BAB I
LATAR BELAKANG
Dalam kehidupan sehari-hari sebagai umat Islam, selain diperintahkan untuk beribadah kita juga diperintahkan untuk
berusaha memenuhi kebutuhan hidup dengan bekerja. Allah SWT tidak menginginkan
hambanya berpangku tangan dan berpasrah diri saja, karena Allah SWT ingin kita
mencari harta untuk menjalani kehidupan. Jika kita tidak bekerja maka kita
tidak akan memliki harta untuk mencari makan, apabila kita tidak makan maka
tidak akan ada tenaga untuk beribadah kepada Allah SWT. Kita juga diperintahkan
oleh Allah SWT untuk mencari pekerjaan dengan cara yang halal dan diridhoi
oleh-Nya.
Dalam Al-Qur’an
dan Hadits sudah sangat jelas mengenai pekerjaan yang baik dan bagaimana cara
kita memperoleh rezeki dengan ridho Allah SWT. Hal ini sangat penting sekali
dibahas, karena semua orang di duna ini pasti membutuhkan sandang, pangan,
maupun papan. Dalam hal ini, pasti setiap manusia akan berlomba-lomba untuk
memenuhi kebutuhan tersebut. Maka dari itu, bekerja sangatlah penting untuk
mendapatkan apa yang dibutuhkan. Tetapi perlu diingat bahwa semua yang telah
kita dapat di dunia ini hanyalah titipan dari Aallah SWT semata.
Bekerja adalah
penyebab utama penghasilan dari harta/benda dan unsur utama pula dalam upaya
memakmurkan diri dan bumi Allah SWT. Kerja dan usaha merupakan cara pertama dan
utama yang ditekankan Al-Qur’an, karena kerja selain sejalan dengan naluri
manusia untuk memiliki sesuatu (Q.S. Ali Imran 3:14).[1]
Dalam bekerja,
manusia harrus memiliki etos dan pendayagunaan akal untuk meringankan beban
tenaga yang terbatas namun meraih prestasi sehebat mungkin. Bilamana manusia
bekerja tanpa etos, moral, dan akal, maka gaya kerja manusia meniru hewan turun
ketingkat kerendahan. Demikian juga manusia yang bekerja tanpa menggunakan
akal, maka hasil kerjanya tidak akan memperoleh kemajuan apa-apa.[2]
Maka dari itu,
dalam kesempatan kali ini kami akan membahas tentang etos kerja, dengan begitu
apabila kita bekerja dengan mengenal etos maka akan mendapatkan hasil yang
lebih baik.
BAB II
SIKAP DAN PERILAKU ETOS KERJA
Etos kerja dalam
bisnis syariah merupakan semangat kerja yang didasari oleh suatu kebiasaan
kerja yang Islami bertumpu pada akhlakul karimah. Dalam budaya Islam, akhlak
merupakan sumber energi batin yang terus menyala dan membawa kita ke jalan yang
lurus.[3]
Bisnis syari’ah
memiliki etos kerja yang merupakan suatu sikap dan perilaku dalam kehidupan
yang didasari oleh kenyakinan yang sangat mendalam. Sikap dan perilaku yang
dimaksud dalam etos kerja bsnis syari’ah tersebut, sebagai berikut:
1.
Menghargai
Waktu
Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam pun telah mengabarkan bahwasanya waktu
adalah salah satu nikmat di antara nikmat-nikmat Allah kepada hamba-hamba-Nya
yang harus disyukuri. Jika tidak maka nikmat tersebut akan diangkat dan pergi
meninggal pemiliknya.
لاَ تَزُوْلُ قَدَمُ عَبْدٍ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
حَتَّى يُسْأَلَ عَنْ أَرْبَعٍ : عَنْ جَسَدِهِ فِيْمَا أَبْلاَهُ وَعَنْ عُمْرِهِ
فِيْمَا أَفْنَاهُ وَعَنْ مَالِهِ مِنْ أَيْنَ اكْتَسَبَهُ وَفِيْ أَيْ شَيْءٍ
أَنْفَقَهُ وَعَنْ عِلْمِهِ كَيْفَ عَمِلَ فِيْه
Artinya:
“Tidak akan bergeser kaki seorang hamba pada hari kiamat sampai ia ditanya
tentang empat perkara; Tentang badannya, untuk apa ia gunakan, tentang umurnya
untuk apa ia habiskan, tentang hartanya dari mana ia peroleh dan dalam hal apa
ia belanjakan, dan tentang ilmunya bagaimana ia beramal dengannya.” (HR.
