DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
Latar belakang
BAB II
PEMBAHASAN
A. MAKNA DAN KONSEP TAFSIR KONTEKSTUAL
B. TOKOH TAFSIR KONTEKSTUAL
C. METODOLOGI TAFSIR KONTEKSTUAL
D. CONTOH PENAFSIRAN
Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
Latar belakang
Al-Quran merupakan kitab suci umat Islam yang selalu relevan sepanjang masa. Relevansi kitab suci ini terlihat pada petunjuk-petunjuk yang diberikannya kepada mereka dalam seluruh aspekkehidupan. Inilah sebabnya usaha-usaha untuk memahami Al-Quran dikalangan umat Islam selalu muncul di permukaan, selaras dengan kebutuhan dan tantangan yang mereka hadapi.[1][1]Dewasa ini terdengar santer tentang gagasan-gagasan mengenai rekonstruksi total atas warisan kesejarahan umat Isalam. Timbulnya gagasan semacam ini tentu saja berkaitan erat dengan ketidak mampuan warisan kesejarahan Islam dalam menghadapi tantangan-tantangan masa kini. Tetapi rekonstruksi yang dikehendaki itu harusnya berangkat dari Al-Quran. Hal ini tentunya membutuhkan perangkat metodologis yang memadai untuk memahami pesan Kitab Suci tersebut. Sebab sejauh ini kaum muslim belum mengembangkan suatu metodologi yang sistematis dan belum dapat berlaku adil terhadap Al-Quran.[2][2]
Allah mewahyukan kitab suci Al-Quran sebagai sumber hukum dan petunjuk serta menjelaskan sistem yang komperensif dan metode yang praktis bagi kehhidupan. Al-Quran menjelaskan segala sesuatu yang esensial bagi semua manusia. Manusia perlu pengetahuan transendental seperti halnya perlu pengetahuan metafisika untuk mencapai kesempurnaan dan makna hidup serta inspirasi dalam hidup yang singkat ini. Ukuran dari kesempurnaan dan ketinggian hidup seseorang merupakan objek utama dalam hidup. Hal tersebut mendidik manusia bagaimana cara mencapai dan meningkatkan martabat sebagai khalifahdi Bumi untuk mendapkan kesejahteraan dan keselamatan. Manusia akan menjalani hidup yang lebih santai, nyaman dan berwibawa serta mulia disebabkan ketaatan mereka dalam menjalankan ajaran-ajaran Al-Quran. Seterusnya Al-Quran berisi aturan yang menyatkan dan memadukan manusia untuk memperoleh keamanan dan kesentosaan, keadaan itu merupakan kebutuhan spritual yang tidak diragukan lagi.[3][3]
Setiap orang yang ingin mencapai tujuan tentu akan berhasil berhasil dan sukses dalam mencapai tujuan tersebut asalkan menempuh jalan melalui ”pintu-pintu” dan cara-cara yang sesuai. Allah SWT berfirman: “Dan masuklah kerumah-rumah itu dari pintu-pintunya (QS Al-Baqarah :189).[4][4] Semakin sulit dan besar jalan atau tujuan yang hendak ditempuh dan di capai, semakin jelas pula kebenaran pernyataan tersebut. Terlihat pulala semakin perlu mengikuti aturan dan metode untuk mencapai tujuan yang diinginkan.[5][5]
Pengetahuan tentang kondisi sosial pada masa ayat itu diturunkan merupakan suatu metode kajian yang sangat membantu dalam menafsirkan Al-Quran, apalagi dalam merealisasikannyadengan kondisi sosial ketika ayat-ayat Al-Quran ditafsirkan. Pengetahuan tentang kondisi sosial ketika ayat-ayat Al-Quran ditafsirkan. Pengetahuan tentang kondisi sosial yang dimaksudkan bukan hanya pada dimensinya yang tunggal tetapi juga pada dimensinya yang jamak. Kejamakan dimensi akan membuka ruang alternatif dalam pemecahan masalah-masalah kehidupan sosial.[6][6]
Al-Quran sebagaimana diketahui diwahyukan tidak secara tertulis melainkan secara lisan dengan menggunakan bahasa Arab sebagai bahasa pengantar. Bahasa Arab yang digunakan itu bukanlah bahasa Arab moderen, tetapi bahasa Arab yang berkembang pada masa nabi Muhamad SAW. Namun tidak berarti bahwa bahasa Arab yang digunakan Al-Quran di waktu itu, jauh berbeda dengan bahasa Arab moderen dewasa ini.[7][7]
Akibat diwahyukan Al-Quran secara tidak tertulis, menyebabkan orang-orang Arab pada masa itu tidak mempunyai kesempatan untuk berpolemik. Sekalipun diantara mereka ada yang berusaha menandinginya, tetapi mereka mengalami kegagalan. Cara pewahyuan Al-Quran sama sekali berbeda dengan pembacaan sebuah buku karangan yang berturut-turut dari awal sampai akhir. Al-Quran diwahyukan melalui dialektika sejarah, pertautan momentum dan pergerakan tema sentra kehidupan masyarakat dan dilakukan secara berangsur-angsur selama kurang lebih 23 tahun.[8][8]
Sesuai dengan penjelasan diatas maka pembahasan terkait tafsir kontekstual akan menjadi bagain yang sangat menarik untuk di kaji namun penulis membatasi masalah hanya akan membahas tentang makna dan konsep tafsir kontekstual,Tokoh pemikirnya, metodologi yang digunakan dan contoh penafsirannya.
