang dibuat oleh pemegang otoritas publik.
William N. Dunn (2000) mengemukakan bahwa analisis kebijakan adalah suatu disiplin ilmu sosial terapan yang menggunakan berbagai macam metode penelitian dan argumen untuk menghasilkan dan memindahkan informasi yang relevan dengan kebijakan, sehingga dapat dimanfaatkan di tingkat politik dalam rangka memecahkan masalah-masalah kebijakan.

2.    Kebijakan HIV/AIDS
Kebijakan merupakan serangkaian keputusan yang dibuat oleh pemegang tanggung jawab pada bidang tertentu . Kebijakan tentang HIV/AIDS mencakup serangkaian keputusan dan aksi yang mempengaruhi lembaga, organisasi, dan system penyedia layanan dan pendanaan terkait dengan HIV/AIDS. Konteks kebijakan AIDS akan melingkupi kondisi politik,ekonomi dan sosial budaya ditingkat internasional, regional, nasional dan lokal. Sedangkan proses kebijakan akan dilihat bagaimana kebijakan itu diinisiasi, diformulasikan atau dikembangkan, dikomunikasikan, implmentasi dan dievaluasi. Aktor dalam pembuatan kebijakan ini juga akan dilihat mulai dari individu, organisasi masyarakat, lembaga pemerintah, dan juga Mitra Pembangunan Internasional. Dimulai dari dukungan berbagai pihak dari kelompok peduli, LSM, Populalasi Kunci, birokrat, organisasi masyarakat dan partai politik.

a.    Kebijakan Umum Penanggulangan HIV dan AIDS Sektor Kesehatan

1)   Upaya pencegahan yang efektif termasuk penggunaan kondom 100% pada setiap hubungan seks berisiko, semata-mata hanya untuk memutus rantai penularan HIV.
2)   Upaya pengendalian HIV dan AIDS merupakan upaya-upaya terpadu dari peningkatan perilaku hidup sehat, pencegahan penyakit, pengobatan dan perawatan berdasarkan data dan fakta ilmiah serta dukungan terhadap ODHA.
3)   Upaya pengendalian HIV dan AIDS diselenggarakan oleh masyarakat, pemerintah, dan LSM berdasarkan prinsip kemitraan. Masyarakat dan LSM menjadi pelaku utama sedangkan pemerintah berkewajiban mengarahkan, membimbing dan menciptakan suasana yang mendukung terselenggaranya upaya pengendalian HIV dan AIDS.
4)   Upaya pengendalian HIV dan AIDS diutamakan pada kelompok masyarakat berperilaku risiko tinggi tetapi harus pula memperhatikan kelompok masyarakat yang rentan, termasuk yang berkaitan dengan pekerjaannya dan kelompok marjinal terhadap penularan HIV and AIDS.

b.   Kebijakan Operasional Penanggulangan HIV dan AIDS Sektor Kesehatan

1)   Pemerintah pusat bertugas melakukan regulasi dan standarisasi secara nasional kegiatan program AIDS dan pelayanan bagi ODHA.
2)   Penyelenggaran dan pelaksanaan program dilakukan sesuai azas desentralisasi dengan Kabupaten/kota sebagai titik berat manajemen program.
3)   Pengembangan layanan bagi ODHA dilakukan melalui pengkajian menyeluruh dari berbagai aspek yang meliputi: situasi epidemi daerah, beban masalah dan kemampuan, komitmen, strategi dan perencanaan, kesinambungan, fasilitas, Sumber Daya Manusia (SDM) dan pembiayaan.
4)   Setiap pemeriksaan untuk mendiagnosa HIV dan AIDS harus didahului dengan penjelasan yang benar dan mendapat persetujuan yang bersangkutan (informed consent). Konseling yang memadai harus diberikan sebelum dan sesudah pemeriksaan dan hasil pemeriksaan diberitahukan kepada yang bersangkutan tetapi wajib dirahasiakan kepada pihak lain.
5)   Setiap pemberi pelayanan berkewajiban memberikan layanan tanpa diskriminasi kepada ODHA

