—Dasar
Pemikiran—
Program counter-discourse
(kontra wacana) adalah program yang berusaha menciptakan “a way of thinking
that opposes an institutionalized discourse”. Selama ini wacana kaum
fundamentalis, kaum radikal hinga kelompok-kelompok teroris sudah terlembaga
sedemikian rupa di Indonesia melalui proses yang panjang dalam sejarah sosial
politik negeri ini. Teka-teki yang muncul atas motif apakah yang mendasari
makin maraknya kaum profesional yang berkecukupan tergiur untuk menjadi tentara
Negara Islam Irak dan Suriah (NIIS) atau yang lebih dikenal dengan ISIS (Islamic
State of Iraq and Syria). Hingga saat ini sudah sekitar 518 warga negara
Indonesia diduga begabung dengan ISIS. Menurut catatan Sidney Jones dari Institute
for Policy Analysis of Conflict (IPAC), sudah lebih dari 800
warga negara Indonesia yang sudah berangkat dan bergabung dengan gerakan
“teroris” tersebut di Suriah.
Baru-baru
ini, The Intercept (8 Juli 2015)
mengungkapkan dua pilot Indonesia (Ridwan Agustin alias Ridwan Ahmad
al-Indunesiy dan kapten Tommy Hendratno alias Tommy Abu Al Fatih Hendratno)
yang pernah menjadi aparat keamanan negara dan kemudian menjadi pilot sebuah
maskapai multinasional, kini bergabung dengan ISIS. Banyak yang kemudian
khawatir atas pilihan hidup yang dijalani dua profesional di usianya yang masih
sangat produktif ini. Tidak sedikit pula yang mempertanyakan tentang motif
keduanya ikut bergabung menjadi tentara ISIS, membela sesuatu yang mungkin
dianggap sangat ideal di suatu tempat nun jauh di sana di luar tanah Indonesia.
Bahkan kalangan politisi di dunia Barat cemas dengan rekam jejak mereka yang
sebelumnya pernah bergabung dengan kesatuan keamanan negara yang sangat
disegani di kawasan Asia Tenggara.
Sebelumnya,
seorang anggota polisi aktif di Jambi, Syahputra (alias Abu Azzayn al
Indunesiy) meninggalkan anak istrinya dan berangkat melalui Medan ke Suriah
untuk berjihad melawan apa yang mereka persepsikan sebagai “thoghut” (musuh)
yaitu rezim Bashir Al Asad. Statusnya sebagai anggota kepolisian negara ini
dengan gaji yang berkecukupan tentu mengundang tanda-tanya besar: ada apa di
balik semua ini? Tindakannya meninggalkan anak istri untuk berjihad ke sana,
menceburkan diri ke dalam kancah perang,
tentulah bukan sebuah keputusan rasional biasa. Ada sesuatu yang tak
teridentifikasi dari realitas sosial yang problematik ini.
Semua
kekhawatiran dan kecemasan berbagai kalangan ini sangat rasional. Kaum
profesional dengan basis status sosial ekonomi kelas menengah dan dengan
latar-belakang keluarga yang relatif sakinah ini tentunya mengharapkan jawaban
nyata atas tanya yang membingungkan. Tindakan Syahputra menceraikan istrinya
dan pergi ke tanah asing berperang tentunya tidak bisa dijelaskan dari
perspektif psiko-sosial generik. Pasti ada alasan-alasan teologis atau bahkan
eskatologis dari tindakan yang tidak biasa ini.
Dari
perspektif modern, banyak analisis tentang daya tarik finansial yang ditawarkan
ISIS kepada sesiapa yang berkenan bergabung dengan bala tentara multi
nasionalnya. Peluang ini disambut baik oleh banyak kalangan yang, menurut
perhitungan berbagai ahli, berasal dari kaum marjinal yang berusaha mencari
penghidupan ekonomi yang lebih layak. Bahkan ada juga yang menyebutkan tentang
motif seksual yang melatari keinginan sebagian kecil warga Indonesia untuk
berpartisipasi di dalam perang atau konflik di Suriah dan Irak tersebut. Ketika
maraknya pencekalan terhadap orang-orang yang diduga hendak berangkat ke Suriah
di berbagai bandara di Indonesia dan Malaysia sejak tahun 2013 hingga 2014,
analisis economic interest sebagai motif sangat mendominasi penjelasan
tentang latar-belakang kaum marjinal ini. Hampir tidak ada satu analisis pun
yang mengaitkannya dengan kesadaran ideologis para aktor pendukung ISIS
tersebut. Bahkan Daniel Bell (1960) dan Francis Fukuyama (1996) sangat yakin
bahwa ideologi telah mati dan tak bisa memengaruhi kebangkitan dunia Timur.
Akan tetapi, analisis kepentingan ekonomi, atau motif material apa pun, menjadi
tidak mampu menjelaskan mengapa kaum profesional ikut terlibat dalam konflik
yang sangat mengerikan bagi banyak kalangan.
Dibutuhkan
satu penjelasan yang lain yang secara akademis bisa dipertanggungjawabkan untuk
memberikan jawaban atas fenomena yang sangat mengejutkan dunia ini. Secara
antropologis, D’Andrade dan Strauss (1992) pernah mengajukan motif kultural
yang bersifat ideologis atas fenomena maraknya perlawanan bersenjata dan
konflik komunal di berbagai belahan dunia. Gupta dan Ferguson (1992) mencoba
menjabarkan motif cultural model tersebut sebagai “a sense of loss
territorial root” dimana nilai-nilai nasionalisme dan patriotisme sudah mulai
pudar atau sedang terjadinya “an erosion of the cultural distinctiveness of
place” yang kemudian menghasilkan sebuah produk sampingan dari globalisasi
yang disebut sebagai “deterritorialization of identity” dimana identitas
tidak lagi dilekatkan pada tempat dimana seseorang dilahirkan atau dibesarkan
dalam suatu periode formative age yang sangat menentukan. Identitas yang
berdasarkan lokalitas tergantikan oleh apa yang sejak lama dikenal sebagai
ideologi. Ideologi Islam telah menjadi pilihan bagi dua pilot dan satu polisi
dari Indonesia yang tentunya telah terasuh di bawah ideologi Pancasila dan
digaji oleh hasil pajak warga negara yang hidup di alam demokrasi.
Ridwan
Agustin dan Tommy Hendratno serta Syahputra yang telah mengalami indoktrinasi
ideologi sekuler ini kemudian menggantikannya dengan ideologi yang baru
dipeluknya. Ke manakah nasionalisme dan patriotisme yang sempat diajarkan oleh
negara ini? Nasionalisme dan patriotisme adalah ideologi yang berbasis tempat
dan akan mudah hilang ketika kenangan tentang tempat itu semakin memudar di
tengah kosmopolitnya dunia yang sekuler dan materialistis ini. Edward Said
(1979: 18) menjelaskan situasi ideologi yang menembus batas-batas nasionalitas
dan lokalitas lainnya sebagai “a generalized condition of homelessness”.