BAB II
PEMBAHASAN
MAKNA DAN KONSEP TAFSIR KONTEKSTUAL
Menurut Taufik Adnan Amal,[9][9]umat Islam belum mengembangkan suatu metodologi yang sistematis untuk memahami Al-Quran dan bahkan menurutnya umat Islam belum dapat berlaku adil terhadap Al-Quran. Itu disebabkan pemahaman mereka terhadap Al-Quran didasarkan kepada pendekatan gramatikal. Atas dasar itu maka diperlukan suatu tafsir yang sistematis yang berlaku adil terhadap Al-Quran dan menyeluruh. Jika tafsir pertama yang mendapat kritik para pemikir moderen disebut tafsir kontektual maka tafsir alternatif yang diharapkan mengisi kekosongan itu disebut tafsir kontekstual.[10][10]
Istilah “kontekstual”dalam hal ini sebenarnya adalah istilah baru. bukan hanya tidak ada dalam Al-Quran tetapi juga dalam istilah Indonesia. Gagasan itu sendiri lahir dari keprihatinan tentang penempilan tafsir Al-Quran selama ini, yang menurut Fazlur Rahman,[11][11] sebagai penggas tafsir kontekstual, hanya menghasilkan pemahaman yang sepotong. Hal yang menyebabkan demikian adalah kecendrungan yang umum untuk memahami Al-Quran secara ayat per ayat, bahkan kata per kata. Karena itu tafsir-tafsir dari ulama klasik dan pertengahan tidak menghasilkan sesuatu yang bermakna bagi kehidupan secara keselurhan.[12][12]
Kata kunci yang sering kali di gunakan dalam tafsir kontekstual adalah “akar kesejahteraan”. Istilah kontekstual tampaknya diarahkan ke pernyataan tersebut. Konteks yang dimaksud disini adalah situasi dan kondisi yang mengelilingi pembaca. Jadi Kontekstual berarti hal-hall yang bersifat atau berkaitan dengan konteks pembaca. Dalam kamus al-Maurid (Inggris - Arab), contexs diartikan dengan : 1) al-qarinah( indikasi ) atau siyaq al-kalam (kaitan-kaitan, latar belakang “duduk perkara” suatu pernyataan): 2) bi’ah(suasana) muhid (yang meliputi ). Kontekstual diartikan dengan qarini,mutawaqqif’ala al-qarinah (mempertimbangkan indikasi).[13][13]
TOKOH TAFSIR KONTEKSTUAL
Fazlur Rahman dilahirkan pada tanggal 21 September 1919 di Hazara, suatu daerah di Anak Benua Indo-Pakistan yang sekarang terletak di barat laut Pakistan. Wilayah Anak Benua Indo-Pakistan sudah tidak diragukan lagi telah melahirkan banyak pemikir Islam yang cukup berpengaruh dalam perkembangan pemikiran Islam, seperti Syah Wali Allah, Sir Sayyid Ahmad Khan, hingga Sir Muhammad Iqbal. Nama keluarga Fazlur Rahman adalah Malak, namun nama keluarga Malak ini tidak pernah digunakan dalam daftar referensi baik di Barat ataupun di Timur.[14][14]
Fazlur Rahman dilahirkan dalam suatu keluarga Muslim yang sangat religius. Kerelegiusan ini dinyatakan oleh Fazlur Rahman sendiri yang mengatakan bahwa ia mempraktekan ibadah-ibadah keisalaman seperti shalat, puasa, dan lainnya, tanpa meninggalkannya sekalipun . Dengan latar belakang kehidupan keagamaan yang demikian, maka menjadi wajar ketika berumur sepuluh tahun ia sudah dapat menghafal Alquran. Adapun mazhab yang dianut oleh keluarganya ialah mazhab Hanafi.[15][15]
Walaupun hidup ditengah-tengah keluarga mazhab Sunni, Fazlur Rahman mampu melepaskan diri dari sekat-sekat yang membatasi perkembangan intelektualitasnya dan keyakinan-keyakinannya. Dengan demikian, Fazlur Rahman dapat mengekspresikan gagasan-gagasannya secara terbuka dan bebas. Seperti pendapat mengenai wajibnya shalat tiga waktu yang dijalani oleh penganut mazhab Syi’ah, Fazlur Rahman beranggapan bahwa praktek tersebut dibenarkan secara historis karena Muhammad saw. pernah melakukannya tanpa sesuatu alasan.[16][16]
Orang tua Fazlur Rahman sangat mempengaruhi pembentukan watak dan keyakinan awal keagamaannya. Melalui ibunya, Fazlur Rahman memperoleh pelajaran berupa nilai-nilai kebenaran, kasih sayang, kesetiaan, dan cinta. Ayah Fazlur Rahman merupakan penganut mazhab Hanafi yang sangat kuat, namun beliau tidak menutup diri dari pendidikan modern. Tidak seperti penganut mazhab Hanafi fanatik lainnya ketika itu, Ayahnya berkeyakinan bahwa Islam harus memandang modernitas sebagai tantangan-tantangan dan kesempatan-kesempatan. Pandangan ayahnya inilah yang kemudian mempengaruhi pemikiran dan keyakinan Fazlur Rahman. Selain itu, melalui tempaan ayahnya, Fazlur Rahman pada kemudian hari menjadi seorang yang bersosok cukup tekun dalam mendapatkan pengetahuan dari perbagai sumber, dan melalui ibunyalah kemudian ia sangat tegar dan tabah dalam mengembangkan keyakinan dan pembaruan Islam.[17][17]
Pada tahun 1933, Fazlur Rahman melanjutkan pendidikannya di sebuah sekolah modern di Lahore. Selain mengenyam pendidikan formal, Fazlur Rahman pun mendapatkan pendidikan atau pengajaran tradisinonal dalam kajian-kajian keislaman dari ayahnya, Maulana Syahab al Din. Materi pengajaran yang diberikan ayahnya ini merupakan materi yang ia dapat ketika menempuh pendidikan di Darul Ulum Deoband, di wilayah utara India. Ketika berumur empat belas tahun, Fazlur Rahman sudah mulai mempelajari filsafat, bahasa Arab, teologi atau kalam, hadis dan tafsir.