3.    Peran dan Tanggung Jawab Pemerintah Dan Masyarakat
Efektivitas upaya nasional untuk menanggulangi ancaman HIV/AIDS di Indonesia tergantung pada kerjasama semua pihak. Rencana yang rinci dan tanggung jawab operasional akan dikembangkan untuk masing-masing kegiatan namun secara garis besar pembagian tugas dan tanggung jawab adalah sebagai berikut :
a.    Pemerintah
1)   Tingkat Pusat: Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat sebagai Ketua Komisi dibantu oleh beberapa Menteri sebagai Wakil Ketua dan Anggota, mengkoordinasikan penyusunan rencana kebijakan nasional tentang pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia dengan titik berat pada ketahanan keluarga. Tugas dan tanggung jawab Komisi Nasional Penanggulangan HIV/AIDS adalah :
a)    Membina dan menyediakan layanan teknis dan layanan sosial yang dibutuhkan program penanggulangan HIV/AIDS berada di luar jangkauan/kemampuan masyarakat;
b)   Bekerjasama dengan para mitra dalam upaya penanggulangan HIV/AIDS,
c)    Mengembangkan dan memelihara lingkungan dan tata cara kerja yang mendorong, memudahkan dan mendukung kegiatan penanggulangan HIV/AIDS yang kreatif dan bertanggung jawab dilakukan oleh berbagai kelompok masyarakat dan lembaga non pemerintah.
 
2)   Tingkat Propinsi dan Kabupaten/Kotamadya : Upaya penanggulangan HIV/AIDS di daerah dipimpin oleh Gubernur Kepala Daerah Tingkat I, Bupati/Walikota KDH TK II, dengan peran aktif para pejabat Pemerintah dari sektor terkait, wakil-wakil dari lembaga dan Organisasi Non Pemerintah serta universitas/lembaga pendidikan tinggi di daerah. Tugas dan tanggung jawab Komisi Penanggulangan HIV/AIDS Daerah adalah :
a)    Memimpin, mengelola dan mengkoordinasikan kegiatan penanggulangan HIV/AIDS di daerah;
b)   Mengindentifikasi lokasi/wilayah yang potensial untuk penyebaran HIV/AIDS yang lebih cepat;
c)    Menghimpun, menggerakkan dan memanfaatkan sumber-sumber daya secara efektif;
d)   Menjamin alokasi anggaran/dana untuk penanggulangan HIV/AIDS dari sumber-sumber lokal;
e)    Secara efektif dan efisien memanfaatkan sumber daya dan dana baik yang berasal dari tingkat pusat, daerah, masyarakat maupun luar negeri;
f)    Membantu dan memudahkan upaya masyarakat, lembaga dan Organisasi Non Pemerintah dalam memobilisasi sumber daya dan dana untuk kegiatan penanggulangan HIV/AIDS.

3)   Tingkat Kecamatan.
Upaya pananggulangan HIV/AIDS di Tingkat Kecamatan dipimpin oleh Camat,dengan kerjasama para pelaksana sektor terkait, wakil-wakil dari masyarakat lembaga dan Organisasi Non Pemerintah setempat. Tugas dan tanggung jawab Camat di Kecamatan adalah :
a)    Memimpin, mengelola dan mengkoordinasikan kegiatan penanggulangan HIV/AIDS di kecamatannya:
b)   Mengindentifikasi lokasi/wilayah yang potensial untuk penyebaran HIV/AIDS yang lebih cepat:
c)    Menghimpun menggerakan dan memanfaatkan sumber daya dan dana setempat secara efektif dan membantu kelancaran upaya masyaraka.