Inilah yang mungkin bisa kita sebut sebagai ideologi transnasional keagamaan
yang selama ini menyebar semenjak berakhirnya perang dingin antara Blok
Kapitalis dan Blok Komunis/Sosialis. Kedua blok ideologis ini, oleh kalangan
gerakan Islam transnasional dianggap telah menyebarkan polusi mental dan
mengancam kesucian agama. Konsep “pollution and purity” (Louis Dumont,
1970 [1966]) inilah yang kemudian dikembangkan secara akademis untuk
menjelaskan mengapa pilihan ideologis menjadi rasional di atas pilihan-pilihan
material dan ekonomis lainnya.
Analisis
ideologis menjadi penting ketika penjelasan-penjelasan motif ekonomi,
sosio-psikologis dan politik menjadi lumpuh di hadapan realitas sosial yang
problematik ini (Talal Asad, 1979; Louis Althusser, 1977; George Marcus, 1986;
Maurice Bloch, 1983 dan 1986). Renato Rosaldo (1988) memperlihatkan bagaimana
ideologi tidak lagi mengenal batas-batas tempat dan merasuki ke berbagai
kalangan yang disebutnya sebagai “people without culture” ini. Ideologi
jihadisme yang selama ini dianggap bertanggung jawab atau setidaknya berada di
belakang semua perlawanan berdarah dengan segala kesemrawutan sosiologisnya,
setidaknya bisa memberikan penjelasan tentang fenomena kembalinya ideologi
dalam analisis ilmu-ilmu sosial dan humaniora.
Kecenderungan
semakin materialnya analisis sosial atas berbagai gejala munculnya
gerakan-gerakan perlawanan dan konflik keagamaan haruslah diimbangi dengan
analisis kultural yang memadai. Kembalinya ideologi bagi banyak kalangan dari berbagai
latar belakang sosial ekonomi menunjukkan bahwa faktor non-material jauh lebih
kuat dalam memengaruhi motif seseorang atau sekelompok orang dalam melakukan
tindakan-tindakan perlawanan. Geertz (1973: 220) menyebutkan bahwa ideologi
adalah bagian dari sistem budaya yang memetakan realitas-realitas sosial yang
problematik dan menjadi matriks bagi terciptanya kesadaran sosial. Ideologi
inilah yang mendasari Ridwan Agustin, Tommy Hendratno, Syahputra dan juga Heri
Kustiyanto meninggalkan segala kecukupan duniawi dan membuang semua spirit
in the material world yang pernah mereka anut sebelumnya. Mereka menuju ke
sebuah harapan baru yang masih belum jelas secara material, namun sangat jelas
secara ideologis: janji surga bagi yang syahid dan syafaat bagi keluarga batih
dan kerabatnya.
Matriks
kesadaran sosial ini dibangun oleh kalangan yang merasakan adanya luka moral (moral
torment) yang disebabkan oleh serangan ideologi lain (Joel Robbins, 2004).
Kesadaran sosial keterjajahan inilah yang kemudian menggerakkan mereka untuk
menuntut balas atas luka moral yang masih menganga tersebut. Kesadaran sosial
ini bukan dibangun atas dasar nasionalisme atau etnisitas, melainkan berdiri
secara transnasional sebagai sebuah kesadaran baru yang disebut oleh Michael
Francis Laffan (2003) sebagai Islamic nationhood. Di sinilah konsep ummah
dibangun sebagai sebuah kesadaran sosial yang memengaruhi berbagai orang untuk
berpartisipasi di dalam pembentukan sebuah negara Islam di Suriah dan Irak (ISIS).
Konsep Laffan (2003) tentang spirit
bela negara dalam komunitas Islam ini begitu membahana dan setidaknya menjadi
ketertarikan politik bagi gerakan-gerakan lainnya. Ideologi Islamic
nationhood ini mempengaruhi banyak gerakan-gerakan radikal dan teroris di
berbagai belahan dunia. Mujahidin Indonesia Timur (MIT) di Poso segera
menyatakan sumpah setia (bai’at)
kepada khalifah Al Baghdadi yang memimpin ISIS (2013), juga Boko Haram di
Negeria tersirap dengan peragaan kekerasaan yang diperlihatkan ISIS (2014).
Beberapa faksi mujahidin di Suriah, Afghanistan, Palestina, Lebanon, dan
wilayah-wilayah lainnya menyatakan solidaritasnya untuk mendukung dan bergabung
dengan gerakan yang dianggap sebagai representasi alam bawah sadar mereka untuk
menggentarkan musuh-musuh agama yang telah menorehkan moral torment
terhadap umat Islam selama berabad-abad.
Bahkan
belum lama ini Fakhruddin bin Kasem alias Din Robot, mantan panglima sagoe
Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Julok, Aceh Timur (Serambi Indonesia, 7/9/2015)
menyatakan hasratnya untuk bergabung dengan ISIS. Meskipun hasrat politik yang
tersendat ini dianggap banyak pihak sebagai langkah sensasional saja,
setidaknya realitas sosial problematik ini dipengaruhi oleh merebaknya ideologi
kebangsaan Islam yang diembuskan oleh ISIS. Bayangan akan sebuah tamkin (kekuasaan
riil de facto) negara Islam yang de facto menjadi daya tarik
utama bagi banyak gerakan pemberontakan. Al Qaeda pun kewalahan menghadapi
berbagai serangan ISIS di basis-basis yang sudah mereka rebut sebelumnya di
Suriah, Irak dan Afghanistan. Al Qaeda kalah cepat dalam mewujudkan idealitas
arkaik yang sangat diharapkan banyak kalangan radikal dan fundamentalis Islam,
yaitu keinginan untuk memiliki sebuah tamkin (negara) yang definitif.
Posisi tanzhim (gerakan, kekuasaan de jure)
Al Qaeda perlahan-lahan mulai tergeser oleh ISIS yang rajin mempertontonkan
kebiadaban dan kekerasan sebagai kabar gembira dan peringatan untuk memuaskan
dendam keterjajahan lama di bawah sistem kapitalisme dan neo-liberalisme Barat.
Motif
kultural atau motif ideologis inilah yang mungkin sedang disemai oleh kaum
profesional yang selama ini merasakan hidupnya yang berkecukupan tersebut
belumlah cukup secara teologis dan eskatologis. Ada kekeringan spiritual yang
akut di sana. Ada tujuan-tujuan akhirat yang mendasari tindakan mereka dalam
bergabung dengan ISIS nun jauh di Suriah sana. Negeri yang jauh itu tidak
dipandang akan memberikan kesejahteraan material bagi pemuasan nafsu badaniah,
melainkan perang itu adalah peluang bagi mereka untuk menggapai hasrat teologis
dan eskatologis mereka untuk menuju ke surga dan bercengkerama dengan para
bidadari yang senantiasa perawan. Ini adalah sebuah keyakinan, sebuah ideologi
yang tidak bisa ditukar dengan imbalan material sebesar apa pun. Ideologi
millenarian inilah yang selama ini dicari, dan ketika ditemukan, maka kelezatan
duniawi apa pun akan ditinggalkan dengan serta-merta.
—Tipologi
Wahabisme—
Fenomena merebaknya
benturan mazhab antara Wahabi dan kalangan tradisional Islam telah membuat
banyak orang bertanya-tanya tentang apa itu Wahabi, bagaimana sejarahnya dan
apa bahaya dari mewabahnya aliran atau sekte yang dianggap radikal ini? GNMT
berusaha menjawab pertanyaan tersebut secara sekilas untuk mendudukkan perkara
yang sebenarnya agar tidak terjadi kesalahpahaman yang bisa berakibat fatal.