Tirmidzi, dihasankan oleh Syekh Al Albani).
Waktu
luang adalah salah satu nikmat yang banyak dilalaikan oleh manusia. Maka Anda
akan melihat mereka menyia-nyiakannya dan tidak mensyukurinya. Padahal Rasulullah
shallallahu
‘alaihi wa sallam telah bersabda,
اِغْتَنَمْ خَمْسًا قَبْلَ خَمْسٍ : شَبَابَكَ قَبْلَ هَرَمِكَ وَصِحَّتَكَ قَبْلَ سَقَمِكَ وَغِنَاكَ قَبْلَ
فَقْرِكَ وَفَرَاغَكَ قَبْلَ شُغُلِكَ وَحَيَاتَكَ قَبْلَ مَوْتِكَ
Artinya:
“Gunakanlah lima perkara sebelum datang yang lima; masa mudamu sebelum datang
masa tuamu, masa sehatmu sebelum datang masa sakitmu, waktu kayamu sebelum
datang waktu miskinmu, waktu luangmu sebelum datang waktu sibukmu, dan masa
hidupmu sebelum datang ajalmu.” (HR. Hâkim, dishahihkan oleh Al Albâni).
Masa
muda hendaklah dipergunakan sebaik-baiknya untuk mencapai kebaikan, kesuksesan,
dan keberhasilan, karena pada masa itu kita mempunyai ambisi, keinginan dan
cita-cita yang ingin kita raih, bukan berarti masa tua menghalangi kita untuk
tetap berusaha mencapai keinginan, tetapi usaha masa tua akan berbeda halnya
dengan usaha saat kita masih muda. Maka dari itu, masa muda hendaklah diisi
dengan berbagai kegiatan yang bermanfaat hingga tidak menyesal di kemudian
hari.
2. Ikhlas
Ikhlas
artinya bersih, murni, tidak terkontaminasi dengan sesuatu yang mengotori.
Orang yang ikhlas dalam bekerja, memandang tugasnya sebagai pengabdian atau
amanah yang seharusnya dilakukan tanpa pretensi apapun dan dilaksanakan
secara profesional.[4]
عَنْ اَبِى هُرَيْرَةَ رض قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص
: اِنَّ اللهَ لاَ يَنْظُرُ اِلىَ اَجْسَامِكُمْ
وَلاَ اِلىَ صُوَرِكُمْ وَ لٰكِنْ يَنْظُرُ اِلىَ
قُلُوْبِكُمْ. مسلم
Artinya: Dari
Abu Hurairah RA, ia berkata, Rasulullah SAW pernah bersabda: “Sesungguhnya
Allah tidak melihat (menilai) bentuk tubuhmu dan tidak pula menilai kebagusan
wajahmu, tetapi Allah melihat (menilai) keikhlasan hatimu”. (HR. Muslim)
Dengan
adanya hadits tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa Allah SWT tidak akan
melihat seseorang secara fisiknya melainkan melihat seseorang dengan keiklasan
hatinya dalam hal apapun di dunia ini, begitu juga dalam bekerja. Jika
seseorang tidak melakukan kegiatan dengan hati yang ikhlas, maka kelak orang
tersebut akan sangat menyesal. Karena dalam dunia ini, dimata Allah SWT semua
orang tampak sama, yang membedakannya adalah sikap dan perilakunya di dunia,
juga keikhlasan hatinya dalam melakukan suatu pekerjaan dan memberikan manfaat
kepada orang lain.
3. Larangan
Meminta-minta
Dalam Islam, seseorang yang masih sanggup untuk
bekerja dengan sungguh-sungguh dilarang oleh Allah SWT untuk melakukan kegiatan
yang menjadikan orang-orang malas bekerja.