Setelah menyelesaikan pendidikan menengahnya, Fazlur Rahman kemudian melanjutkan pendidikannya dengan mengambil bahasa Arab sebagai kosentrasi studinya dan pada tahun 1940 ia berhasil mendapatkan gelar Bachelor of Art. Dua tahun kemudian, tokoh utama gerakan neomodernis Islam ini berhasil menyelesaikan studinya di universitas yang sama dan mendapatkan gelar Master dalam bahasa Arab. Menurut Amal, ketika telah menyelesaikan studi Masternya dan tengah belajar untuk menempuh program Doktoral di Lahore, Fazlur Rahman pernah diajak oleh Abul A’la Mauwdudi, yang kelak menjadi “musuh” intelektualitasnya, untuk bergabung di Jama’at al Islami dengan syarat meninggalkan pendidikannya.[18][18]
Pada tahun 1946, Fazlur Rahman berangkat ke Inggris untuk melanjutkan studinya di Oxford University. Keputusannya untuk melanjutkan studinya di Inggris dikarenakan oleh mutu pendidikan di India ketika itu sangat rendah. Dibawah bimbingan Profesor S. Van den Berg dan H A R Gibb, Fazlur Rahman berhasil menyelesaikan studinya tersebut dan memperoleh gelar Ph. D pada tahun 1949 dengan disertasi tentang Ibnu Sina. Disertasi Fazlur Rahman ini kemudian diterbitkan oleh Oxford University Press dengan judul Avicenna’s Psychology.[19][19]
Selama menempuh pendidikan di Barat, Fazlur Rahman menyempatkan diri untuk belajar perbagai bahasa asing. Bahasa-bahasa yang berhasil dikuasai olehnya diantaranya ialah Latin, Yunani, Inggris, Jerman, Turki, Arab dan. Penguasaan perbagai bahasa ini membantu Fazlur Rahman dalam memperdalam dan memperluas cakrawala keilmuannya (khususnya studi keislaman) melalui penelusuran perbagai literatur.
Setelah menyelesaikan studinya di Oxford University, Fazlur Rahman tidak langsung ke negeri asalnya Pakistan (ketika itu sudah melepaskan diri dari India), ia memutuskan untuk tinggal beberapa saat disana. Ketika tinggal di Inggris, Fazlur Rahman sempat mengajar di Durham University. Kemudian pindah mengajar ke Institute of Islamic Studies, McGill University, Kanada, dan menjabat sebagai Associate Professor of Philosophy sampai awal tahun 1960. Menurut pengakuan Fazlur Rahman, ketika menempuh studi pascasarjana di Oxford University dan mengajar di Durham University, konflik antara pendidikan modern yang diperolehnya di Barat dengan pendidikan Islam tradisional yang didapatkan ketika di negeri asalnya mulai menyeruak. Konflik ini kemudian membawanya pada skeptisisme yang cukup dalam, yang diakibatkan studinya dalam bidang filsafat.[20][20]
Setelah tiga tahun mengajar di McGill University, akhirnya pada awal tahun 1960 Fazlur Rahman kembali ke Pakistan setelah sebelumnya diminta bantunnya oleh Ayyub Khan untuk membangun negeri asalnya, Pakistan. Menurut, permintaan Ayyub Khan kepada Fazlur Rahman ialah bertujuan untuk membawa Pakistan pada khittah berupa negara yang bervisi Islam Selanjutnya pada tahun 1962, Fazlur Rahman diminta oleh Ayyub Khan untuk memimpin Lembaga Riset Islam (Islamic Research Institute) dan menjadi anggota Dewan Penasihat Ideologi Islam (The Advisory Council of Islamic Ideology). Motivasi Fazlur Rahman untuk menerima tawaran dari Ayyub Khan dapat dilacak pada keinginannya untuk membangkitkan kembali visi Alquran yang dinilainya telah terkubur dalam puing-puing sejarah.[21][21]
Hidup dan Karyanya
Pemikiran Fazlur Rahman dapat dibagi menjadi tiga fase atau periode, yakni periode awal, periode Pakistan, dan periode Chicago. Periode pertama belangsung sekitar dekade 50-an dan pada periode ini Rahman hanya menghasilkan karya-karya yang besifat historis, seperti Avicenna’s Psycology (1952), Avicenna’s De Anima, dan Propecy in Islam: Philosophy and Orthodoxy (1958). Melalui ketiga buku Rahman ini akan terlihat jelas concern pemikirannya, yakni kajian historis murni. Namun demikian, kajian yang dilakukan Rahman pada buku yang disebut terakhir mempengaruhi pandangannya tentang proses pewahyuan kepada nabi Muhammad saw.