Agama adalah unsur kebudayaan yang paling sulit diubah (Achmad Fedyani
Saifuddin, 2012) dan pengaruhnya paling sulit dikendalikan (Houston Smith,
1976). Benturan peradaban atau clash
of civilization (Samuel Huntington,
1978) terjadi karena agama. Benturan di dalam peradaban atau clash
within civilization juga terjadi karena agama (Hans Dieter Senghaas, 2002).
Paham keagamaan yang dituduh paling banyak menyumbangkan konflik, perang,
terorisme dan kekerasan komunal adalah, salah satunya, paham Wahabisme. Maka
kita perlu memahami Wahabi secara sosiologis, teologis, sejarah, politik dan
antropologis. Tulisan ini tidak akan bisa menjelaskan semua itu hanya dalam
uraian ringkas beberapa frasa kalimat saja. Tulisan ini lebih merupakan executive
summary untuk kalangan awam atau semacam policy brief untuk yang
super sibuk, yang bahan-bahannya dikumpulkan dari kalangan “Wahabi” sendiri
yang menjadi subyek penelitian saya selama ini.
Pada
dasarnya, Islam itu hanya satu, namun karena perkembangan sejarah, politik,
ekonomi dan budaya, maka Islam ikut berkembang berdasarkan wilayah
persebarannya. Geopolitik Islam kontemporer sekarang ini menjadi tidak lagi
satu, monolitik dan integral seperti pada masa nabi Muhammad SAW. Kini terdapat
banyak kelompok, pecahan, aliran, sekte dan mazhab yang cukup beragam.
Perpecahan pertama adalah pembelahan ideologis yang sangat besar antara (1)
Sunni, dan (2) Syiah. Sunni dan Syiah ini juga terpecah dalam berbagai
kelompok-kelompok atau sekte dan mazhab yang semuanya mengklaim dirinya yang
paling benar. Tidak akan ada kemunculan kelompok baru tanpa klaim kebenaran.
Klaim kebenaran inilah yang menyebabkan terjadinya perpecahan di dalam Islam.
Sunni adalah mazhab besar
kaum pengikut ahlus sunnah wal jamaah yang sangat menghormati Nabi,
berserta seluruh sahabat dan juga keluarganya. Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama
(NU), Persis, Al Washliyah, Al Irsyad, Perti, Masyumi, DI atau NII, JI, MMI,
JAT, JAS adalah termasuk ke dalam kelompok Sunni. Syiah adalah mazhab yang
selektif dalam mengakui sahabat Nabi dan juga keluarganya, mereka hanya
mengagumi Ali ibn Abi Thalib r.a dan anaknya yang kedua, Husen, dari 11 anak
Ali r.a. Karena minoritas, kelompok Syiah di Indonesia hanya sedikit saja dan
organisasinya pun (beserta pecahannya) tak begitu tampil ke permukaan. Antara
Sunni dan Syiah pun sering terjadi bentrokan yang melibatkan kekerasan
berdarah.
Di kalangan Sunni
perpecahan juga banyak terjadi dan membentuk banyak kelompok keagamaan, mazhab,
sekte dan aliran yang sangat beragam. Wahabi adalah salah sebuah mazhab dalam
kalangan Sunni. Baru baru ini di Madura ada sebuah lagu yang berjudul “Wahabi”
yang sangat lugas menggambarkan apa itu aliran yang dianggap radikal oleh
banyak kalangan. Lagu itu menggambarkan Wahabi tidak suka maulid nabi, tidak
mau tahlilan, tidak setuju ziarah kubur, tidak mengakui qunut, dan menganggap
semua orang Islam di luar kelompoknya sebagai sesat, bid’ah atau bahkan kafir.
Stigma buruk sering disematkan kepada Wahabi dan label ekstrim sering ditujukan
kepada kelompok ini. Dalam banyak hal lagu ini ada benarnya, namun tidak semua
Wahabi berperilaku demikian.
Menurut
Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu (1986), Wahabi adalah paham keagamaan yang
dianut kalangan yang tidak suka kepada adat-istiadat dan kebiasaan yang
menyimpang yang mengharap kekuatan leluhur, melanggar tradisi adat, tidak mau
ikut maulidan Nabi, tidak percaya kepada sunan, wali dan keramat-keramatnya,
anti tahyul, khurafat dan bid’ah. Kata
Wahabi adalah nisbat kepada Muhammad bin Abdul Wahab, padahal Abdul Wahab
adalah nama ayahnya yang tidak pernah menulis satu kitab fiqh pun. Nisbat kepada nama Abdul Wahab ini dibuat
oleh kalangan ilmuwan Barat yang biasanya mengambil nama belakang untuk katalogisasi
kepustakaan.
Wahabi
digagas oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab (1703-1792), seorang reformis (mujaddid)
Islam dari Najd, Arab Saudi yang muncul di tengah galaunya ummat Islam yang
lama terasuh di bawah empat mazhab statis (Syafii, Maliki, Hambali dan Hanafi).
Ia adalah seorang mufti dari Daulah Suudiyah, cikal bakal Kerajaan Arab Saudi
yang kita kenal sekarang. Muhammad bin Abdul Wahab menyeru kaumnya kepada
tauhid, hanya berdoa memohon kepada Allah tanpa perantara, tidak mengagungkan
para wali dan orang alim atau ulama atau orang-orang sholeh sebagai orang yang
lebih istimewa dan menolak menyembah kuburan. Wahabi menganut prinsip egaliter
dalam beribadah. Muhammad bin Abdul Wahab ini dianggap sebagai pembuat mazhab
kelima setelah mazhab Syafi’i, Hambali, Hanafi dan Maliki. Muhammad bin Abdul
Wahab ini banyak menulis kitab yang isinya sejalan dengan pemikiran-pemikiran
Ibnu Taymiyyah, Ibnu al-Qayyim,dan Ahmad bin Hanbal. Karena dipengaruhi oleh
pemikiran dari Ahmad bin Hanbal, Wahabiisme ini agak mirip dengan mazhab
Hambali. Pemikiran Wahabi ini kemudian dikembangkan oleh Bin Baz, Utsaymin,
Syek Ahmad Khan, Jamaluddin Al Afghani, Rashid Ridha, Muhammad Abduh, HOS
Tjokroaminoto, SM Kartosoewirjo. Kemudian pada periode pasca kolonialisme,
ideologi Wahabi dikembangkan lebih sistematis lagi oleh Sayyid Qutb, Muhammad
Qutb, Hasan Al Banna, Abul A’la Al Maududi, Yusuf Qardhawi, dan Nashiruddin Al
Albani. Kemudian pada masa revolusi di Afghanistan ideologi ini dikemas rapi
dalam buku-buku karya Abdullah Azzam, Osama Bin Laden, Ayman Al Zawahiry, hingga
ke periode konflik Iraq dan Suriah oleh
Abu Mushab As Shuri.