Suatu kewajiban
yang tidak bisa dilakukan melainkan dengan pelaksanaan sesuatu, maka sesuatu
itu hukumnya wajib. Dengan kemampuan yang Allah karuniakan, Nabi Daud
Alaihissallam menjadikannya sebagai mata pencaharian. Beliau makan dari
hasilnya, padahal ia seorang nabi dan raja. Hal ini telah dijelaskan pula oleh
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya :
إِنَّ دَاوُدَ النَّبِيَّ كَانَ لاَ يَأْكُلُ
إِلاَّ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ
Artinya:
“Sesungguhnya Nabi Daud tidak makan kecuali dari hasil jerih payahnya sendiri”. (HR
Bukhari no. 1967 dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu).
Dalam
hadits lain, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memuji orang yang makan
dari hasil jerih payahnya sendiri, lalu menghubungkan pujian ini dengan
menceritakan tentang Nabi Daud Alaihissallam :
مَا أَكَلَ أَحَدٌ طَعَاماً قَطْ خَيْراً مِنْ
أَنْ يَأْكُلَ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ وَإِنَّ نَبِيَّ اللهِ دَاوُدَ كَانَ يَأْكُلُ
مِنْ عَمَلِ يَدِهِ
Artinya:
“Tidaklah seseorang memakan makanan yang lebih baik dari memakan hasil jerih
payahnya sendiri, dan sesungguhnya Nabi Daud makan dari hasil jerih payahnya
sendiri”. (HR Bukhari no. 1966 dari Al Miqdam bin
Ma’diyakrib Radhiyallahu ‘anhu).
Imam
Bukhari (55) dan Imam Muslim (1002) telah meriwayatkan dari Abu Mas’ud
bahwasanya Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda.
إِذَا أَنْفَقَ الرَّجُلُ عَلَى أَهْلِهِ
يَحْتَسِبُهَا فَهُوَ لَهُ صَدَقَةٌ
Artinya:
“Apabila seseorang menafkahkan untuk keluarganya dengan ikhlas maka itu baginya
adalah sedekah”.
Dan
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Sa’ad bin Abi Waqash
Radhiyallahu ‘anhu.
وَلَسْتُ تُنْفِقُ نَفَقَةً تَبْتَغِي بِهَا
وَجْهَ اللَّهِ إِلاَّ أُجِرْتَ بِهَا حَتَّى اللُّقْمَةُ تَجْعَلُهَا فِي فِيِّ
امْرَ أَتِكَ
Artinya:
“Dan tidaklah engkau menafkahkan satu nafkah karena mengharapkan wajah Allah
melainkan engkau mendapatkan pahala dengannya hingga sesuap yang engkau suapkan
di mulut istrimu” (Diriwayatkan Al-Bukhari dan Muslim)
Dari
ketiga hadits tersebut telah diketahui bahwa sesungguhnya setiap manusia di
dunia ini harus bekerja dengan sungguh-sungguh melalui hasil jerih payahnya
sendiri tanpa harus meminta-minta kepada orang lain.
4. Jujur
Seseorang
yang jujur di dalam jiwanya terdapat nilai rohani yang memantulkan sikap
berpihak kepada kebenaran, moral yang terpuji, dan bertanggung jawab dalam melaksanakan tugas
dan pekerjaannya, sehingga ia hadir sebagai orang yang berintegritas yang
mempunyai kepribadian terpuji dan utuh.
Dalam hadits dari sahabat
'Abdullah bin Mas'ud radhiyallahu ‘anhu dijelaskan keutamaan sikap jujur
dan bahaya sikap dusta. Ibnu Mas’ud menuturkan bahwa Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam bersabda,
عَلَيْكُمْ
بِالصِّدْقِ فَإِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِى إِلَى الْبِرِّ وَإِنَّ الْبِرَّ يَهْدِى
إِلَى الْجَنَّةِ وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَصْدُقُ وَيَتَحَرَّى الصِّدْقَ حَتَّى
يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ صِدِّيقًا وَإِيَّاكُمْ وَالْكَذِبَ فَإِنَّ الْكَذِبَ
يَهْدِى إِلَى الْفُجُورِ وَإِنَّ الْفُجُورَ يَهْدِى إِلَى النَّارِ وَمَا
يَزَالُ الرَّجُلُ يَكْذِبُ وَيَتَحَرَّى الْكَذِبَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ
كَذَّابًا
Artinya: “Hendaklah kalian
senantiasa berlaku jujur, karena sesungguhnya kejujuran akan megantarkan pada
kebaikan dan sesungguhnya kebaikan akan mengantarkan pada surga. Jika seseorang
senantiasa berlaku jujur dan berusaha untuk jujur, maka dia akan dicatat di
sisi Allah sebagai orang yang jujur. Hati-hatilah kalian dari berbuat dusta,
karena sesungguhnya dusta akan mengantarkan kepada kejahatan dan kejahatan akan
mengantarkan pada neraka. Jika seseorang sukanya berdusta dan berupaya untuk berdusta,
maka ia akan dicatat di sisi Allah sebagai pendusta.”