4)   Tingkat Kelurahan dan desa.
Lurah/Kepala Desa memegang peran kunci dalam memimpin pelaksanaan pencegahan/penanggulangan HIV/AIDS dalam wilayahnya masing-masing. Tugas dan fungsinya adalah :
a)    Mendorong upaya masyarakat dan memberikan kemudahan untuk kegiatan kelompok-kelompok masyarakat sesuai jiwa dan semangat Strategi Nasional;
b)   Bekerjasama dengan perangkat pemerintah untuk menjamin pelakasanaan kegiatan yang efektif dan efisien program penanggulangan HIV/AIDS ditingkat Kelurahan dan Desa.

b.      Masyarakat
a.    Rumah tangga dan keluarga
Keluarga sebagai unit terkecil masyarakat perlu ditingkatkan ketahanannya dengan meningkatkan dan memantapkan peran serta fungsi-fungsi keluarga agar ikut bertanggung jawab membina anggotanya untuk mencegah penularan HIV/AIDS serta tidak bersikap diskriminatif terhadap pengidap HIV/serta penderita AIDS.

b.    Lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan Organisasi/Lembaga Non Pemerintah.
LSM dan Organisasi/lembaga Non Pemerintah memainkan peranan yang penting dan diakui sebagai mitra setara dalam usaha nasional untuk penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia. Untuk menjangkau orang-orang dan kelompoknya, dengan kebutuhan khusus antara lain kelompok remaja, agama, wanita, profesi yang biasanya tidak atau sulit-terjangkau oleh petugas pemerintah.
Untuk mendukung kegiatan LSM, Organisasi/Lembaga Non Pemerintah secara optimal dapat dikembangkan pusat data dan informasi serta jaringan kerjasama yang efektif.

PEMBAHASAN
1.    Isu Kebijakan Publik
HIV/AIDS merupakan isu kebijakan publik paling global.HIV/AIDS telah menyebar ke seluruh dunia, sementara obat yang manjur untuk mencegah dan menyembuhkan HIV/AIDS belum ditemukan. Saat ini HIV/AIDS bukan semata-mata masalah kesehatan, akan tetapi telah memiliki implikasi politik, ekonomi, sosial, etika, agama, dan hukum (Haryanto,dkk. 2010).
Papua sebagai Provinsi yang berada paling timur di Indonesia merupakan Provinsi dengan jumlah kasus HIV/AIDS tertinggi kedua di Indonesia. Tercatat hingga Juni 2012 jumlah penduduk yang terinfeksi HIV/AIDS mencapai 13.476 orang (sumber: Ditjen PP & PL Kemenkes RI), akan tetapi menurut Ketua Komisi Penanggulangan AIDS Dearah (KPAD) Provinsi Papua dr. Constant Karma (2009) menyebutkan diperkirakan 29.000 orang Papua hidup dengan HIV/AIDS dan diperkirakan sebagian besar merupakan bagian dari komunitas yang tinggal di wilayah yang sulit diakses dan daerah pedalaman (Haryanto,dkk. 2010).
Menanggapi semakin parahnya kasus HIV/AIDS di Papua, pemerintah Kabupaten Jayapura merespon dengan cepat melalui Peraturan Daerah Nomor 20 Tahun 2003 tentang Pencagahan dan Penanggulangan HIV/AIDS dan IMS. Langkah yang diambil Pemkab Jayapura patut mendapat apresiasi, sebab Perda ini merupakan perda tentang HIV/AIDS pertama di Indonesia. Walaupun pada awalnya ketersediaan dana sangat minim, namun dana tersebut mampu menggerakkan implementasi Perda tersebut.
Secara normatif, tujuan dari Perda Nomor 20 tahun 2003 adalah menekan laju HIV/AIDS di wilayah Kabupaten Jayapura (Haryanto,dkk. 2010). Tujuan ini sangat jelas, sehingga mampu menjadi pedoman bagi para implementor dalam melaksanakan Perda tersebut.Jika ditelaah lebih jauh, Perda ini sebenarnya bertujuan untuk melakukan pemberdayaan masyarakat dalam menanggulangi masalah HIV/AIDS di Jayapura. Melalui pemberdayaan masyarakat diharapkan mampu menekan laju penyebaran penyakit HIV/AIDS, diantaranya dengan mencegah terjadinya penularan kepada orang sehat, melibatkan peran serta LSM yang concern pada masalah HIV/AIDS, dan juga meminimalisir stigma di masyarakat mengenai HIV/AIDS, sehingga pengidap HIV/AIDS juga dapat hidup normal di dalam masyarakat.
Adapun aktor yang terlibat dalam implementasi Perda Nomor 20 tahun 2003 diantaranya Dinas Kesehatan dan Komisi Penanggulangan AIDS Kabupaten Jayapura sebagai representatif Pemerintah Kabupaten Jayapura, NGO/LSM, dan masyarakat. Selain itu, pemerintah Kabupaten Jayapura memilih menerapkan instrumen penggunaan kondom saat berhubungan seksual beresiko. Instrumen penggunaan kondom dipilih berdasarkan data yang ada menunjukan bahwa 97% lebih kasus penyebaran HIV/AIDS di Papua menular melalui hubungan seks bebas.