Wahabi
tidak monolitik, artinya kelompok ini juga terpecah ke dalam beberapa varian
yang satu sama lainnya tidak bersahabat, terkadang saling bermusuhan atau
bahkan juga bisa menjurus ke konflik berdarah. Wahabi sebenarnya adalah istilah
yang generik untuk menyebut atau merujuk kepada kelompok Salafi. Namun karena
kaum tradisional Islam pun mengklaim dirinya sebagai Salafi (yang melaksanakan
tradisi Salafussholeh), maka label Wahabi dipilih agar mudah membedakannya
secara teologis dengan kelompok-kelompok yang bukan Wahabi. Terminologi Wahabi
pun dipakai sebagai euphemisme karena ada kelompok tertentu yang sangat
sensitif dengan nama Salafi. Secara antropologis, terdapat setidaknya tiga tipologi
Wahabisme di Indonesia yang bisa saya amati. Pertama, Wahabi Shururi atau
Wahabi yang dianggap anti maulid, anti azan dua kali, anti tahlil, anti ziarah
kubur dan anti jihad dan sering menganggap masyarakat yang melawan pemerintah
sebagai bughot (pemberontak). Kedua, Wahabi Jihadi, yatu kelompok yang
lebih fokus pada jihad dan berusaha melawan setiap kebijakan pemerintah, juga
memiliki sikap penolakan yang sama dengan kelompok pertama. Wahabi Jihadi di
Indonesia pernah muncul dengan nama Darul Islam (DI) di Jawa Barat tahun 1949
[dengan tokohnya Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo], Jawa Tengah tahun 1950
[Amir Fatah Widjaja Kusuma], Sulawesi Selatan tahun 1951 [Kahar Muzakkar],
Kalimantan Selatan tahun1952 [Ibnu Hajar] dan Aceh tahun 1953 [Daud Beureu’eh],
kemudian Jamaah Islamiyyah (JI) tahun 1992 hingga tahun 2010 yang dituduhkan
kepada Ustadz Abdullah Sungkar dan Abubakar Ba’asyir, Dr Azhari, Noordin Mat
Top, Amrozi, Imam Samudra, Ali Ghufron dan Ali Imron. Terakhir, kelompok Wahabi
Jihadi ini muncul dalam bentuk Tanzhim Al Qaeda Serambi Mekkah (TQSM) dan
banyak aktivisnya yang tertangkap setelah terbongkarnya kegiatan i’dad
(persiapan/latihan perang) di Bukit
Jalin, Aceh Besar pada 2010. Kelompok Wahabi Jihadi ini kini lebih kalem dan
memilih jalur dakwah bil hikmah dalam kegiatan kesehariannya. Ketiga, Wahabi
Takfiri yang suka menuduh orang lain di luar kelompoknya sebagai pelaku
bid’ah atau malah kafir. Kelompok ini ada di Aceh saat ini dan masih setia
dengan bai’at-nya untuk mendukung Negara Islam Irak dan Syam (NIIS) atau
lebih dikenal dengan ISIS.
Di
internal kalangan Wahabi ini sendiri juga terjadi saling tuding dan saling
tuduh sesat menyesatkan. Kalangan Wahabi Shururi sering menuduh Wahabi Jihadi
sebagai bughot. Wahabi Jihadi lebih banyak pasif dan tak bereaksi secara
sosial dan politik. Wahabi Jihadi lebih mengutamakan ibadah-ibadah mahdhoh
(ritual) dan menghindari friksi dengan pihak manapun, aktif dalam berbagai
acara penyadaran tauhid ummat. Sementara kalangan Wahabi Takfiri sangat hiperaktif
dalam dakwahnya dan menuduh banyak kalangan Jihadi sebagai bid’ah, sesat
atau kafir terhadap banyak kelompok karena tidak mau menerima khilafah
Al-Baghdadi di Suriah dan Iraq. Melalui media sosial kelompok Wahabi Takfiri
ini mengumbar seruan-seruannya yang berisik dan penuh ancaman dan tudingan
sembari memperlihatkan sikap intolerannya secara asertif.
Di
tengah kiprah Wahabi dalam konflik komunal di Peristiwa Cumbok di Aceh (1946),
Ambon (1999) Poso (2001) dan lain-lain tempat, juga ada kiprah Wahabi dalam
kekerasan politik di Sulawesi Selatan serta kiprah Wahabi dalam terorisme yang
diperankan oleh Jamaah islamiyyah, Darul Islam, dan lain-lain sebagainya sejak
tahun 2000 hingga tahun 2014. Inilah yang kemudian membuat Wahabi menjadi
paragon of ugly yang sulit untuk dibantah. Seharusnya Wahabi lebih tampil
sebagai paragon of beauty dan mengharumkan agama Islam di mata
dunia. Kejadian-kejadian kekerasan di
Iraq dan Suriah dimana ISIS memperlihatkan kekejamannya yang mengerikan telah
membuat Wahabi sebagai pihak yang dianggap bertanggungjawab secara teologis
atas kekerasan dan kebiadaban ini.
Padahal,
banyak sekali jasa Wahabi dalam membela kaum tertindas di muka bumi ini.
Bantuan kepada pengungsi Rohingya justru datang dari Arab Saudi yang dianggap sebagai
negara Wahabi. Kita haruslah menilai Wahabi ini secara lebih adil sebelum
menjatuhkan stigma atau label radikal, ekstrimis dan teroris kepada semuanya
yang berasal dari mainstream Wahabi. Padahal ada Wahabi yang anti jihad,
yang anti pemberontakan, dan juga Wahabi yang bisa menerima ziarah kubur,
tahlil, maulidan dan juga masih bersedia datang ke kenduri-kenduri untuk
menyantap hidangan.
Di
tengah banyaknya tudingan terhadap kalangan Wahabi yang dianggap telah
mempermalukan agama Islam, namun harus diakui bahwa ada banyak jasa Wahabi
dalam membela kaum tertindas, khususnya yang beragam Islam. Hampir dapat
dipastikan kebanyakan yang dibela oleh Wahabi adalah ummat Islam tanpa
membedakan sekte dan mazhab. Bantuan kemanusiaan yang diberikan kaum Wahabi
menyebar ke seluruh dunia dalam bentuk filantropi zakat, sedekah, qurban dan
pembangunan masjid serta lembaga pendidikan.
—Peluang bagi Program
Kontra Wacana Terorisme—
Gerakan politik Islam
radikal di Indonesia sedang mengalami kerumitan, semacam situasi disorientasi,
dislokasi dan diposisi yang kemungkinan akan mengalami titik-balik (turning
point) lahirnya pemimpin baru yang berbeda atau lebih baik pasca Ustadz
Abdusshomad atau yang lebih dikenal dengan nama Ustadz Abubakar Ba’asyir (ABB).
ABB adalah pemimpin kharismatik terakhir dari kalangan jihadis Indonesia yang
mengalami gonjang-ganjing perpecahan dalam kurun sejarah pergolakan yang
panjang. Perpecahan terakhir yang terjadi setelah pernyataan bai’at-nya
ke Daulah Khilafah Islamiyyah Irak dan Syam pimpinan Abubakar Al-Baghdadi
adalah panggung terakhir (the last frontier) bagi figur yang sangat dikagumi kalangan pergerakan radikal
Indonesia dan sangat disegani oleh para jihadis di berbagai belahan dunia. Pernyataan bai’at ABB ini menyebabkan
munculnya perpecahan (firqah) penghujung dari serangkaian perpecahan
yang terjadi dalam sejarah panjang pergerakan jihad di Indonesia.