Terkhusus lagi, terdapat perintah
khusus untuk jujur bagi para pelaku bisnis karena memang kebiasaan mereka
adalah melakukan penipuan dan menempuh segala cara demi melariskan barang
dagangan.
Dari Rifa'ah, ia mengatakan bahwa
ia pernah keluar bersama Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam ke
tanah lapang dan melihat manusia sedang melakukan transaksi jual beli. Beliau
lalu menyeru, “Wahai para pedagang!” Orang-orang pun memperhatikan
seruan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam sambil menengadahkan
leher dan pandangan mereka pada beliau. Lantas Nabi shallallahu 'alaihi wa
sallam bersabda,[5]
إِنَّ التُّجَّارَ يُبْعَثُونَ يَوْمَ
الْقِيَامَةِ فُجَّارًا إِلاَّ مَنِ اتَّقَى اللَّهَ وَبَرَّ وَصَدَقَ
Artinya: “Sesungguhnya para
pedagang akan dibangkitkan pada hari kiamat nanti sebagai orang-orang fajir
(jahat) kecuali pedagang yang bertakwa pada Allah, berbuat baik dan berlaku
jujur.”
Dalam
hal tersebut, telah diketahui bahwa pada hari kiamat nanti akan dimintai
pertanggungjawaban kepada orang-orang
yang tidak berlaku jujur di dunia ini bahkan dalam melakukan pekerjaan.
5. Bertanggung
Jawab
Seorang
pemimpin dan pelaku bisnis syari’ah perlu menumbuh-kembangkan sikap bertanggung
jawab dikalangan karyawannya dengan menanamkan paradigma berpikir dan sikap
mental yang amanah. Menunaikan amanah dengan sebaik-baiknya merupakan ciri
orang yang profesional, karena yang profesinal itu adalah orang yang mengerti
apa arti tangung jawab.
Diantara
hadits-hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang kewajiban
menjaga amanah dan ancaman dari meninggalkannya adalah sebagai berikut.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ بَيْنَمَا
النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي مَجْلِسٍ يُهَدَّثُ الْقَوْمَ
جَاءَهُ أََعْرَابِيُّ فَقَالَ : مَتَى السَّاعَةُ؟ فَمَضَى رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُحَدِّثُ فَقَالَ بَعْضُ الْقَوْمِ : سَمِعَ
مَا قَالَ فَكَرِهَ مَ قَالَ وَ قَالَ بَعْضُهُمْ : بَلْ لَمْ يَسْمَعْ حَتَّى
إِذَا قَضَى حَدِيثَهُ قَالَ : أَيْنَ أُرَاهُ السَّائِلُ عَنِ السَا عَة؟ قَالَ :
هَا أَنا يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ : فَإِذَاضُيِّعَتِ اْلأَمَانَةُ فَانْتَظِرِ
السَّاعَةَ قَالَ : كَيْفَ إِضَاعَتُهَا؟ قَالَ :إِذَا
وُسِّدَ اْلأَمْرُ إِلَى غَيْرِ أَهْلِهِ فَانْتَظِرِ السَّاعَةَ
Artinya:
Dari Abu Hurairah, ia berkata, “Ketika Nabi di suatu majelis berbicara kepada
orang-orang, datanglah seorang Arab badui lantas berkata. ‘Kapan terjadinya
Kiamat? Rasulullah terus berbicara, sebagian orang berkata, ‘Beliau mendengar
apa yang dikatakannya dan beliau membencinya’, sebagian lain mengatakan,
‘Bahkan ia tidak mendengar’, sehingga tatkala beliau menyelesaikan
pembicaraannya beliau berkata, ‘Mana orang yang bertanya tentang hari Kiamat?’
Ia berkata, ‘Ini aku wahai Rasulullah’, Rasul bersaba, ‘Apabila amanah telah
disia-siakan maka tunggulah hari Kiamat’. Ia bertanya lagi, ‘Bagaimana menyia-nyiakannya?’