2.    Analisis Peran Internasional
Peran internasional bertindak sebagai lembaga donor dalam berbagai program pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS. Tetapi perlu menjadi perhatian pemerintah adalah bantuan lembaga donor asing biasanya hanya bersifat sementara, sedangkan kesuksesan penanggulangan HIV/AIDS membutuhakn kesinambungan program-program.

3.    Analisis Keterlibatan Peran Politik
Aktor yang terlibat dalam pelaksanaan Peraturan Daerah Nomor 20 Tahun 2003 terdiri dari aktor pemerintah, aktor non pemerintah, aktor internasional, dan masyarakat. Aktor pemerintah Kabupaten Jayapura sendiri terkendala baik secara kuantitas maupun kualitas.Ketersediaan tenaga kesehatan di Kabupaten Jayapura khususnya untuk penanganan penderita HIV/AIDS masih sangat kurang. Penderita HIV/AIDS memerlukan tenaga profesional tidak saja untuk pengobatan akan tetapi juga dukungan psikologi dan sosial. Hal tersebut menyebabkan kesulitan pemberdayaan penderita HIV/AIDS.Adapun peran LSM dalam pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS di Jayapura adalah sebagai mitra dari pemerintah.Sedangkan masyarakat hanya ditempatkan sebagai objek kebijakan.
4.    Analisis Impementasi Kebijakan
Implementasi kebijakan merupakan studi penting dari kajian ilmu administrasi publik, khususnya ilmu kebijakan publik. Sebuah kebijakan tidak akan membawa manfaat bagi masyarakat luas tanpa adanya implementasi. Budi Winarno (2008) menyatakan bahwa implementasi kebijakan merupakan tahap yang krusial dalam proses kebijakan publik, dan suatu program kebijakan harus diimplementasikan agar mempunyai dampak atau tujuan yang diinginkan.
Terkait dengan kasus HIV/AIDS di Jayapura, Pemerintah Kabupaten Jayapura berupaya menanggulanginya dengan mengimplementasikan Peraturan Daerah Nomor 20 tahun 2003 tentang Pencegahan dan Penanggulangan HIV/AIDS dan IMS. Sejak Perda ini diimplementasikan hingga saat ini, justru jumlah orang yang terinfeksi HIV/AIDS semakin bertambah.Meskipun demikian, fenomena tingginya kasus HIV/AIDS di Kabupaten Jayapura, tidak semata-mata dikarenakan kegagalan dalam mengimplementasikan kebijakan. Sebab kasus HIV/AIDS di Kabupaten Jayapura seperti ‘gunung es’, artinya dipermukaan tidak begitu nampak, akan tetapi di dalamnya sangat pesat penyebarannya. Oleh karena itu dibutuhkan waktu yang relatif lama dan juga kegiatan yang bersifat kontinu dalam menanggulangi kasus HIV/AIDS di Kabupaten Jayapura.
Keberhasilan implementasi kebijakan sangat dipengaruhi oleh banyak variabel atau faktor, dan masing-masing varibel tersebut saling berkaitan satu dengan yang lainnya. Maka untuk lebih memahami implementasi kebijakan (Peraturan Daerah Nomor 20 tahun 2003 tentang Pencagahan dan Penanggulangan HIV/AIDS dan IMS) di Kabupaten Jayapura, harus terlebih dahulu dipahami berbagai variabel yang mempengaruhinya. Dalam hal ini akan digunakan teori impelementasi dari George C. Edwards III dan  David C. Korten. Berikut ini pembahasannya:
a.    Teori Implementasi George C. Edwards III
Model Implementasi kebijakan publik yang dikemukakan oleh Edward menunjuk empat variabel yang berperan penting dalam pencapaian keberhasilan implementasi, empat variabel tersebut adalah komunikasi, sumber daya, disposisi dan struktur birokrasi (dalam Indiahono, 2009).Keempat variabel ini saling memiliki keterkaitan dan saling bersinergi satu dengan yang lainnya.