Periode Pakistan merupakan tahapan kedua dari perkembangan pemikiran Rahman yang berlangsung sekitar dekade 60-an. Berbeda dengan periode pertama yang cenderung pada kajian historis dari pemikiran Islam, concern Rahman pada periode ini mengalami perubahan yang radikal, yakni pada kajian-kajian Islam normatif. Adapun faktor-faktor yang melatarbelakangi perubahan concern pemikiran Rahman ini ialah.
1) Adanya kontroversi yang akut di Pakistan antara kalngan modernis disatu pihak dan kalangan tradisionalis dan fundamentalis di lain pihak. Kontroversi ini bermuara pada definisi Islam untuk negeri Pakistan ketika itu.
2) Kontak yang intens dengan Barat ketika menetap di sana, sangat berarti dalam penyadaran dirinya pada hakikat tantangan Islam pada periode modern.
3) Posisi penting sebagai Direktur Lembaga Riset Islam dan anggota Dewan Penasehat Ideologi Islam Pemerintah Pakistan, yang kemudeian mendorong Rahman untuk turut aktif dalam meberikan definisi Islam bagi Pakistan dari kalangan modernis.
Walaupun belum ditopang oleh metodologi yang sistematis, pada periode ini Rahman sudah mulai melakukan kajian Islam normatif dan terlibat dalam arus pemikiran Islam. Selain itu, Rahman terlibat pula secara intens dalam upaya-upaya menjawab tantangan-tantangan serta kebutuhan-kebutuhan masyarakat Muslim kontemporer dengan cara merumuskan kembali Islam. Adapun pada periode ini, pemikiran Rahman dicurahkan dalam memenuhi tugasnya dalam merumuskan ajaran Islam yang disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat Pakistan. Keterlibatan Rahman dalam arus pemikiran Islam dapat ditandai oleh beberapa artikel yang ia tulis pada jurnal Islamic Studies pada bulan Maret 1962 hingga Juni 1963.
Mutiara-mutiara pemikiran yang berhasil dihasilkan oleh Rahman pada periode ini diantaranya Islamic Methodology in History (1965), dan Islam (1966). Buku yang disebut pertama merupakan kumpulan dari beberapa tulisannya yang dipublikasikan di jurnal Islamic Studies. Artikel-artikel dalam buku ini ditulis dengan bertujuan untuk memperlihatkan, pertama, evolusi historis dari aplikasi keempat prinisp pokok pemikiran Islam, yakni Alquran, Sunnah, ijtihad, ijma’. Kedua, perranan aktual dari prinsip-prinsip tersebut bagi perkembangan Islam.[22][22]
METODOLOGI TAFSIR KONTEKSTUAL
Fazlur Rahman sejak mulai merintis metodologi tafsirnya memang telah menekankan pentingnya memahami kondiri-kondisi aktual masyarakat Arab ketika Al-Quran diturunkan dalam rangka menafsirkan pernyataan-pernyataan legal dan sosio ekonominya. Metode tafsir yang di kembangkan rahman dikenal dengan sebutan gerakan ganda penafsiran ( double movement).[23][23]Teori gerakan ganda penafsiran ini dimulai dari dua langkah: langkah pertama, memuat dua cara pertama, mencari makna dari pernyataan al-Qur’an dengan mengkaji situasi historis dan problem historis dimana pernyataan itu merupakan jawaban. Yang dimaksud dengan teori ini adalah al-Qur’an haris di lihat dalam situasi kelahirannya, tentunya melalui realitas dimana ayat al-Qur’an diturunkan dan sebab-sebab apa ayat al-Qur’an turun. Kedua, menggeneralisasikan pernyataan yang bermula dari yang partikular, dari situasi dan asbabunnuzul masing-masing ayat, sebagai pernyataan yang bersifat universal. Dalam hal ini yang di cari adalah nilai-nilai etisnya yang bersifat universal.[24][24]
Langkah kedua, dimulai dari hal-hal yang bersifat universal yang dicapai dari langkah pertama di atas kepada hal-hal yang bersifat partikular dalam situasi kekinian dimana dan kapan al-Quran hendak diberlakukan. Tujuan ini mensyaratkan seseorang pemikir untuk mengetahui bukan saja aspek tekstual ayat al-Quran tetapi juga situasi kekinian yang partikular, sehingga ketika mempraksiskan yang universal didalam partikularitas kekinian tidak menemui jalan buntu.