Sejarah
pergerakan jihad di Indonesia hampir sama dengan sejarah munculnya kesadaran
nasionalisme Indonesia di akhir abad ke-19. Sejarah pada masa awalnya ini
adalah sejarah modern kontinuitas (continuity) atau estafeta
kepemimpinan jihad di Nusantara. Dimulai dari Hadji Samanhoedi di Surakarta
dengan Sarekat Dagang Islam (SDI) pada tahun 1905, dilanjutkan dengan Hadji Mas
Tirtoadisoerjo, kemudian dibentuk kesadaran yang lebih politis oleh Hadji Oemar
Said atau yang lebih dikenal dengan nama HOS Tjokroaminoto
dengan Sarekat Islam-nya (SI), berlanjut dengan dibentuknya Partij Sjarikat
Islam Indonesia (PSII) dan kemudian Masjoemi (Madjlis Sjoera Muslimin
Indonesia). Kontinuitas gerakan modern jihad ini mencapai puncak
kesempurnaannya ketika Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo memproklamirkan
berdirinya Negara Islam Indonesia (NII) tahun 1949. Sejarah panjang pergerakan
Islam pasca SM Kartosoewirjo selanjutnya adalah sejarah perpecahan panjang dan
rumit.
Pasca
tahun 1962, perkembangan gerakan jihad mengalami titik involusi yang rumit dan
melelahkan dari semenjak Abdul Fatah Wirananggapati, secara asinkronik ke
Tahmid Rahmad Kartoesoewirjo, kemudian Adjengan Masduki, berliku ke Haji Ismail
Pranoto (Hispran), ke Ustadz Abdul Halim atau Abdullah Sungkar hingga kemudian
jatuh ke tangan ABB. Pasca 1962, sejarah gerakan jihad ini tidak dapat disebut
dengan sejarah kontinuitas, juga tidak dapat disebut diskontinuitas karena
masih terus berlangsung dalam proses yang tidak menentu. Sejarah pasca 1962 ini
adalah sejarah perubahan (history of change) atau sejarah perpecahan (history
of split) gerakan jihad Indonesia
yang tidak bisa direkatkan lagi dalam bentuk integrasi. Saya memprediksikan,
titik-balik yang akan terjadi setelah ini adalah titik integrasi yang akan
berdampak pada seluruh komunitas polity Indonesia. Atau akan munculnya
apa yang disebut oleh Clifford Geertz (1972) sebagai revolusi integrasi.
Karl
Jackson (1976) menggambarkan bahwa gerakan politik Islam sangat ditentukan oleh
pemimpin kharismatik. Faktor figur kepemimpinan yang spiritual, kadang mistik
dan bahkan magis menjadi alasan utama bersatunya ummat (Islamic polity)
Indonesia di bawah asuhan para ustadz penggerak kesadaran politik yang bahkan
menyeruak hingga ke alam modern. SM Kartosoewirjo dalam konteks ini adalah
figur kharismatik yang mampu menjadi negarawan. Negara sebagai entitas politik
modern diasuh dalam manajemen ilmiah di bawah Imam Kartosoewirjo hingga NII
menjadi tonggak penting sejarah politik Islam di Indonesia yang mengubah gaya
tradisional ke gaya modern. Adalah
Abdullah Sungkar yang kemudian melanjutkan gaya modern ini ke dalam bentuk
korporasi jihad yang ultra-modern dengan mengadopsi plot dari Al Qaeda di bawah
Osamah bin Laden. Plot rencana Al Qaeda
2020 adalah blueprint korporasi politik radikal Islam yang ikut mempengaruhi
Jamaah Islamiyyah (JI) Indonesia hingga bersublimasi ke gerakan Majelis Mujahidin
Indonesia (MMI).
Kepemimpinan kharismatik
ABB dibangun mulai dari kasus makar yang dituduhkan Orde Baru terhadap Abdullah
Sungkar dan ABB di Jawa Tengah. Para gembong pelanjut Hispran melihat cahaya
spiritual bersinar dari sikap konsisten dan konsekuennya dalam mempertahankan
kebenaran di tengah otoriterisme Orde baru yang terkenal kejam dan bengis.
Kemampuan ABB dalam referensi Islam dan manajemen pergerakan yang berhasil
mengirimkan para pengikutnya ke Moro dan Afghanistan telah membuat ABB dianggap
sebagai titisan atman ilahi. Kharisma tidak bisa bertahan terlalu lama dalam
iklim politik yang terus berubah.
Perpecahan
awal pada tahun 1992, ketika lahirnya Jamaah Islamiyyah setelah terbelahnya
para jihadis Indonesia yang berjihad dan berhasil ikut serta bersama Thaliban
dalam proses futuh (kemenangan) Afghan tahun 1989. Abdullah Sungkar dan
ABB memisahkan diri dari Negara Islam Indonesia (NII) atau Darul Islam (DI) dan
restart dari entitas awal, Jama’ah Islamiyyah (JI). Sebagamana yang
diakui oleh Nasir Abbas, keberangkatannya ke Afghanistan adalah representasi
dari NII dan, oleh karenanya, futuh Afghan adalah partisipasi politik kaum
jihadis Darul Islam di pentas global. JI
kemudian berjalan sendiri karena marasa NII telah dibajak secara ashobiyyah
oleh puak tradisional di Jawa Barat. Dalam perkembangan selanjutnya, JI menjadi
mitra politik tunggal Al Qaeda di Indonesia, bahkan Asia Tenggara. Terpaan
terorisme telah menjadikan JI sebagai organisasi tertutup dan terpaksa menyelam
di kedalaman samudra harakah jihad yang tersembunyi. Tertangkapnya beberapa
mujahidin dan juga para syahid menjadikan JI mati suri. Pengakuan ABB yang
menolak kesaksian Faiz Bafana di persidangan Bom Bali menjadi titik didih
perpecahan korporasi jihad JI yang sudah dibangun lama di negeri pengasingan,
Malaysia. Korporasi jihad ini kemudian dikayuh oleh Dr Azhari dan Noordin M Top
dengan biduk yang berbeda dan bertahan hingga kini dalam situasi yang nanar.
Perpecahan
Kedua, semenjak berdirinya Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) tahun 2000. MMI
adalah organisasi yang mencoba memberikan napas bagi JI yang sudah mati suri di
awal millenium ini. ABB terangkat ke permukaan dan muncul secara sangat notorious
di dalam sorotan mata dunia. Selama satu dekade berada di atas biduk baru yang
penuh semilir angin dakwah yang penuh keterbukaan dan reformasi, ABB tetap
konsisten hingga pada suatu waktu ia tidak menyukai sistem politik internal MMI
yang dianggapnya mengadopsi sistem Yahudi. Perpecahan pun membasahi pipi para
mujahidin yang terpuruk dalam sikap tawadhu’ dan hanya berani bertahan dalam
perlawanannya terhadap sosok kharismatik ABB.
Perpecahan
ketiga, ketika berdirinya Jamaah Ansharut Tauhid tahun 2010. Perpecahan ini
membuat komunitas jihad Indonesia hanya tertinggal beberapa gerbong saja.