1)   Komunikasi :Pada kasus implementasi kebijakan penanggulangan HIV/AIDS di Kabupaten Jayapura, dapat terlihat dengan jelas bahwa komunikasi tidak berjalan dengan baik antara pelaksana dan penerima program. Hal ini terlihat dengan hanya menjadikan masyarakat, khusus pekerja seks komersil sebagai objek kebijakan. Masyarakat tidak dilibatkan sebagai subjek kebijakan, padahal dalam pasal 6 ayat 3 Peraturan Daerah Nomor 20 tahun 2003 tentang Pencagahan dan Penanggulangan HIV/AIDS dan IMS, disebutkan bahwa ‘Masyarakat dan LSM menjadi pelaku utama, sedangkan pemerintah berkewajiban mengarahkan,membimbing dan menciptakan suasana yang mendukung.’ Apa yang tertuang dalam pasal tersebut, mengarah pada terwujudnya partisipasi dan pemberdayaan masyarakat.Padahal masyarakat, sangat membutuhkan informasi dan pendidikan mengenai HIV/AIDS. Khusus untuk pekerja seks komersil, mereka sebenarnya memegang peranan penting dalam penyebaran HIV/AIDS, oleh karena itu, mereka seharusnya diberikan pengetahuan (komunikasi) yang baik mengenai HIV/AIDS, hal ini penting guna menghambat penyebaran penyakit tersebut.
2)   Sumber Daya :Sumber daya yang dimaksud disini adalah sumber daya manusia dan sumber daya finansial. Berdasarkan hasil penelitian Haryanto, dkk (2010) disebutkan bahwa implementasi kebijakan pencagahan dan penanggulangan HIV/AIDS di Kabupaten Jayapura masih terkendala masalah sumber daya manusia, baik secara kuantitas maupun kualitas. Ketersediaan tenaga kesehatan di Kabupaten Jayapura khususnya untuk penanganan penderita HIV/AIDS masih sangat kurang. Penderita HIV/AIDS memerlukan tenaga profesional tidak saja untuk pengobatan akan tetapi juga dukungan psikologi dan sosial. Hal tersebut menyebabkan kesulitan pemberdayaan penderita HIV/AIDS.
3)   Disposisi :Disposisi menunjukan karakteristik implementor kebijakan seperti komitmen, kejujuran, dan demokratis. Dalam hal komitmen, pemerintah Kabupaten Jayapura seperti sangat serius dalam penanggulangan HIV/AIDS. Terbukti dengan diterbitkannya Perda yang konsen dalam pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS, sekaligus merupakan perda pertama di Indonesia yang fokus pada masalah HIV/AIDS. Komitmen juga ditunjukan dengan sering terlibat langsungnya kepada daerah dalam berbagai kegiatan pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS di lapangan.Yang masih harus menjadi perhatian adalah faktor kejujuran dan demokratis. Belum dilibatkannya masyarakat secara langsung dalam berbagai program pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS membuktikan belum demokratisnya pemerintah Kabupaten Jayapura dalam implementasi kebijakan.
4)   Struktur Birokrasi :Struktur birokrasi pemerintah Kabupaten Jayapura dalam mengimplementasikan kebijakan pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS dikatakan cukup baik. Selama ini pemerintah Kabupaten Jayapura cukup terbuka dalam membangun kerja sama dengan pemerintah provisi dan pusat, membangun kemitraan bersama berbagai LSM yang ada di daerah, dan juga menjalin kerja sama dengan lembaga donor asing.Akan tetapi masih terdapat masalah dalam keterbatasan kapasitas birokrasi terkait sumber daya manusia yang ada. Selain itu,  berbagai bantuan dari lembaga donor dan juga kerja LSM kurang terkoordinasi, sehingga yang terjadi seolah berjalan ‘sendiri-sendiri’, tanpa adanya sinergi.