Hanya dengan cara inilah menurut Fazlur Rahman merupakan suatu apresiasi yang sejati terhadap tujuan-tujuan al-Quran dan sunnah yang di capai. Aplikasi pendekatan sejarah dalam gerakan ganda penafsiran ini telah membaut Fazlur Rahman menekankan pentingnya pembedaan antara tujuan dan ideal moral al-Quran dengan ketentuanlegal spesifiknya. Ideal moral yang dituju oleh al-Quran lebih pantas untuk diterapkan ketimbang ketentuan legal spesifiknya. Contohnya seperti masalah poligami dan perbudakan, fazlur Rahman mengungkapkan bahwa ideal moral yang dituju al-Quran adalah monogami dan emansipasi budak. Sementara penerimaan al-Quran terhadap kedua pranata tersebut secara legal dikarenakan kemustahilan untuk menghapusnya dalam seketika.
Lebih lanjut Fazlur Rahman mengatakanBagian dari tugas untuk memahami pesan al-Quran sebagai sebuah kesatuan adalah mempelajarinya dengan sebuah latarbelakang. Latar belakang langsungnya adalah aktifitas nabi sendiri dan perjuangannya selama kurang lebih dua puluh tiga tahun di baawah bimbingan al-Quran. Kaarena perjuangan Nabi sendirilah yang sesungguhnya boleh memperoleh sebutan sunnah, maka penting untuk memahami sebaik mungkin keadaan Arab pada awal penyebaran Islam. Sebab akktifitas Nabi mensyaratkan adanya keadaan tersebut. Dengan demikian adat istiadat ,pranata-pranata dan pandangan hidup orang orang Arab pada umumnya menjadi sangat penting untuk memahami aktifitas Nabi. Situasi di Mekkah khususnya, segera sebelum islam datang juga membutuhkan suatu pemahaman yang mendalam. Suatu usaha harus di lakukan tidak hanya untuk memahami agama Arab pra Islam, tetapi juga pranata-pranata sosial, kehidupan ekonomi dan hubungan-hubungan politik mereka. Peran penting suku Quraisy, suku yang sangat kuat dan nabi berasal darinya serta pengaruh kekuasaan regional ekonomisnya dikalangan orang-orang Arab harus di pahami. Tanpa memahami hal-hal itu, usaha untuk memahami pesan al-Quran secara utuh mmerupakan sebuah pekerjaan yang sia-sia.[25][25]
Telah menjadi sunnatullah bahwa Allah mengutus setiap rasul dengan menggunakan bahasa kaaumnya, yang demikian agar komunikasi antara mereka berjalan dengan sempurnah, sesuai dengan firmannya dalam surat Ibrahim ayat 4 yaitu”Dan kami tidak mengutus seorang rasul pun melainkan dengan bahasa kaumnya, supayai dia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka”
Kitab yang di turunkan kepadanya juga dengan bahasa kaumnya. Apabila bahasa Muhammad SAW bahasa Arab maka kitab yang diturunkan kepadanyapun tentu dalam bahasa Arab sesuai dengan fifmannya dalam surat Yusuf ayat 2 ”Sesungguhnya kami menurunkan berupa Al-Quran dengan berbahasa Arab agar kamu memahaminya”[26][26]
CONTOH PENAFSIRAN
Berkaitan dengan penafsiran kontekstual, ada contoh yang bisa diungkap di sini. Al-Bukhari meriwayatkan dari ‘Abd Allah ra.: “Kami ikut ambil bagian dalam perang-perang suci (jihad) bersama Rasulullah saw. dan kami tidak membawa istri-istri kami. Maka kami berkata (kepada Nabi saw.), “Haruskah kami mengibiri diri kami?” Nabi saw. melarang kami melakukan (pengibirian) itu dan mengizinkan kami menikahi seorang perempuan (secara temporer) bahkan pun dengan hanya memberinya sehelai pakaian (sebagai mahar). Kemudian Nabi saw. membacakan ayat berikut: “Hai orang-orang yang beriman! Janganlah (kalian) haramkan tayyibah (yang baik-baik) yang dihalalkan Allah kepadamu (QS. al-Ma`idah 5: 87).” [27][27]
Konteks hadis tersebut jelas pada saat perang. Padahal Ibn Kathir dalam Tafsir al-Qur`an al-’Adzim menukil beberapa riwayat asbab al-nuzul ayat ini yang seluruhnya seputar meninggalkan kenikmatan duniawi yang berupa makanan, minuman, pakaian, dan kebutuhan seksual untuk fokus beribadah kepada Allah , dan tidak ada kaitannya dengan perang. Bisa jadi hadis ini merupakan salah satu penafsiran kontekstual Rasulullah saw. atas ayat 87 surat al-Ma`idah guna memecahkan persoalan pengibirian dan pernikahan pada saat perang. Asumsi ini berdasarkan pada penempatan al-Bukhari (194-256 H) terhadap hadis ini pada kitab al-tafsir dalam Sahih-nya.[28][28]