Beliau menjawab,‘Apabila diserahkan urusan kepada yang bukan ahlinya maka
tunggulah hari Kiamat”(Diriwayatkan Al-Bukhari)
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ النَّبِيُّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَذِّاْلأَمَانَةَ إِلَى مَنِ ائْتَمَنَكَ
وَلاَ تَخُنْ مَنْ خَانَكَ
Artinya:
Dari Abu Hurairah, ia berkata, ‘Rasulullah telah bersabda, “Tunaikanlah amanah
kepada orang yang memberi amanah kepadamu, dan janganlah kamu mengkhianati
orang yang mengkhianatimu” (Diriwayatkan oleh Abu Dawud 3535 dan
At-Tirmidzi 1264, ia berkata, “ini adalah hadits hasan gharib”. Lihatlah,
As-Silsilah Ash-Shahihah oleh Al-Albani 424)
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : آيَةُ الْمُنَافِقِ ثَلاَثٌ : إِذَا حَدَّثَ
كَذَبَ، وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ، وَإِذَ اؤْتُمِنَ خَانَ
Artinya:
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
beliau bersabda, “Tanda seorang munafik ada tiga : apabila berbicara ia
berdusta, apabila berjanji ia mungkir, dan apabila diberi amanah ia berkhianat” (Diriwayatkan
Al-Bukhari dan Muslim)
6.
Leadership
Leadership artinya memiliki jiwa kepemimpinan (khalifah fil
ardhi) yang berarti mengambil peran sebagai pemimpin dalam kehidupan dimuka
bumi. Kepemimpinan berarti mengambil posisi dan sekaligus memainkan peran
sehingga kehadirannya memberikan pengaruh positif pada lingkungannya.[6]
Islam menetapkan tujuan dan tugas utama pemimpin adalah untuk melaksanakan
ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya serta melaksanakan perintah-perintah-Nya.
Ibnu Taimyah mengungkapkan bahwa kewajiban seorang pemimpin yang telah ditunjuk
dipandang dari segi agama dan dari segi ibadah adalah untuk mendekatkan diri
kepada Allah. Pendekatan diri kepada Allah adalah dengan menaati
peraturan-peraturan-Nya dan Rasul-Nya. Namun hal itu lebih sering disalah
gunakan oleh orang-orang yang ingin mencapai kedudukan dan harta.
عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ كُلُّكُمْ رَاعٍ
وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ الْإِمَامُ
رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَالرَّجُلُ رَاعٍ فِي أَهْلِهِ وَهُوَ
مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ فِي بَيْتِ زَوْجِهَا وَمَسْئُولَةٌ عَنْ
رَعِيَّتِهَا وَالْخَادِمُ رَاعٍ فِي مَالِ سَيِّدِهِ وَمَسْئُولٌ عَنْ
رَعِيَّتِهِ وَكُلُّكُمْ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
Artinya: Dari Ibn
Umar r.a. Sesungguhnya Rasulullah Saw. Berkata: ”Kalian adalah pemimpin, yang
akan dimintai pertanggungjawaban. Penguasa adalah pemimpin, dan akan dimintai
pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Suami adalah pemimpin keluarganya, dan
akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Istri adalah pemimpin
dirumah suaminya, dan akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya.