b.   Teori Model Kelayakan Kebijakan David C. Korten
Menurut Korten kebijakan dikatakan layak atau akan berjalan dengan baik apabila terjadi sinergi antara kebijakan itu sendiri dengan pelaksanan kebijakan dan penerima kebijakan. Ketiga variabel (kebijakan, pelaksana, dan sasaran) harus berada dalam kondisi yang baik/layak.
1)   Kebijakan :Komitmen pimpinan politik merupakan salah satu pendorong keberhasilan implementasi kebijakan. Peraturan Daerah Nomor 20 Tahun 2003 tentang Pencagahan dan Penanggulangan HIV/AIDS dan IMS merupakan salah satu komitmen politik pemerintah Kabupaten Jayapura dalam menganggulangi kasus HIV/AIDS di Jayapura. Selain itu, Bupati sering terlihat keikutsertaannya dalam aktivitas-aktivitas penanggulangan HIV/AIDS di daerah (Haryanto,dkk. 2010).Tidak semua daerah memiliki perda tentang HIV/AIDS. Kabupaten Jayapura merupakan dearah pertama di Indonesia yang memiliki Perda yang concern pada pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS. Peraturan Daerah Nomor 20 Tahun 2003 tentang Pencagahan dan Penanggulangan HIV/AIDS dan IMS merupakan inisiatif pemerintah (top-down), namun pada proses implementasinya melibatkan multi aktor, baik dari pemerintah, non pemerintah, dan masyarakat. Kebijakan pemerintah Kabupaten Jayapura, yakni Peraturan Daerah Nomor 20 Tahun 2003 tentang Pencagahan dan Penanggulangan HIV/AIDS dan IMS, bisa dikata sudah cukup baik. Maka yang menjadi fokus selanjutnya adalah bagaimana Perda itu diimplementasikan.
2)   Pelaksanan KebijakanAktor yang terlibat dalam pelaksanaan Peraturan Daerah Nomor 20 Tahun 2003 terdiri dari aktor pemerintah, aktor non pemerintah, aktor internasional, dan masyarakat. Hal ini menunjukan implementasi Perda tersebut telah melibatkan multi-aktor.
3)   Sasaran Kebijakan :Ditengah gencarnya pemerintah dalam pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS di Jayapura, masyarakan sebagai sasaran kebijakan hanya ditempatkan sebagai objek kebijakan. Padahal dalam pasal 6 ayat 3 Peraturan Daerah Nomor 20 tahun 2003 tentang Pencagahan dan Penanggulangan HIV/AIDS dan IMS, disebutkan bahwa ‘Masyarakat dan LSM menjadi pelaku utama, sedangkan pemerintah berkewajiban mengarahkan,membimbing dan menciptakan suasana yang mendukung.