Bila hadis tersebut disepakati sebagai penafsiran kontekstual Rasulullah saw., maka ada beberapa catatan penting yang perlu diberi perhatian lebih. Pertama, berdasarkan hadis itu dan beberapa riwayat asbāb al-nuzul yang dinukil oleh Ibn Kathir (705-774 H) substansi penafsiran kontekstual Rasulullah saw. masih berkaitan dengan substansi asbab al-nuzul yaitu kebutuhan seksual yang halal dan tidak mengganggu ibadah yang berupa jihad. Kedua, Rasulullah saw. memperhatikan kondisi psiko-sosiologis sebagian umatnya dalam menafsirkan ayat al-Qur`an. Ketiga, dua catatan sebelumnya merupakan bukti bahwa penafsiran kontekstual sudah ada sejak masa Rasulullah saw. disamping perbedaan sikap beliau dalam memberikan keputusan terhadap sebuah persoalan dengan dua pemecahan yang menunjukkan fleksibilitas syariah Islam.[29][29]
Setelah Rasulullah saw. wafat, Abu Bakar al-Siddiq sebagai penggantinya juga menerapkan penafsiran kontekstual terhadap ayat 60 surat al-Tawbah, yaitu tentang pembagian zakat kepada para mu`allaf yang dibujuk hatinya (al-mu`allafah qulubuhum). Pada zaman Rasulullah saw. mereka masih menerima zakat, tetapi Abu Bakr al-Siddiq enggan memberi mereka zakat. Padahal ayat 60 surat al-Tawbah secara jelas menyebut mereka sebagai salah satu dari delapan golongan penerima zakat. Ia enggan memberi zakat kepada Abu Sufyan, ‘Uyaynah, al-Aqra’, dan ‘Abbas ibn Murdash. ‘Umar ibn al-Khattab juga demikian. Ia berkata kepada mereka, “Sesungguhnya Rasulullah saw. memberi kalian (zakat) agar kalian senang terhadap Islam. Adapun sekarang Allah telah menjadikan agama-Nya agung. Kalian tetap memeluk Islam atau bila tidak, maka tidak ada penghalang apa pun antara kami dan kalian kecuali pedang.” Para sarjana fikih madhhab Hanafi memberikan argumentasi lebih gamblang. Menurut mereka, jatah zakat mereka tidak berlaku lagi setelah Rasulullah saw. wafat yang salah satunya karena ‘illat hukumnya sudah tiada, yaitu memuliakan agama dan kebutuhan kepada mereka pada masa awal Islam ketika kondisi umat Islam lemah. Ketika Islam telah mulia, maka kebutuhan itu pun tidak ada lagi.
Selain kasus di atas, ‘Umar ibn al-Khattab membuat beberapa keputusan yang secara lahir tampak bertentangan dengan al-Qur`an dan sunnah. Ia menangguhkan hukuman potong tangan bagi pencuri selama masa kelaparan; dia juga memberlakukan lagi talak tiga (dengan pertimbangan karena disalahgunakan oleh orang-orang Arab setelah penaklukan Syiria, Mesir, dan Persia); dia menghentikan penjualan budak perempuan (ibunya anak-anak, umm al-walad); dia tidak mendistribusikan tanah taklukaan kepada umat Islam (meskipun al-Qur`an dan sunnah mengizinkannya).
Secara lahiriah, beberapa keputusan ‘Umar ibn al-Khattab tersebut bertentangan dengan al-Qur`an. Penangguhan hukum tangan bagi pencuri, misalnya, bertentangan dengan ayat 38 surat al-Ma`idah yang dengan jelas memerintahkan sanksi hukum potong tangan bagi pencuri. Selain itu, sebagaimana dinukil oleh al-Tabari, ia pernah berkata, “Perlakukanlah para pencuri dengan tegas; potonglah tangan demi tangan dan kaki demi kaki.” Pernyataannya ini kontras dengan sikapnya dalam menangani pencuri pada masa paceklik tersebut. Faktor kondisi psiko-sosiologis masyrakat dan kemaslahatan saat itu yang mendorongnya bersikap demikian. Ia tidak berpatokan pada makna lahir ayat, tetapi lebih mengutamakan kemaslahatan sehingga ia perlu mengkontekstualisasikan kandungan ayat tersebut. [30][30]
Sikap ‘Umar ibn al-Khattab di atas selaras dengan pendapat Najm al-Din al-Tufi, seorang sarjana fikih dari madhhab Hanbali, dalam Risalah fi Ri’ayah al-Maslahah bahwa jika teks (nas) dan konsensus (ijma’) bertentangan dengan kemaslahatan, maka wajib mengutamakan kemaslahatan daripada teks dan konsensus dengan cara takhsis dan bayan terhadap keduanya, bukan dengan cara mereka-reka dan membatalkan keduanya sebagaimana pengutamaan sunnah atas al-Qur`an dengan cara bayan. Oleh sebab itu, sikap ‘Umar ibn al-Khattab tersebut bisa dikategorikan sebagai penafsiran kontekstualnya terhadap al-Qur`an. Sebab mustahil tokoh Islam sekaliber ‘Umar ibn al-Khattāb tidak mengetahui adanya perintah potong tangan bagi pencuri. Dengan kata lain, tindakannya yang lebih mengutamakan kemaslahatan daripada teks menunjukkan adanya keterlibatannya dalam aktivitas penafsiran.