Pelayan adalah pemimpin dalam mengelola harta tuannya, dan akan dimintai
pertanggungjawaban tentang kepemimpinannya. Oleh karena itu kalian sebagai
pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya.“
Hal yang
paling mendasar yang dapat diambil dari hadis diatas adalah bahwa dalam level
apapun, manusia adalah pemimpin termasuk bagi dirinya sendiri. Setiap perbuatan
dan tindakan memiliki resiko yang harus dipertanggungjawabkan.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ سَبْعَةٌ يُظِلُّهُمْ اللَّهُ فِي ظِلِّهِ
يَوْمَ لَا ظِلَّ إِلَّا ظِلُّهُ الْإِمَامُ الْعَادِلُ وَشَابٌّ نَشَأَ فِي
عِبَادَةِ رَبِّهِ وَرَجُلٌ قَلْبُهُ مُعَلَّقٌ فِي الْمَسَاجِدِ وَرَجُلَانِ تَحَابَّا
فِي اللَّهِ اجْتَمَعَا عَلَيْهِ وَتَفَرَّقَا عَلَيْهِ وَرَجُلٌ طَلَبَتْهُ
امْرَأَةٌ ذَاتُ مَنْصِبٍ وَجَمَالٍ فَقَالَ إِنِّي أَخَافُ اللَّهَ وَرَجُلٌ
تَصَدَّقَ أَخْفَى حَتَّى لَا تَعْلَمَ شِمَالُهُ مَا تُنْفِقُ يَمِينُهُ وَرَجُلٌ
ذَكَرَ اللَّهَ خَالِيًا فَفَاضَتْ عَيْنَاهُ
Artinya: Dari Abu
Hurairah ra., dari Nabi Saw., beliau bersabda: “Ada tujuh golongan yang akan
mendapat naungan Allah pada hari yang tiada naungan kecuali naungan-Nya, yaitu
: Pemimpin yang adil, Pemuda yang senantiasa beribadah kepada Allah Ta’ala,
Seseorang yang hatinya senantiasa digantungkan (dipertautkan)” dengan masjid,
Dua orang saling mencintai karena Allah, yang keduanya berkumpul dan berpisah
karena-Nya. Seorang laki-laki yang ketika diajak [dirayu] oleh seorang wanita
bangsawan yang cantik lalu ia menjawab :”Sesungguhnya saya takut kepada
Allah.”Seorang yang mengeluarkan sedekah sedang ia merahasiakanny,
sampai-sampai tangan kirinya tidak mengetahui apa yang diberikan oleh tangan
kanannya dan seseorang yang mengingat Allah di tempat yang sepi sampai
meneteskan air mata.”
Setiap orang berhak mengeluarkan pendapatnya dan seorang pemimpin
berkewajiban mendengarkan. Ia wajib menjalankan hasil musyawarah dan setiap
keputusan yang telah disepakati bersama wajib dilaksanakan karena itu merupakan
amanat yang dibebankan kepadanya. Dalam hadits diatas diungkapkan keutamaan
seorang pemimpin yang adil sehingga mendapatkan posisi pertama orang yang
mendapatkan naungan dari Allah pada hari kiamat. Hal ini menunjukkan begitu
beratnya menjadi seorang pemimpin untuk selalu adil dalam menyelesaikan
permasalahan-permasalahan.
7.
Kreatif
Orang yang kreatif selalu ingin mencoba gagasan-gagasan baru dan asli untuk mencapai efektivitas dan
efisiensi dalam melaksanakan pekerjaannya. Orang kreatif selalu bekerja dengan
sistematis dengan mengemukakan data dan informasi yang relevan, orang yang kreatif
biasa berpikir dengan otak kanan yaitu mencari alternatif pemecahan masalah.
Orang yang kreatif itu selalu ingin mencari tahu apa makna dari suatu fenomena
yang nampak di depan matanya.
Sebagaimana Sabda Rasulullah SAW:
عَنْ عَاصِمْ
بْنِ عُبَيْدِ الله عَنْ سَالِمْ عَنْ أَبِيْهِ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ للهِ صَلَى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ اللهَ يُحِبُّ الْمُؤْمِنَ الْمُحْتَرِفَ (أخرجه
البيهقى)
Artinya: “Dari ‘Ashim Ibn ‘Ubaidillah dari Salim dari ayahnya,
Ia berkata bahwa Rasulullah Saw. Bersabda: “Sesungguhnya Allah
menykai orang mukmin yang berkarya.”(H. R. Al-Baihaqi).
Berdasarkan hadits di atas dapat disebutkan bahwa
berwirausaha merupakan kemampuan dalam hal menciptakan kegiatan usaha.
Kemampuan menciptakan memerlukan adanya kreativitas dan inovasi.
Kreatifitas adalah
mampu menangkap dan menciptakan peluang-peluang bisnis yang bisa dikembangkan.
Di tengah persaingan bisnis yang ketat sekalipun seorang wirausaha tetap mampu
menangkap dan menciptakan peluang baru untuk berbisnis, sehingga ia tidak
pernah khawatir kehabisan lahan.[7]
8. Disiplin
Disiplin adalah kemampuan untuk mengendalikan diri dan tetap taat walaupun
dalam keadaan situasi yang menekan.