c.    Penilaian
Berdasarkan teori dari Edward dan Korten, terdapat tujuh variabel yang berpengaruh terhadap keberhasilan implementasi kebijakan. Selanjutnya, kami mencoba untuk memberikan penilaian terhadap Peraturan Daerah Nomor 20 Tahun 2003 tentang Pencagahan dan Penanggulangan HIV/AIDS dan IMS di Jayapura terkait pemberdayaan masyarakat. Penilaian ini berdasarkan pembahasan sebelumnya dengan menggunakan tujuh variabel. Penilaiannya sebagai berikut :
Penilaian Kebijakan
Variabel
Penilaian
Baik
Cukup
Kurang
Kebijakan
ü


Pelaksana


ü
Sasaran


ü
Komunikasi


ü
Sumber Daya


ü
Disposisi

ü

Struktur Birokrasi

ü


Berdasarkan penilaian di atas, terlihat bahwa implementasi Peraturan Daerah Nomor 20 Tahun 2003 tentang Pencagahan dan Penanggulangan HIV/AIDS dan IMS di Jayapura kurang berjalan dengan baik. Namun bukan berarti Perda tersebut gagal begitu saja.Sebab secara kebijakan, perda tersebut dapat dikatakan layak, yang perlu dilakukan pemerintah Kabupaten Jayapura saat ini adalah bagaimana mengevaluasi dan membenahi berbagai kekurangan yang ada.Selain itu, pemerintah juga harus lebih melakukan pemberdayaan masyarakat dalam menganggulangi masalah HIV/AIDS, sebab masyarakat juga memegang peranan yang sangat penting. Masyarakat jangan lagi hanya dijadikan objek kebijakan, akan tetapi mereka juga harus dilibatkan sebagai subjek kebijakan.
Fenomena tingginya kasus HIV/AIDS di Kab.Jayapura bukan semata-mata merupakan sebuah kegagalan implementasi kebijakan. Sebab untuk menunjukan gejala seseorang terinfeksi memerlukan waktu yang lama, yakni dengan masa full-blown AIDS berkisar 5-10 tahun. Bertambahnya penderita HIV/AIDS tidak selamanya merupakan kegagalan program, sebeb bisa juga merupakan keberhasilan pemerintah dalam melakukan pendataan masyarakat yang terinfeksi HIV/AIDS, sehingga bisa dilakukan langkah-langkah selanjutnya guna mencegah penyebaran yang lebih luas.


KESIMPULAN
Masalah HIV/AIDS merupakan masalah yang sulit.Namun sudah menjadi tugas pemerintah untuk melindungi masyarakatnya dari berbagai ancaman dalam berbagai bentuk, termasuk HIV/AIDS.Peran pemerintah sangat besar terhadap penanganan HIV/AIDS sebab pemerintah adalah pemegang kendali terhadap stabilitas dalam kelompok masyarakat, selain itu pemerintah memiliki kekuatan melalui Kebijakan yang dibuat sebagai upaya pencapaian tatanan sosial yang sehat dan dinamis.
Melalui kebijakan yang telah di buat, Peraturan Daerah Nomor 20 Tahun 2003, belum optimaltentang HIV dan AIDS di Kabupaten Jayapura, penanganan masih sebatas pengawasan terhadap para pelaku seks di tempat prostitusi resmi dan tak resmi. Agar pelaksanaan Perda lebih maksimal Pemerintah bisa membuat suatu sanksi tegas dansanksi tersebut harus diterapkan.Pemerintah juga perlu mengembangkan pendekatan lain dalam menanggulangi HIV/AIDS, seperti pendekatan ekonomi, pendidikan, dan religi.
Implementasi Perda HIV-AIDS oleh Pemda Jayapura, perlu melihat apakah dari masyarakat Jayapura sendiri mengetahui apa itu HIV-AIDS, akibatnya apapun usaha yang dilakukan pemerintah tanpa memahami keterbatasan yang ada ditengah-tengah masyarakat sama halnya usaha menjaring angin. Sehingga komunikasi dan pendidikan mengenai HIV/AIDS perlu dilakukan oleh pemerintah dengan membangun kerja sama dengan berbagai organisasi yang perduli terhadap HIV/AIDS.LSM atau organisasi kemasyarakatan selama ini diharap dapat menjadi pendamping dan memberikan dukungan untuk implementasi kebijakan penanggulangan HIV/AIDS tetapi LSM/organiasi kemasyarakat itu sendiri  kurang dilibatkan oleh sektor resmi dari pemerintah dalam perencanaan dan pelaksanaan program sehingga perlu dilibatkan.
Masyarakat dapat berperan serta dalam penanggulangan HIV AIDS dengan cara berperilaku hidup sehat, membentuk dan mengembangkan warga peduli AIDS dan mendorong masyarakat yang berpotensi melakukan perbuatan berisiko tertular HIV untuk memeriksakan diri kefasilitas pelayanan. 