Pemaparan bukti-bukti penafsiran kontekstual para tokoh awal Islam di atas kurang sempurna bila belum dilengkapi dengan pemaparan penafsiran kontekstual para sarjana tafsir generasi setelah mereka. Dalam hal ini, penafsiran kontekstual al-Tabari dan Muhammad Rashid Rida juga perlu dielaborasi. Tokoh pertama dikenal sebagai sarjana tafsir ulung klasik yang karya tafsirnya Jami’ al-Bayan ‘an Ta`wil Ayi al-Qur`an diakui secara luas sebagai induk dan rujukan utama tafsir bi al-ma`thur dan mewakili tafsir-tafsir klasik. Sementara itu, tokoh kedua dikenal sebagai sarjana tafsir modern-kontemporer yang berpengaruh besar dalam pemikiran Islam dewasa ini dan karya tafsirnya Tafsir al-Qur`an al-Hakim atau Tafsir al-Manar mendapatkan apresiasi luar biasa sehingga cukup mewakili tafsir-tafsir modern-kontemporer. [31][31]
Al-Tabari mempunyai penafsiran kontekstual seperti dalam penafsirannya terhadap ayat 26 surat al-Nur tentang makna al-khabithat dan al-tayyibat. Sebelum menafsirkannya, ia mengutarakan dua penafsiran para sarjana Muslim yang berbeda tentang makna dua kata ini. Penafsiran pertama, perkataan-perkataan jelek adalah milik kaum laki-laki jelek dan perkataan-perkataan baik adalah milik orang yang baik. Ini adalah penafsiran Ibn ‘Abbās, Mujahid, al-Dahhak, Sa’id ibn Jubayr, Qatadah, dan ‘Ata`. Penafsiran kedua, para wanita jelek adalah milik para laki-laki jelek dan para wanita baik adalah milik para laki-laki yang baik. Ini adalah penafsiran Ibn Zayd. Al-Tabari memilih pendapat pertama dengan argumentasi bahwa ayat-ayat sebelumnya mencela kaum munafik yang berbicara kotor dan menuduh A`ishah, dan ayat ini sebagai penutup tentang orang-orang jelek yang berbicara kotor itu. Argumentasinya menunjukkan ia memperhatikan sabab al-nuzul ayat ini dan hubungannya dengan ayat-ayat sebelumnya. Dengan kata lain, ia menafsirkannya sesuai konteks turunnya ayat tersebut.
Muhammad Rashid Rida mempunyai penafsiran kontekstual menarik tentang konsep Ahli Kitab sebagaimana termaktub dalam ayat 5 surat al-Ma`idah. Ia berpendapat bahwa al-Qur`an menyebut para penganut agama-agama terdahulu, kaum Sabi’in dan Majusi, dan tidak menyebut kaum Brahma (Hindu), Budha, dan para pengikut Konfusius karena kaum Sabi’in dan Majusi dikenal oleh bangsa Arab yang menjadi sasaran awal al-Qur`an, karena kaum Sabi’in dan Majusi itu berada berdekatan dengan mereka di Irak dan Bahrain. Tujuan ayat suci telah tercapai dengan menyebutkan agama-agama yang dikenal (oleh bangsa Arab), sehingga tidak perlu membuat keterangan yang terasa asing dengan menyebut golongan yang tidak dikenal oleh orang yang menjadi alamat pembicaraan itu di masa turunnya al-Qur`an, berupa penganut agama-agama yang lain. Setelah itu tidak diragukan lagi bagi mereka (orang Arab) yang menjadi alamat pembicaraan (wahyu) itu bahwa Allah juga akan membuat keputusan perkara antara kaum Brahma, Budha, dan lain-lain.
Statemen Muhammad Rashid Rida ini merupakan penafsiran kontekstualnya terhadap konsep Ahli Kitab yang selama ini mayoritas sarjana Sunni membatasinya hanya pada Yahudi dan Kristen. Menurutnya, konsep Ahli Kitab juga mencakup Hindu, Budha, dan para pengikut Konfusius karena pada saat turunnya al-Qur`an orang Arab belum mengenal agama-agama tersebut sehingga tidak perlu menyebutnya. Secara tidak langsung, ia mengakui adanya sisi-sisi lokalitas-temporal al-Qur`an yang memerlukan pemahaman dan wawasan mendalam untuk menafsirkannya seperti konsep Ahli Kitab, sehingga seorang penafsir tidak terjebak dalam sisi-sisi lokalitas-temporalnya dan berusaha mengungkapkan maksud kandungan internal dan eksternalnya sesuai dengan konteks di mana ia diturunkan dan ditafsirkan guna merespons tuntutan kehidupan aktual manusia.[32][32]
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dari uraian-uraian di atas yang berbicara mengenai metode tafsir kontekstual, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan antara lain Urgensi metode tafsir kontekstual sama urgensinya dengan keberadaan ajaran Islam. Sebab tafsir kontekstual merupakan upaya untuk membumikan nilai-nilai al Qur’an sehingga tetap sejalan dengan situasi dan kondisi masyarakat atau tafsir kontekstual merupakan upaya untuk mempertahankan semangat shalihun li kulli zaman wa makan.
