A. Latar Belakang Masalah
Pluralitas adalah sebuah keniscayaan dalam kehidupan
ini. Allah menciptakan alam ini di atas sunah pluralitas dalam sebuah kerangka kesatuan.
Isu pluralitas adalah setua usia manusia dan selamanya akan ada selama
kehidupan belum berakhir, hanya saja bisa terus menerus berubah, sesuai
perkembangan zaman.
Pluralitas
pada hakikatnya merupakan realitas kehidupan itu sendiri, yang tidak bisa
dihindari dan ditolak. Karena pluralitas merupakan sunatullah, maka eksistensi
atau keberadaanya harus diakui oleh setiap manusia. Namun pengakuan ini dalam
tataran realitas belum sepenuhnya seiring dengan pengakuan secara teoritik dan
kendala-kendala masih sering dijumpai dilapangan.
Dalam
kehidupan sehari-hari sebelum dicampuri dengan kepentingan ideologis, ekonomis,
sosial-politik, agamis dan lainnya, manusia menjalani kehidupan yang bersifat
pluralitas secara ilmiah, tanpa begitu banyak mempertimbangkan sampai pada
tingkat "benar tidaknya" realitas pluralitas yang menyatu dalam
kehidupan sehari-hari. Baru ketika manusia dengan berbagai kepentingannya
(organisasi, politik, agama, budaya dan lainnya) mulai
mengangkat isu
pluralitas pada puncak kesadaran mereka dan menjadikannya sebagai pusat
perhatian. Maka pluralitas yang semula bersiat wajar, alamiahberubah menjadi
hal yang sangat penting.
Seiring
dengan maraknya proses liberalisasi sosial politik yang menandai
lahirnya tatanan
dunia abad modern, dan disusul dengan liberalisasi atau globalisasi (penjajahan
model baru) ekonomi, wilayah agamapun pada gilirannya dipaksa harus membukakan
diri untuk diliberalisasikan.
Agama
yang semenjak era reformasi gereja abad ke-15 wilayah juridiksinya telah
diredusir, dimarjinalkan dan didomestikasikan sedemikian rupa, yang hanya boleh
beroperasi disisi kehidupan manusia yang paling privat, ternyata masih diangap
tidak cukup kondusif (atau bahkan mengganggu) bagi terciptanya tatanan dunia
baru yang harmoni, demokratis dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan
HAM seperti toleransi, kebebasan, persamaan dan pluralisme. Seakan-akan semua
agama secara general adalah musuh demokrasi, kemanusiaan dan HAM. Sehingga
agama harus mendekonstruksikan diri (atau didekonstruksikan secara paksa) agar,
menurut bahasa kaum liberal , merdeka dan bebas dari kungkungan teks-teks dan
tradisi yang jumud serta tidak sesuai lagi semangat zaman.
Agama
sebagai sebuah tatanan nilai, sebenarnya membutuhkan medium budaya agar
keberadaannya membumi dalam kehidupan umat pemeluknya dan ia diharapkan menjadi
institusi bagi pengalaman iman kepada sang Khaliq. Disini agama menawarkan
agenda penyelamatan manusia secara universal, namun disisi yang lain agama
sebagai sebuah kesadaran makna dan legitimasi tindakan bagi pemeluknya, dalam
interaksi sosialnya banyak mengalami perbedaan hermeunetik sehingga tidak pelak
memunculkan konplik. Pluralitas agama disatu sisi, dan hiterogenitas realitas
social pemeluknya disisi yang lain, tidak jarang
menimbulkan benturan-benturan
dalam tataran tafsir atau dogma agama maupun dalam tataran aksi. Disadari atau
tidak, konflik kemudian menjadi problem kebangsan dan keagamaan yang tidak bisa
hanya diselesaikan lewat pendekatan teologi normatif.
Akan
tetapi diperlukan pendekatan lain yaitu sikap kearifan sosial di antara
kelompok kepentingan dan kalangan pemeluk paham atau agama. Berkenaan dengan
munculnya paham pluralisme terutama pluralisme agama beberapa tahun terakhir
ini, maka wacana tentang pluralisme agama menjadi tema penting yang banyak
mendapat sorotan dari sejumlah cendikiawan muslim sekaligus nampaknya juga
memunculkan pro dan kontra dikalangan para pemikir, cendikiawan dan para tokoh
agama.
Lebih
lebih ketika MUI dalam Munas ke 7 pada bulan Juli 2005 yang lalu di Jakarta
telah mengharamkan pluralisme agama, maka persoalan ini telah mencuat
kepermukaan dan telah menghiasi halaman-halaman media masa cetak maupun
elektronik. Bila dicermati,maka perbedaan ini nampaknya berkaitan dengan term
pluralisme agama-budaya, perbedaan didalam memahami isyarat-isyarat ayat
al-Qur'an tentang pluralitas maupun tentang klaim kebenaran dalam suatu agama.
Setelah
membaca beberapa literature, maka bagi penulis tema persoalan paham pluralisme
agama merupakan persoalan yang sangat mendasar untuk diangkat karena persoalan
ini sudah masuk pada wilayah yang sangat sensitive yakni persoalan teologi dan
syari'ah.
Mengingat
begitu pentingnya persoalan paham pluralisme agama-budaya ini, maka makalah ini
mencoba untuk mendiskripsikan tentang term pluralisme agama, sejarah gagasan
lahirnya pluralisme agama, bagaimana paham pluralisme agama dilihat dari
kacamata Islam, kekhawatiran-kekhawatiran terhadap paham pluralisme agama
berikut fatwa MUI tentang paham pluralisme agama, dan sajian tentang argumentasi-argumentasi
tentang pluralisme agama serta pandangan penulis tentang pluralisme agama.
B.Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian yang telah disebutkan diatas, maka dapat
kami ambil rumusan masalah sebagai berikut :
1). Bagaimana sikap islam terhadap paham pluralisme agama?
Download Doc :1). Bagaimana sikap islam terhadap paham pluralisme agama?