Orang yang memiliki disiplin sangat berhati-hati dalam mengelola pekerjaannya,
serta penuh tangggung jawab memenuhi kebutuhannya.
Dari Ibnu Umar r.a, bahwasannya Rasulullah SAW bersabda,[8]
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ
عَنْهُمَا قَالَ أَخَذَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
بِمَنْكِبِي فَقَالَ كُنْ فِي الدُّنْيَا كَأَنَّكَ غَرِيبٌ أَوْ عَابِرُ سَبِيلٍ
وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ يَقُولُ إِذَا أَمْسَيْتَ فَلَا تَنْتَظِرْ الصَّبَاحَ
وَإِذَا أَصْبَحْتَ فَلَا تَنْتَظِرْ الْمَسَاءَ وَخُذْ مِنْ صِحَّتِكَ لِمَرَضِكَ
وَمِنْ حَيَاتِكَ لِمَوْتِكَ
Artinya:
Dari Ibnu Umar Radhiallahu Anhuma, ia berkata: “Rasulullah Shallallahu
Alaihi Wasallam memegang pundakku, lalu bersabda: Jadilah engkau di dunia ini
seakan-akan sebagai orang asing atau pengembara. Lalu Ibnu Umar Radhiallahu
Anhuma berkata: “Jika engkau di waktu sore, maka janganlah engkau menunggu pagi
dan jika engkau di waktu pagi, maka janganlah menunggu sore dan pergunakanlah
waktu sehatmu sebelum kamu sakit dan waktu hidupmu sebelum kamu mati”. (HR.
Bukhari, Kitab Ar Riqaq)
Telah diketahui dari
hadits diatas bahwasannya kita harus benar-benar disiplin dalam urusan bekerja,
bukan hanya itu tepatnya harus disiplin
dalam mengatur waktu. Telah disebutkan bahwa jika kita memliki waktu luang
disuatu waktu dan memiliki tanggung jawab atas apa yang ia kerjakan, maka harus
menggunakan waktu luang tersebut untuk mengerjakan apa yang belum ia
selesaikan. Karena waktu adalah segalanya, maka
gunakanlah waktu sebaik mungkin sebelum ajal menjemputmu.
Jika kita sebagai pemimpin, maka kita memiliki kewajiban mengendalikan diri
tidak hanya menanamkan disiplin terhadap bawahan tetapi juga harus menanamkan
sikap disiplin tersebut pada dirinya sendiri.
BAB III
SIMPULAN
Bekerja merupakan suatu
fitrah manusia di dunia ini dan salah satu identitas manusia. Dalam bekerja
harus ditanamkan prinsip-prinsip iman
tauhid dan tanggung jawab atas apa yang telah dilakukan. Etos kerja merupakan
totalitas kepribadian diri serta cara mengekspresikan, memandang, meyakini, dan
memberikan sesuatu yang bermakna, yang mendorong dirinya untuk bertindak dan
meraih amal yang optimal (high performance).
Dengan adanya etos
kerja, akan memberikan sebuah peluang bagi perusahaan untuk bisa mencapai
tujuan yang sudah direncanakan di masa yang akan datang. Tentunya agar
kondisinya bisa jauh lebih baik dibandingkan dengan yang sudah lalu.
Dengan adanya etos kerja, maka nantinya sumberdaya
manusia bisa lebih menghargai waktu, menjadi pribadi yang disiplin, karena
waktu ini juga sangat mempengaruhi produktivitas kerja.
Bagi
siapapun seorang muslim yang melakukan pekerjaan dengan serius dan juga kerja
keras, maka hasil akhirnya bukan hanya uang saja, melainkan juga akan diberikan
dengan amal perbuatan. Namun dengan catatan bahwa pekerjaan yang dilakukan
tersebut juga harus jenis pekerjaan yang baik, membawa faedah bagi banyak orang
bukan pekerjaan yang justru menyesatkan.
DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Abdullah, Ma’ruf, Manajemen
Bisnis Syari’ah, Yogyakarta: Aswaja Persindo,
2014.
Rodin, Dede, Tafsir
Ayat Ekonomi, Semarang: CV. Karya Abadi Jaya, 2015.
Ya’qub, Hamzah, Etos
Kerja Islami, Jakarta: CV. Pedoman Ilmu Jaya, 1992.