Dengan gerbong yang sedikit, laju JAT semakin dekat ke tujuan sementara:
persinggahan di penjara. JAT semakin terjerumus ke lembah radikalisme dan
intoleransi yang semakin menjauhkannya dari publik Islam yang sudah mulai begah
dengan gaya keras dan mulai mengambil posisi sebagai konstituen partai politik
dan sesekali menghirup segarnya udara demokrasi. Situasi yang dialami JAT dari
tahun 2010 hingga 2014 ini adalah situasi jihad deadlock
yang memperlihatkan disorientasi, dislokasi dan disposisi yang sangat parah
bersamaan dengan mendekamnya ABB di penjara Nusa Kambangan. Penjara tidak
selamanya merupakan tempat yang bisa memberikan pengaruh simpati pendukung,
justru terkadang malah bisa menyebabkan
munculnya friksi dan faksionalisme. Apalagi ditemani oleh Aman
Abdurrahman yang banyak menyumbangkan ide-ide over-radikal paham Wahabi yang
kemudian menyebabkan keruntuhan kharisma ABB hingga ke titik nadir.
Perpecahan
keempat, ketika munculnya isu ISIS (Islamic State of Iraq and Syam) dan
pernyataan sumpah setia ABB kepada figur Abubakar Al-Baghdadi yang
mengakibatkan pecahnya JAT dan lahirnya JAS (Jamaah Ansharus Syariah) di bawah
pimpinan Ustadz Achwan dan Abu Tholut (Imron Rosyidi). ABB sudah ditinggalkan
oleh para pembela setianya, bahkan anaknya pun terpaksa terlontar keluar dan
membentuk ikatan baru dari serpihan-serpihan yang terbuang. Perpecahan ini
adalah perpecahan terakhir sebuah organisasi jihad di Nusantara yang tidak akan
mungkin bisa terpecah lagi setelahnya. Ibarat gelas yang jatuh berkeping-keping,
maka perpecahan ini adalah keping terkecil yang jikapun dilempar lagi tidak
mampu untuk berpecah lagi (least ability to split). Saya memprediksikan,
setelah perpecahan ini akan mengalami suatu titik balik dimana revolusi
integrasi adalah sesuatu yang sangat historical inevitability.
Keniscayaan sejarah ini tentu membutuhkan analisis lebih komprehensif tentang ausnya perpecahan
gerakan jihad di Nusantara hingga futuh Indonesia terjadi dan tibanya
ajal Pancasila.
Kondisi keruntuhan
kepemimpinan kharismatik jihad Indonesia ABB akan merupakan situasi vacuum
of leadership yang akan membuka peluang bagi tokoh-tokoh muda yang sudah
lama merajut impian integrasi umat Islam secara politik. Tokoh-tokoh muda
radikal Islam di negeri ini tersisa hanya sedikit. Tokoh dengan kemampuan
agamis dan manajemen pergerakan modern yang mungkin akan muncul adalah Ustadz
Irfan S. Awwas dan Imron Rosyadi (Abu Tholut). Tokoh muda lainnya dianggap
tidak memiliki kapasitas keislaman yang memadai meski dengan visi politik yang
berlebih. Tokoh mudah radikal Islam Indonesia yang lain umumnya lebih
bergelimang dengan asupan demokrasi dan mengepul dalam asap kapitalisme dan
liberalisme.
Filsuf Perancis dan sejarawan sosial
Michel Foucault (1980) berpendapat bahwa setiap wacana sosial yang melibatkan
dihasilkan politik kebenaran klaim bertemu counter-wacana yang menantang
legitimasi wacana asli. Kebenaran untuk Foucault sering tampaknya tidak lebih
dari hasil perjuangan antara wacana bersaing. Dengan demikian daya menghasilkan
atau menciptakan pengertian tentang 'kebenaran'. Hal ini mengingatkan tetapi
juga berbeda dari ide bahwa 'mungkin benar', sebuah ide yang mendengarkan
kembali ke Plato. Di dalam buku Republik, Thrasymachus berpendapat bahwa
gagasan keadilan dalam kepentingan penguasa, yang seringkali tidak adil.
Foucault, bagaimanapun, tampaknya hampir tak peduli dengan membuat pertimbangan
nilai, setidaknya pada tingkat teoretis, dan lebih peduli untuk hanya
menguraikan pandangannya tentang apa yang ada.
Sementara beberapa mempertahankan
bahwa ide Foucault kontra-wacana membawa pemikirannya sejalan dengan dialektika
Hegelian, Foucault sendiri berpendapat terhadap perbandingan seperti itu. Sementara
tesis - antitesis a la Hegelian secara bersamaan muncul dalam kesesuaian
dengan teleologi diusulkan di mana Roh Dunia berlangsung melalui sejarah,
Foucault menunjukkan bahwa kontra-wacana muncul setelah pelaksanaan wacana.
Selain itu, Foucault membayangkan ada, rencana induk grand teleologis
berlangsung seperti dalam pemikiran Hegelian. Sebaliknya, perspektif
poststructural nya terputus-putus dan sebagian besar terbuka.
Dalam arti wacana yang paling
sederhana adalah percakapan, atau informasi. Untuk Michel Foucault adalah
melalui wacana (melalui pengetahuan) bahwa kita diciptakan. Pikirkan cara ini:
Jika benar bahwa kita adalah jumlah dari pengalaman kita (pengetahuan yang kita
hadapi), maka mereka mengendalikan kehidupan awal kami memiliki kekuatan yang
sangat besar. Dalam sebuah keluarga terisolasi, pengetahuan anak tergantung pada
hanya beberapa orang. Dalam arti, mereka beberapa orang menciptakan identitas
anak. anak tidak bisa tahu apa-apa tapi apa yang dikomunikasikan oleh mereka.
Wacana bergabung kekuatan dan pengetahuan, dan kekuatannya berikut dari
penerimaan kasual kita tentang "realitas yang kita disajikan". Jika
identitas kita diciptakan oleh media, karena semakin, pandangan dunia kita
terbatas pada pandangan dunia mereka terisolasi, kaya, individu; kita dibuat
untuk berpikir bahwa kita juga harus memiliki mercedes (sehingga membuat mereka
dalam kontrol lebih kaya). Wacana dibuat dan diabadikan oleh orang-orang yang
memiliki kekuatan dan sarana komunikasi. Mereka yang berada dalam kendali
memutuskan siapa kita dengan memutuskan apa yang kita diskusikan. Semua wacana
bertindak dengan cara ini. Menurut Foucault, kebenaran, moralitas, dan makna
diciptakan melalui wacana. Setiap usia memiliki kelompok dominan unsur
diskursif bahwa orang hidup di tidak sadar. Sehingga wacana di kelas kuliah,
lebih khusus, pada akhirnya akan ide-ide hak istimewa apa yang normal ( moral
"baik" dan "normatif"); dengan menekankan nilai-nilai ini,
pendidikan secara implisit akan meminggirkan mereka yang tidak memegang
nilai-nilai tersebut. Memvisualisasikan wacana sebagai susunan ide dan konsep
di mana dunia dikenal. Jika kita tidak akrab dengan ide, maka kita cenderung
menolak gagasan atau konsep dari tangan, karena kita tidak bisa menggunakan
pengetahuan masa lalu untuk menghantam
konsep itu. Perubahan hanya bisa terjadi ketika elemen kontra-diskursif baru
mulai menerima perhatian luas melalui sarana komunikasi. Perubahan membutuhkan
kepemilikan sarana komunikasi, representasi diri. Wacana tidak pernah
benar-benar "murni;" wacana akan selalu mengandung beberapa ukuran
elemen kontra-diskursif. Dalam pandangan dunia Foucault tidak ada moralitas
mutlak. Moralitas diciptakan melalui penggunaan kekuasaan.