REFERENSI
Agustino, Leo. 2006. Dasar-Dasar Kebijakan Publik. Bandung: Alfabeta.
Ditjen PP & PL Kemenkes RI. 2012. Statistik Kasus HIV/AIDS di Indonesia. Data. http://spiritia.or.id/Stats/StatCurr.pdf. diakses tanggal 20 Februari 2017.
Hanna Sagala, Sri Suwitri, R. Slamet Santoso. 2013.Implementasi Kebijakan Penanggulangan HIV dan AIDS di Jawa Tengah (Kajian Peraturan Daerah Provinsi Jawa Tengah Nomor 5 Tahun 2009. Jurnal Penelitian.http://www.fisip.undip.ac.id, diakses tanggal 20 Februari 2017.
Harahap, Syaiful W. 2012. Penanggulangan HIV/AIDS di Jayapura, Papua, Tidak Konkret.Artikel. http://regional.kompasiana.com/2012/01/28/penanggulangan-hivaids-di-kab-jayapura-papua-tidak-konkret/,diakses tanggal 20 Februari 2017
Junaidi. 2013. Implementasi Kebijakan Penanggulangan Hiv/Aids OlehKomisi Penanggulangan Aids (Kpa) Di Kota Pontianak. Volume 2 Nomor 1. Jurnal Penelitian. http://jurnalmahasiswa.fisip.untan.ac.id, diakses tanggal 20 Februari 2017.
Kusuma, Aji. 2014. Analisis Implementasi Kebijakan Publik. Artikel. http://azizkusumaaji.blogspot.co.id/2014/10/analisis-implementasi-kebijakan-publik.html, diakses tanggal 20 Februari 2017.
Mangimbo, dkk. 2015. Analisis Implementasi Kebijakan Program Pencegahan Dan Penanggulangan Hiv/Aids Di Komisi  Penanggulangan Aids Provinsi Sulawesi Utara. Universitas Sam Ratulangi, Manado.
Mufidah. 2012. Penanggulangan Hiv/Aids Melalui Jejaring Antar Lembaga Berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Malang Jawa Timur Nomor 14 Tahun 2008. Jurnal Pendidikan Islam. Vol. 2 Nomor 1 April 2012. Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Syarifviddin Wonorejo – Lumajang.
Ni’mal Baroya, Sulistiyani. 2008. The Implementation Of Hiv & Aids Prevention And Tackling Policy In Jember. Jurnal. http://kesmas.unsoed.ac.id/sites/default/files/file-unggah/Ni'mal%20Baroya-23.pdfdiakses tanggal 20 Februari 2017.
Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan. 2014. Ringkasan dokumen kebijakan HIV dan AIDS dalam sistem kesehatan. Fakultas Kedokteran Gajah Mada.
Winarno, Budi. 2008. Kebijakan Publik: Teori dan Proses. Media Pressindo: Jakarta.

No comments:

Post a Comment

Metode Pelaksanaan Bangunan

 LINGKUP PEKERJAAN Lingkup pekerjaan yang akan dilaksanakan yakni : I                PEKERJAAN PERSIAPAN II               PEKERJAAN TANAH DA...