Tafsir kontekstual merupakan penafsiran al Qur’an yang berusaha menarik dan menggiring segala aspek yang terkait dengan ayat yang ditafsirkan termasuk aspek bahasa, sosio-historis ayat, kondisi masyarakat, dll. Disertai dengan upaya menghalau segala hal yang tidak terkait dengannya. Akan tetapi untuk lebih simpelnya, dapat dikatakan bahwa tafsir kontekstual adalah sebuah pendekatan dalam memahami sebuah ayat yang merupakan penafsiran bukan secara tekstual. Metode ini sangat dibutuhkan untuk menghidupkan nilai keuniversalan al Qur’an sehingga keberadaanya telah nampak sejak masa Rasulullah SAW. Akan tetapi perkembangan tafsir kontekstual ini sangat terkait dengan perkembangan zaman sehingga pola penafsiran di zaman Rasulullah berbeda dengan pola penafsiran sahabat dan generasi-generasi berikutnya.Bentuk-bentuk tafsir kontekstual dapat dilihat dari tiga sisi, pertama, berdasarkan sumber penafsirannya terbagi kepada dua bentuk, yaitu: tafsir kontekstual terpuji dan tafsir kontekstual tercela. Adapun berdasarkan penyajiannya, ia terbagi kepada tiga bentuk yaitu; tafsir kontekstual tahlily, tafsir kontekstual muqarin dan tafsir kontekstual maudhu’i. Sementara tafsir kontekstual ditinjau dari segi pembahasannya terbagi kepada empat macam, yaitu; tafsir kontekstual tahlily, tafsir kontekstual ijmaly, tafsir kontekstual maudhu’i, dan tafsir kontekstual muqarin. Pembagian-pemabagian seperti ini, pada dasarnya merujuk kepada metode tafsir yang ditawarkan oleh Abdul Hayyi al Farmawi, namun bentuk-bentuk tersebut dirinci ke dalam dua segi, penyajian dan pembahasan.
Tafsir kontekstual merupakan sebuah metode yang dianggap paling penting dalam memahami teks al Qur’an. Sehingga metode ini memiliki banyak kelebihan dibandingkan metode tafsir yang lain. Akan tetapi, dengan adanya kelebihan tersebut tidak berarti ia bebas dari keterbatasan-keterbatasan. Hanya saja keterbatasan tersebut sangat dipengaruhi oleh kinerja dan kapabilitas penafsir. Oleh karena itu, titik utama yang menjadi pondasi penilaian kualitas sebuah tafsir kontekstual adalah kesanggupan mufassir memenuhi aturan-aturan penafsiran.
DAFTAR PUSTAKA
Adnan Amal Taufik, Panggabean Rizal Syamsu,”Tafsir Kontekstual Al-Quran”,(Bandung:Penerbit Mizan,1989)
Al-Qaththan Syaikh Manna “Pengantar Studi Ilmu Al-Quran”, ter Ainur Rafiq El-Mazni(Jakarta:Pustaka Al-Kautsar,2011)
Dahlan Abd Rahman,”Kaidah-Kaidah Penafsiran Al-Quran”,(Bandung:Penerbit Mizan,1997)
Quraish Shihab Muhammad,”Wawasan Al-Quran”,(Bandung:Penerbit Mizan,1998)
Shihab Umar,”Kontekstualitas Al-Quran”,(Jakarta:Penerbit Permadani,2003)
Syafrudin U, “Paradigma Tafsir dan Kontekstual” Usaha Memaknai Kembali Pesan Al-Quran (Yogyakarta:Pustaka Pelajar,2009)
Ushama Thameem, “ Metodologi tafsir Al-Quran”, Kajian Kritis, Objektif dan komprehensif, ter. Hasan basri dan Amroeni (Jakarta:Riora cipta,2000)
[1][1]Taufik Adnan Amal dan Syamsu Rizal Panggabean,Tafsir Kontekstual Al-Quran,”Sebuah Kerangka Konseptual”,(Bandung:Penerbit Mizan,1989),15
[2][2]Ibbid
[3][3]Thameem Ushama,Metodologi Tafsir Al-Quran,”Kajian Kritis Objektif dan Komprehensif”, Ter. Hasan Basri dan Amroeni (Jakarta:Riora Cipta,2000),1
[4][4] Abd Rahman dahlan,”Kaidah-Kaidah Penafsiran Al-Quran”,( Bandung:Penerbit Mizan,1998)19
[5][5]Ibbid
[6][6] Umar Shihab,Kontekstualiras Al-Quran,”Kajian tematik Atas Ayat-Ayat Hukum dalam Al-Quran”,(Jakarta:Permadani,2003),7
[7][7]Ibbid
[8][8]Ibbid
[9][9] Syafrudin,”Paragigma Tafsir Dan Kontekstual” Usaha Memaknai Kembali Pesan Al-Quran(Yogyakarta:Pustaka Pelajar,2009),42
[10][10]Ibbid
[11][11]Ibbid
[12][12]Ibbid
[13][13]Ibbid
[15][15]Ibbid
[16][16]Ibbid
[17][17]Ibbid
[18][18]Ibbid
[19][19]Ibbid
[20][20]Ibbid
[21][21]Ibbid
[22][22]Ibbid
[23][23]Syafrudin,”Paragigma Tafsir Dan Kontekstual” Usaha Memaknai Kembali Pesan Al-Quran, 44
[24][24]Ibbid
[25][25]Ibbid, hal 46
[26][26] Syaikh Manna’Al-Qaththan”Pengantar Studi Ilmu Al-Quran” ter Aunur Rafiq El-Mazni(Jakarta:Pustaka Al-kautsar,2011)
[28][28]Ibbid
[29][29]Ibbid
[30][30]Ibbid
[31][31]Ibbid
[32][32] Ibbid
No comments:
Post a Comment