—Tujuan Program—
Program
counter discourse ini bertujuan (1) untuk memantau dan mengumpulkan data
yang akurat dan sebanyak-banyaknya tentang terorisme, radikalisme dan
fundamentalisme di Indonesia dan di beberapa tempat lainnya, mendeskripsikan,
menganalisis dan menginterpretasikan data tersebut untuk lebih memahami dan
gerakan-gerakan, tendensi dan potensi yang mungkin muncul. Program kontra
wacana ini juga akan (2) menerbitkan
berbagai hasil kajian atau penelitian tentang rujukan-rujukan (referensi)
terorisme, radikalisme serta fundamentalisme untuk mendisseminasikan konsep,
gagasan dan teori dalam kerangka ilmu pengetahuan dan untuk kebutuhan praktis.
Dengan menggunakan metodologi counter-insurgency
research dari WF Wertheim dan Christian Snouck Hurgronje, lprogram kontra
wacana ini akan (3) berusaha untuk
memberikan kontribusi dalam bentuk wacana tandingan, rekomendasi aksi, solusi,
model dan metode dalam menangani kasus-kasus terorisme, radikalisme serta
fundamentalisme di Indonesia dengan menghadirkan wacana tandingan (contesting
discourse). Berbagai wacana
tandingan akan disebarkan melalui website (halaman ruang maya dan media
sosial), buku dan pamflet.
—Target Program—
Program kontra wacana ini menyasar
(1) kelompok-kelompok gerakan radikal dan (2) fundamentalis serta (3)
kelompok-kelompok teroris yang ada di Indonesia melalui berbagai website
dan media sosial (telegram ®, whatsApp ®) untuk mengimbangi wacana-wacana yang
sedang mereka perbincangkan: imamah, daulah, khilafah, jihad, isytisyhad,
amaliah jihadiah, bai’at, dll.
—Signifikansi Program—
Program kontra wacana ini sangat
bermanfaat bagi (1) meneguhkan kembali ideologi negara sebagai common-ground
yang lebih rasional dan bisa diterima oleh banyak kalangan ketimbang ideologi
sektarian dari kelompok-kelompok agama yang parokial; (2) juga menjadi program
yang akan mengaktualisasikan kembali sistem demokrasi yang inklusif sebagai alternatif bagi kelompok-kelompok
fundamentalis dan radikal yang cenderung suka berkonflik satu sama lainnya
bahkan (3) menciptakan konflik internal antara mereka sendiri dengan
menghadirkan banyak pemikiran berbagai tokoh yang menjadi rujukan mereka
sendiri. Program ini akan menyerupai konsep “wacana/counter-wacana” yang
terletak di perbatasan antara sejarah budaya dan kritik sastra yang
menggabungkan wawasan teoritis dan praktek semiotika, yang mencoba untuk
menggambarkan fungsi budaya dari teks-teks suci dan profan. Berfokus pada
sejarah negara Perancis selama periode transformasi budaya, sosial, dan politik
yang luar biasa, Richard Terdiman (1989: 221) mengkaji bagaimana wacana-borjuis
yang dominan novel, koran, dan bentuk media massa lain dari ekspresi-dan upaya
intelektual untuk merancang kontra-wacana untuk memeranginya.[1] Bahkan di masa
lalu kontra wacana sudah digunakan sebagai strategi ampuh melawan ideologi yang
mulai menggurita di dalam masyarakat.
—Metodologi Counter
Discourse—
Radikalisme, fundamentalisme dan
terorisme selalu mengikuti suatu pola.[2] Mereka adalah “embattled
forms of spirituality,” yang muncul
sebagai respon terhadap suatu krisis kecurigaan (perceived crisis). Kaum
fundamentalis terlibat dalam konflik dengan musuh-musuh sekular yang dicurigai
membuat kebijakan-kebijakan yang bertentangan secara frontal dengan agama. Kaum
fundamentalis tidak menganggap pertentangan frontal ini sebagai sebuah “arena
bermain” (play ground), melainkan sebuah “medan perang” (battle field)
yang serius, yang bukan sekadar sebuah perlawanan politik konvensional,
melainkan menganggapnya sebagai sebentuk “perang kosmik” (cosmic war)
antara kekuatan-kekuatan yang haq dan kekuatan yang bathil.
Mereka takut terhadap —dan selalu merasa adanya ancaman— kaum kafir untuk
membasmi mereka yang berasal dari kekuatan-kekuatan Barat sekular; maka mereka
berusaha membentengi diri dengan doktrin dan praktek yang pernah hidup di masa
lalu (doktrin dan praktek jihad). Untuk menghindari diri mereka dari
“dunia buruk” dan menutup diri dari kontaminasi “perang kosmik” itu, kaum fundamentalis seringkali mundur dan
menyempal dari mainstream masyarakat untuk menciptakan budaya tandingan
(counter-culture); dan kaum fundamentalis bukanlah kaum yang bermimpi di
siang bolong. Mereka menyerap rasionalisme pragmatis dari modernitas, dan, di
bawah bimbingan para pemimpin kharismatik mereka, menyaring apa yang perlu dari
dunia teknikal untuk membuat rencana
aksi yang seringkali bersifat destruktif.[3]
Kontra wacana berangkat dari situasi
dimana (1) wacana sebagai tesis; dalam pengertian ini kontra wacana akan
kemudian hanya menjadi sisi berlawanan dari ide awal. Ini adalah rasa yang
lebih tua dari wacana kata. (2) wacana sebagai praktik sosial, cara untuk
mewakili dunia, semacam deskripsi cara yang lebih kontemporer menggunakan
wacana sesuai penulis di bidang analisis wacana dan analisis wacana kritis
(misalnya, Potter dan Wetherell karya awal, Fairclough, van Dijk, dll) Dalam
wacana tradisi counter, dipengaruhi oleh Foucault , juga akan menunjukkan sisi
yang berlawanan / versi, tapi lebih bernuansa sejauh bahwa banyak curah keluar
hubungan antara posisi argumentatif dan mengapa studi mereka adalah yang
bersangkutan. Secara khusus mereka mengandaikan bahwa masyarakat adalah
terstruktur dengan wacana; itu terdiri 'cara berbicara' (Michael Foucault) yang
masuk akal dari hal tetapi sering melakukannya dengan cara yang mendominasi,
menindas dan membatasi kemampuan pelaku. Kita tidak bisa tahu di luar bahasa
dan kata-kata yang kita dapat (tidak) menggunakan dalam masyarakat kita,
setelah semua.
Van Dijk berpendapat bahwa kontra
wacana terdiri dari suara tertindas seperti perempuan, imigran dan orang kulit
hitam, dimana wacana dominan terdiri dari orang kulit putih elit, yang kedua
harus dipelajari dalam rangka untuk memecah "pemeliharaan
ketidaksetaraan" ( p.251). Macgilchrist, berikut Laclau & Mouffe,
berpendapat bahwa kontra wacana adalah bagian penting dari upaya terus-menerus
untuk membangun pandangan tertentu sebagai dominan, yang kita secara teratur
mengalami misalnya, melalui debat pada obat-obatan, jenis kelamin, aborsi, dll.
Macgilchrist juga menambahkan bahwa untuk berhasil 'kontra' pandangan 'utama'
dari hari kita, kita perlu tahu dalam hal retorika apa yang 'bekerja' dalam hal
persuasif, yang merupakan tujuan sosial utama bagi mereka yang terlibat dalam
aktivisme, seperti penelitian, amal dan pendidikan.
Jadi dalam sebuah bidang kajian,
counter wacana dapat cukup digambarkan sebagai counter-argumen, tapi lebih
secara teoritis, sebagai argumen yang terletak di dalam konteks sosial budaya
menangani isu-isu tertentu yang dianggap oleh aktivis sebagai bermasalah. Kita
bisa melihat proses ini baik melalui Marxis, lensa feminis atau LGBT ketika
kita berpikir tentang bagaimana suara-suara minoritas advokasi hak-hak,
pengakuan dan sebagainya dalam waktu mengalahkan argumen 'utama' dan bergoyang
opini di dunia barat. Hal yang sama kita melihat pemandangan seperti berjuang
untuk bertahan di tempat lain, atau bahkan akan mundur. Ini adalah perjuangan
diskursif tersirat dalam banyak teori wacana, perlawanan dan perubahan sosial.
Seperti kejadian terungkap, bergeser bolak-balik dapat terjadi dan salah satu dari banyak keindahan bidang
besar ini pekerjaan adalah bahwa hal-hal tersebut dapat dilihat sebagai berlangsung
lancar; 'Kemajuan' dan konsep pencerahan seperti menjadi bagian dari campuran
dan tidak ditinggikan sebagai kebajikan yang saleh. Richard Rorty membuat titik
ini dengan menyatakan bahwa argumen sosial yang lebih kondusif untuk memikirkan
jika mereka dinilai oleh bagaimana kita memandang hasil dalam waktu saat ini
kita hidup di tataran standar abstrak.
Dalam metode yang lebih
sederhana, Foucault menyebutkan bahwa "Rules
are empty are empty in themselves, violent and unfinalized; they are impersonal
and can be bent to any purpose. The successes of history belong to those who
are capable of seizing those rules, to replace those who had used them, to
disguise themselves so as to pervert them, invert their meaning, and redirect
them against those who had initially imposed them; so as to overcome the rulers
through their own rules.”[4] Wacana bisa
digunakan oleh siapapun untuk tujuan apapun untuk menantang sebuah kekuasaan,
bahkan sebuah negara, dengan cara membalikkan makna. Maka, makna jihad,
daulah, khilafah, bai’at, dan lain-lain bisa saja dimaknai secara lain
untuk kepentingan tertentu.
—Proses dan Tahap-Tahap
Program—
Program kontra wacana adalah program
yang mencoba menghadirkan wacana tandingan yang dominan atau terlembagakan
dengan beberapa wacana alternatif. Program ini terdiri dari beberapa kegiatan
prosesual. Kegiatan tersebut berupa: (1) identifkasi wacana asal, dalam bentuk
diskusi tertutup dengan para ahli; (2) menghimpun dan merumuskan interpretasi
alternatif; (3) merumuskan wacana baru (counter-discourse) yang akan mampu
menghantam wacana yang sudah terlembagakan (institutionalized discourse); (4)
membawa wacana tandingan ke domain publik melalui berbagai media (website dan
media sosial); (5) mengevaluasi program dan kegiatan.
—Bentuk-Bentuk Kegiatan
dari Program Kontra Wacana—
Program kontra wacana ini akan
dikemas dalam berbagai bentuk kegiatan yang tidak kentara sebagai sebuah
kegiatan afirmasi politik. Bentuk-bentuk kegiatan tersebut adalah: (1) kegiatan
diskusi ahli secara tematik; (2) kegiatan FGD mengidentifikasi wacana dominan
yang beredar; (3) diskusi perumusan wacana tandingan; (4) publikasi website;
(5) disseminasi melalui media sosial; (6) publikasi buku-buku tematik yang
membahas beragam tema radikal, fundamentalis dan teroris; (7) mengelola perang
wacana secara ilmiah dengan rujukan bibliografis yang lengkap; (8)
menerjemahkan buku-buku klasik karya ulama yang menjadi rujukan; (9)
menerjemahkan buku-buku/kitab kontemporer yang menjadi rujukan para pengikut
aliran fundamentalisme, radikalisme dan terorisme; (10) mendistribusikan Al
Quran; (11) mendistribusikan buku-buku hadist shahih; (12) memberikan beasiswa
bagi anak-anak dari keluarga radikal, fundamentalis dan teroris untuk kuliah di
jurusan-jurusan yang mengenalkan multikulturalisme.
Kegiatan lainnya dapat dirumuskan
dalam bentuk sub-kegiatan atau sub-program yang berdasarkan evaluasi
diperkirakan akan perlu dilakukan.
—Penutup—
Program kontra wacana ini tidak akan
bisa berjalan tanpa dukungan dari berbagai pihak yang mengerti tentang situasi
yang dihadapi oleh masyarakat dan pemerintah. Program ini merupakan program
elaborasi pemikiran dan hati kaum radikal, kaum ekstrem atau kaum militan atau
kaum teroris. Masyarakat menghendaki adanya program nyata untuk memerangi
terorisme yang bersifat straight-forward dan bukan sekedar program yang
bersifat formalistik apalagi yang legalistik. Terorisme muncul dari penafsiran
atas satu wacana yang kemudian dikemas dalam bentuk ideologi oleh
gerakan-gerakan sosial politik keagamaan. Cara mereduksinya pun haruslah
melalui metode penafsiran yang dihadirkan oleh berbagai kalangan (dengan
berbagai rujukan) untuk menghantam ideologi yang dianut oleh gerakan-gerakan
sosial politik keagamaan tersebut. "There are no relations of power without
resistances; the latter are all the more real and effective because they are
formed right at the point where relations of power are exercised; resistance to
power does not have to come from elsewhere to be real, nor is it inexorably
frustrated through being the compatriot of power. It exists all the more by
being in the same place as power ."[5] Bahkan bila perlu, budaya tandingan (counter-culture)
terhadap ideologi radikal dan fundamentalis tersebut mustilah dihadirkan dalam
berbagai bentuk yang mungkin di berbagai domain dan sektor kehidupan.***
[1] Richard Terdiman, Discourse/Counter-Discourse:
The Theory and Practice of Symbolic Resistance in Nineteenth-Century France,
Ithaca: Cornell University Press, 1989.
[2] Martin E. Marty and R.
Scott Appleby (eds), Fundamentalisms Observed, Chicago: University of
Chicago Press, 1991.
[3] Jonathan R. White, Terrorism:
An Introduction, 1991.
[4] Michel Foucault, Language,
Counter-Memory, Practice: Selected Essays and Interviews, ed. with a
preface by Donald F. Bouchard; trans. Donald F. Bouchard and Sherry Simon
(Oxford: Blackwell, 1977), p. 151.
[5] Michel Foucault, Power/Knowledge:
Selected Interviews and Other Writings, 1972-1977, ed. Colin Gordon
(Brighton: Harvester, 1980), p. 142.
No comments:
Post a Comment